Secara integritas mungkin Mahfud MD lebih mumpuni. Segudang prestasi beliau yang sudah pernah meduduki jabatan politik pada 3 pilar demokrasi dari mulai eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Itu sudah lebih dari cukup untuk mendukuki kursi cawapres.
Tentu keputusan yang mengejutkan ketika pihak GNPF dan 212 sedang bersusah payah mengajukan kaum agamis seperti UAS lewat Ijtima Ulama, namun pihak Jokowi justru jauh lebih dulu mengusung ulama besar sekelas Ma’ruf Amin yang dihormati oleh berbagai kalangan maupun ormas islam.
Sikap skeptis Jokowi untuk memilih Mahfud MD memang disinyalir pada pertimbangan dukungan massa yang lebih besar. Harapannya Jokowi bisa merangkul massa dari kalangan NU dan merontokan tuduhan anti-ulama.
Menjadi wajar jika integritas Mahfud MD selama ini tidak menjadi pertimbangan yang menjual bagi Jokowi untuk berada pada titik aman. Karena merebut kemenangan dalam kontestasi politik apalagi dalam skala nasional integritas saja tidak cukup.
Bahkan tidak menapik bahwa kemenangan sesungguhkan diletakan pada elektabilitas dan citra positif di mata masyarakat sehingga sebaik apapun kinerja seseorang di birokrasi tidak akan menjamin kemenangan dalam perolehan jabatan.
Itu terbukti dari seorang Ahok yang kinerjanya diakui setingkat nasional saja bisa kalah dengan lawannya yang lebih banyak meraup dukungan berdasarkan politik identitas dan emosional agama.
Tentu pertimbangan Jokowi dalam memilih cawapres sangatlah kompleks. Selain menimbang-nimbang persetujuan dari partai pendukungnya, Jokowi sudah harus segera mematahkan anggapan ‘anti-islam’ yang sering disematkan padanya. Ditambah lagi isu SARA masih sering dimainkan oleh orang-orang yang ingin menjatuhkannya.
Perjuangan Jokowi selama ini dari seringnya kunjungan terhadap ulama, mengakomodir janji kampanye dan kepentingan santri sampai ‘merekrut’ dukungan dari kalangan pro islam seperti Ngabalin dan TGB ternyata masih dianggap belum cukup. Terpilihnya Ma’ruf Amin dalam menit-menit terakhir menjadi semacam senjata terakhir Jokowi untuk memecahkan tuduhan dari kaum intoleran.
Ma ruf Amin meski track recordnya dalam politik tak segemilang Mahfud MD tetapi pertimbangan untuk menaiki citra positif Jokowi di mata masyarakat muslim indonesia harus lebih didahulukan. Sebab bila berkaca pada Pilgub DKI lalu, sentimen agama selalu memenangkan hati masyarakat dibandingkan hasil kerja petahana.
Namun bukan berarti Jokowi mengesampingkan integritas seorang Mahfud MD. Ini hanya metode Jokowi untuk membuka pintu kemenangan kemudian ketika pintu itu telah terbuka, orang-orang baik yang beritegritas bisa melenggang masuk dengan lebih mudah.
Bisa jadi jika Jokowi kembali terpilih lagi untuk periode ke 2, Mahfud MD akan dilibatkan dalam jabatan di pemerintahan seperti menteri atau sejajarnya. Hal ini sangat beralasan karena jabatan tersebut lebih didasarkan pada kepentingan integritas dan pengalaman tanpa harus memikirkan elektabilitas dan dukungan massa.
Meski nanti tetap ada sedikit pertimbangan ‘bagi bagi jatah’ menteri untuk mengakomodasi parpol pendukung agar tidak menganggu roda pemerintahan. Terlebih lagi jika seorang Mahfud MD menjadi menteri, dia bisa punya wewenang yang besar dan terfokus kinerjanya daripada sekedar wakil presiden yang posisinya jarang terlihat dibandingkan presidennya sendiri.
Seperti JK sekarang, setiap penentuan kebijakan yang lebih banyak di sorot ya Jokowi. Selama ini kita tidak tahu kinerja JK seperti apa karena tertutup oleh sosok Presiden. Padahal mungkin setiap kebijakan Jokowi, ada keterlibatan JK di dalamnya.
Jokowi juga nampaknya banyak belajar dari kemenangan Anies-Sandi. Dia tidak ingin kalah hanya karena isu SARA yang jelas-jelas membutakan kinerja yang selama ini dikerjakan dengan sungguh-sungguh oleh Ahok.
Dalam politik terutama dengan kondisi masyarakat indonesia sekarang, tidak bisa menjadi terlalu idealis dengan hanya mempertimbangkan integritas semata. Untuk membuat indonesia jauh lebih baik memang tidak bisa berpikir lurus-lurus saja.
Kemenangan ada dikehendak rakyat, oleh karena itu Jokowi harus menyesuaikan keinginan rakyatnya yg masih cenderung memilih berdasarkan karismatik seorang tokoh. Sebab perlu strategi jitu agar kursi presiden tidak jatuh ke tangan yang salah. sekalipun itu harus mendompleng nama Ma’ ruf Amin.
Apa keputusan Jokowi salah? Secara idealisme kebangsaan, bisa jadi ini keputusan yang salah tetapi mau dibilang apalagi kalau negara penganut demokrasi memang tidak mengizinkan seseorang yang penuh integritas untuk menang sampai kapanpun.
Kalau ingin negara ini hanya diisi oleh orang profesional yang berintegritas saja maka buatlah sistem pemilihan calon presiden seperti seleksi lowongan pekerjaan. Ada sesi wawancara, tes tulis, lampiran CV, sederet portofolio dan lain sebagainya. Yang dipilih adalah mereka yang benar-benar bisa kerja, bukan yang mendapat suara terbanyak. Tapi pertanyaannya apa bisa pilpres dibuat seperti itu? Kan tidak mungkin juga.
Kalau ada yang kecewa dengan pilihan jokowi itu wajar. Tapi jangan sampai berlarut-larut apalagi golput. Bagi pendukung Ahok, keputusan memilih Ma’ruf Amin mungkin sedikit bikin sakit hati. Sebab beliau pernah menjadi saksi yang memberatkan Ahok pada kasus penodaan agama kala itu.
Namun kalau menuntut seorang politikus berprilaku idealis, sampai kapanpun sulit terwujud. Justru golput akan jadi bahan kampanye baru pihak lawan untuk melemahkan dukungan pada petahana.
Pilpres kali ini seperti memilih yang buruk diantara yang paling buruk. Jokowi mungkin bisa dipandang buruk, tetapi keburukannya itu tidak lebih parah dibandingkan lawannya.
Ibarat memilih buah jeruk yang busuk dalam sekantung keranjang. Walaupun semuanya busuk, tapi kita pasti memilih yang busukya paling sedikit. Dan Jokowi bisa menjadi pilihan yang paling sedikit busuknya dibandingkan jeruk-jeruk lainnya.