Senin, Oktober 14, 2024

Kenapa Kita Bertahan dalam Toxic Relationship?

Ranah, Rantau dan Jokowi

Membedah Anxiety

Febrian Al Rasyid Subagja
Febrian Al Rasyid Subagja
Mahasiswa S1 Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Singaperbangsa Karawang.

Pernah kah kalian mengalami hubungan yang toxic? Atau mungkin sekadar mendengarkan curhatan teman kalian yang sedang mengalami hubungan yang toxic? Tak jarang orang lebih memilih mempertahankan hubungannya walaupun dia sadar kalau hubungannya itu udah tidak sehat lagi, mereka biasanya memiliki alasan seperti, “aku ga mau putus, kita kan udah 5 tahun pacaran.” atau, “kita kan udah lama bareng-bareng kita udah saling kenal satu sama lain, aku ga mau putus dan harus memulai dengan orang baru lagi.

Hal ini tuh biasa disebut dengan Sunk Cost Fallacy, yaitu salah satu istilah akuntansi yang artinya biaya pengorbanan atau sunk cost, biaya pengorbanan ini adalah suatu biaya yang sudah dikeluarkan dalam suatu bisnis yang tidak dapat dipulihkan kembali, makanya sunk cost juga sering disebut dengan biaya hangus, biaya yang akan mengalami sunk cost tuh seperti biaya pembelian persedian atau biaya bahan baku, atau contoh simpelnya misal kamu punya usaha jualan seblak, terus kamu keluarin biaya Rp. 2.000.000 untuk biaya bahan-bahan produksi seblak, nah Rp. 2.000.000 tersebut lah yang disebut sunk cost.

Walaupun sunk cost merupakan istilah akuntansi, tetapi konsep sunk cost fallacy ini bisa diterapkan untuk pengambilan keputusan dalam kehidupan sehari-hari, seperti bisnis, hubungan percintaan, membaca buku, mononton bioskop, membeli makanan, dan masih banyak lagi.

Dalam pengambilan keputusan sebenarnya yang dilihat adalah opportunity cost-nya yaitu biaya peluang atau biaya alternatif, opportunity cost ini sendiri adalah nilai yang hilang dari kesempatan yang hilang ketika seseorang atau suatu organisasi memilih satu pilihan dari pilihan lainnya.

Contoh opportunity cost misalnya kamu di kantor membeli makan sehari Rp. 40.000, lalu kamu punya alternatif lain yaitu memasak bekal dari rumah dengan biaya yang lebih sedikit Rp. 30.000. Maka opportunity cost kamu yaitu Rp. 10.000, kamu mengalami kerugian Rp. 10.000, jika dalam sebulan(26 hari) maka kerugian yang kamu alami yaitu sebesar Rp. 260.000, jika kamu memilih alternatif tersebut yaitu memasak bekal dari rumah, kamu tidak akan mengalami kerugian Rp. 260.000 dan kamu bisa aja memakai uangnya untuk hal lain seperti menabung, liburan, atau untuk membeli skincare.

Nah kalau sunk cost fallacy dalam hubungan percintaan itu, misalnya kamu sedang menjalani hubungan percintaan selama 5 tahun, cost yang dikeluarkan sudah banyak, mulai dari uang, waktu, tenaga, perasaan, dan lain-lain.

Nah, 3 tahun sebelumnya itu hubungan kamu berjalan dengan baik, kamu mendapatkan kebahagiaan, kepuasan seksual, kepuasan intelektual, dan lain-lain. Lalu di 2 tahun terakhir kamu udah ga merasakan lagi apa yang kamu dapatkan di 3 tahun awal pacaran, tapi kamu memilih bertahan karena kamu percaya kebahagiaan yang kamu dapatkan di 3 tahun awal akan kamu dapatkan lagi di masa depan, yang padahal 3 tahun awal hubunganmu itu adalah sunk cost.

Dalam kasus tersebut 2 tahun terakhir hubunganmu itu disebut sebagai opportunity cost, kamu bisa aja putus dengan pacarmu, lalu 2 tahun tersebut bisa kamu habiskan untuk healing dengan teman-temanmu atau mencari pasangan baru yang bisa membuat kamu lebih bahagia.

Sayangnya memang tidak semudah itu, kebanyakan orang akan merasa rugi jika hubungannya yang telah lama dibangun harus berakhir, mereka merasa rugi karena sudah menginvestasikan banyak waktu, tenaga, uang, dan pikiran mereka pada hubungan mereka. Manusia memang cenderung menghindari kerugian daripada mendapatkan keuntungan atau menghindari sakit daripada mendapatkan rasa senang, hal ini disebut dengan istilah loss aversion.

Loss aversion adalah penyebab utama kenapa banyak orang terjebak dalam sunk cost fallacy, dalam kasus hubungan percintaan loss aversion-nya adalah ketika kita sering merasa waktu, tenaga, uang, dan perasaan yang sudah diinvestasikan pada hubungan akan menjadi sia-sia, dan kita cenderung menghindari rasa sakit tersebut dibanding mendapatkan rasa senang karena sudah keluar dari hubungan yang toxic dan bisa menjalani hubungan yang lebih baik.

Jika kamu terjebak dalam hubungan percintaan yang toxic kamu bisa melakukan hal ini, yaitu kamu bisa menulis sebuah daftar di bukumu tentang apa-apa saja keuntungan yang kamu dapatkan jika kamu putus dengan dia dan apa-apa saja yang kerugian yang kamu dapatkan.

Begitupun sebaliknya, apa-apa saja keuntungan yang kamu dapatkan jika bertahan dengan dia dan apa-apa saja kerugian yang kamu dapatkan. Dengan menulis daftar tersebut dapat membantu kamu memetakan masalah dengan jelas, usahakan untuk tidak emosional saat menulis daftar tersebut agar tidak terjadi bias, dengan begitu kamu bisa lebih rasional dalam mengambil keputusan.

Febrian Al Rasyid Subagja
Febrian Al Rasyid Subagja
Mahasiswa S1 Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Singaperbangsa Karawang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.