Aromanya selalu hadir di pagi hari dari tiap-tiap dapur rumah. Kehadirannya yang lekat di ranah domestik pula publik membuatnya menjadi barang wajib bagi kehidupan orang Indonesia. Ia tak hanya ada sebagai pengisi perut, namun telah menjadi identitas yang hidup di ruang bawah sadar yang membuat kita sepakat untuk “belum makan jika tanpa nasi”.
Kebiasaan masyarakat Indonesia yang satu ini diabadikan oleh titel Swasembada Pangan di era Orde Baru. Sebanyak kurang lebih 160 juta warga pada saat itu keranjingan memproduksi beras yang dapat mengantarkan negara ini menyandang gelar lumbung padi Asia pada tahun 1985. Soeharto adalah sosok dibalik pemberangusan konsep negara maritim untuk kemudian menjadi negara agrarian, dengan pongahnya ia mencanangkan program penanaman padi besar-besaran, tanpanya mungkin warga Indonesia tidak segila sekarang terhadap nasi.
Apabila ditelisik lebih lanjut, rupanya ambisi Soeharto juga diamini oleh narasi-narasi kuno yang mengultuskan nasi tidak hanya sebagai alat bertahan hidup. Tercatat bahwa di zaman Sultan Agung abad ke-8, warga Desa Klaten diwajibkan untuk membayar upeti berupa beras untuk kepentingan istana.
Terdapat pula legenda Batara Guru dan Dewi Sri yang dilambangkan sebagai keberkahan alam, kesuburan, dan ketersediaan pangan bagi manusia. Perihal ini kemudian juga hadir di zaman Romusha, keberadaan negeri matahari terbit di Indonesia sangat signifikan karena beras memiliki nilai yang digunakan sebagai ukuran pangkat Samurai.
Hal ini juga bisa dihubungkan dengan kemiskinan, utamanya pada saat itu memang bertepatan dengan momen Perang Dunia II, waktu di mana akses makanan sangat terbatas yang mendorong masyarakat untuk menyajikan hidangan praktis yang terdiri atas nasi dan lauk tahu-tempe. Bahkan, sampai muncul pepatah tentang nasi dan garam atas gambaran betapa sengsaranya keadaan di kala itu.
Konteks historis dan antropologis yang kompleks tersebut lantas mengubah nasi tak melulu sebagai urusan perut.
Dekonstruksi Perut
Saat permintaan terhadap nasi tidak terkontrol, lahan yang kerap digunakan sebagai kultivasi padi menjadi berkurang karena urbanisasi dan peningkatan penduduk. Statistik memperkirakan bahwa produksi beras musti ditingkatkan sebesar 70 persen dalam 30 tahun ke depan agar seimbang dengan ledakan populasi yang meningkat hingga 58 persen sebelum 2025.
Masalah lain yang timbul adalah lahan padi di daerah pesisir dan hilir sungai tengah terancam karena naiknya permukaan air laut akibat pemanasan global. Naiknya permukaan air tersebut lalu diperparah dengan penggunaan peptisida di lahan pesisir yang justru memperparah pencemaran lingkungan.
Mungkinkah dalam porsi makan 3 kali sehari kita mengganti nasi sebagai hidangan wajib? Indonesia memproduksi setidaknya 66 diversitas karbohidrat alami seperti jagung, sagu, singkong, kentang dan lain sebagainya yang sangat mungkin untuk menggantikan nasi di meja makan.
Beberapa tahun silam, upaya SBY mengajak warga Indonesia untuk makan ubi adalah hal yang sia-sia karena nasi telah melekat di hidup kita melebihi bahan pangan lain yang tersedia. Alhasil, di tengah krisis pangan yang melanda hingga sekarang kita-pun tak ragu untuk mengimpor beras.
Persoalan ini kemudian kian meluas hingga ke faktor agrikultur dan perekonomian bangsa. Konyol sekali ketika budaya makan nasi seolah menjadi kepercayaan yang cara kerjanya tak jauh berbeda dengan mitos kebanyakan. Haram hukumnya jika dalam sehari tak makan nasi.
Padahal tidak termaktub di undang-undang pula sumpah pemuda bahwa rakyat Indonesia harus makan nasi, namun proses Ijab Kabul yang terjadi di perut manusia Indonesia lantas mengesahkan nasi sebagai makanan pokok. Perut memang sangat sulit untuk diajak berkompromi, terlebih ketika bayi-bayi yang lahir di sini juga langsung dicekoki nasi saat mereka baru tumbuh gigi.
Propaganda Anti-Nasi
Tentu tidak ada kata terlambat untuk medekonstruksi perut agar tidak didominasi oleh konsumsi nasi yang berlebih. Karena penduduk Indonesia terus meningkat, berarti mulut yang harus diberi makan di masa depan juga bertambah. Ketergantungan kita terhadap nasi dapat menjadi bumerang. Bangsa ini terlalu manja dalam bertahan hidup, padahal jumlah koki andal juga sangat banyak yang bisa dijadikan harapan guna mengubah perspektif bahan pangan non-beras untuk menjadi hidangan pokok yang sedap.
Gerai fast-food rupanya juga bisa mempelopori hal ini, mereka kudu kembali ke pada fitrahnya sebagai restoran yang memang tidak menyediakan nasi. Teknik marketing lokalisasi perlu diharamkan. Seperti halnya mereka mempromosikan kampanye anti sedotan. Karena fast-food punya pasar masif yang tidak mungkin protes atas makanan yang disajikan, sederhana saja, warga Indonesia masih suka ayam goreng tepung walau tanpa nasi.
Pemerintah sebagai pihak yang berotoritas harus bisa menghimbau warga untuk meragamkan pola makan kepada generasi yang baru lahir. Bersama dengan jajaran lembaga yang berkewajiban, pemerintah kudu mengembangkan lebih banyak varietas nasi yang berkelanjutan dan terus meningkatkan strategi manajemen nutrisi non-beras. Jika mereka tak berhasil, sepertinya kita perlu mencipta folklore baru sebagai anti-tesis Dewi Sri yang berbicara tentang kesuburan.
Pengejawantahan suatu Dewi yang berbicara tentang merosotnya hasil pangan. Sosok anyar selain Susi yang senantiasa mengajak makan ikan, sesosok Susi yang mengajak untuk makan singkong, misalnya.