Keluarga semi-feodal yang dimaksud di atas adalah keluarga yang menganggap bahwa suara orang tua (yang tidak mendapatkan edukasi yang baik mengenai budaya literasi) sebagai suatu kebijaksanaan dan tidak boleh diperdebatkan. Diskusipun terjadi biasanya hanya sebagai sarana untuk meyakinkan anak atas pilihan-pilihan yang telah ditentukan orangtuanya sebelumnya. Keluarga ini sangat terikat pada tradisi dan biasanya sangat menghindari yang namanya perubahan-perubahan yang bersifat progresif, yang umumnya didasari oleh sains.
Keluarga yang berasal dari tempat terisolir memiliki keterbatasan akses informasi, baik dari infrastruktur perpustakaan, kurangnya bahan bacaan karena kesulitan mendapatkan akses internet, dan biasanya masih terikat pada tradisi adat daerah setempat.
Keluarga yang doktrin agama jauh lebih superior dibanding pemberian pola pikir saintifik tentu akan berbahaya pula bagi masyarakat, pasalnya keseimbangan antar kedua ini sangat dibutuhkan di masyarakat teknologi saat ini. Misalnya ketika terdapat berita tentang sholat berjamaah di masa pamdemi harus ada pembatasan jarak, bahkan ditiadakan di beberapa tempat, orang-orang yang reaktif akan cenderung menggunakan judgement mereka pemerintah adalah orang-orang kafir yang tidak paham agama. Atau ketika ada berita tentang vaksin mengandung babi, maka orang-orang reaktif akan berbondong-bondong memberikan hujatan kepada pemerintah yang dianggap menzalimi hak-hak kaum mayoritas. Dan banyak lagi contoh kasusnya yang sulit jika saya sebutkan satu-persatu.
Bagaimana Budaya Literasi Bisa Mempengaruhi Kebijakan?
Mari kita sedikit mengintip pernyataan sesumbar para petinggi negara di tahun 2020.
“Banyak kyai dan ulama yang selalu membaca doa qunut. Saya juga begitu baca doa qunut untuk menjauhkan bala, bahaya, wabah-wabah dan penyakit. Makanya Corona minggir di Indonesia,” atau “Karena perizinan di Indonesia berbelit-belit maka virus corona tak bisa masuk” atau “Covid-19 tidak masuk ke Indonesia karena setiap hari kita makan nasi kucing, jadi kebal” dan yang agak terdengar saintifik ”Dari hasil modelling, cuaca Indonesia di ekuator yang panas dan humidity tinggi maka untuk COVID-19 itu enggak kuat” serta satu lagi yang bikin geleng-geleng kepala “Paling enggak kan ada dari Amerika, dari India misalnya, middle east. Negara-negara yang kira-kira punya potensi yang luar biasa (untuk menarik wisatawan ketika Corona)”
Ini merupakan cerminan dari masyarakat yang tidak peduli terhadap literasi, tidak berpikir secara saintifik, arogan dan defensif terhadap kesalahannya.
Menurut Barry (2009), “Senjata tunggal terpenting untuk melawan penyakit adalah vaksin, dan yang terpenting kedua adalah komunikasi”. Ketika komunikasi petinggi negara sesumbar penuh lelucon bodoh yang menyakiti hati masyarakat luas, maka kebijakan-kebijakan yang keluar pun akhirnya juga menjadi lelucon. Salah satunya adalah kebijakan mendanai Influencer untuk mempromosikan wisata Indonesia ketika “diluar sana” sedang mengalami epidemi Covid-19. Atau, kebijakan lockdown yang diusulkan oleh rakyat dianggap sebagai ancaman perekonomian bangsa. Atau bahkan yang lebih lucu kebijakan dilarang mudik, tetapi pulang kampung beda cerita.
Ketika seharusnya rakyat dan pemimpin negara bersinergi dalam menghadapi pandemi, justru pemerintah melakukan blunder besar akibat komunikasi yang kacau dan lelucon sesumbar yang mengakibatkan rakyat semakin antipati dan memperburuk keadaan, dan yang lebih menyakitkan adalah cara mereka menyalahkan rakyat karena tidak patuh terhadap aturan-aturan yang telah diputuskan.
Kolaborasi Nyata: Hoax dan Buruknya Komunikasi terkait Kebijakan Publik
Ketika kita menghadapi suatu arus informasi yang derasnya bukan main, termasuk berita-berita bohong, posisi pemerintah dalam hal ini justru bukannya menjadi pengendali ataupun pembantah hoax, namun menjadi oposisi sendiri bagi rakyatnya. Sedikit cerita dari Aceh, di sana, beberapa kelompok orang yang tidak sedikit jumlahnya, dan tidak sedikit pula jaringan pertemanan lokalnya menganggap pemerintah pusat dipercaya sebagai agen liberal, agen komunis, agen sekuler dan bukan untuk dipercaya apalagi untuk diikuti. Sebagian dari mereka memang memiliki kebencian terhadap pemerintah pusat karena secara historis menganggap penjajahan Indonesia terhadap Aceh hingga hari ini masih terjadi, dan apa yang dilakukan pemerintah pusat sampai hari inipun tidak menguntungkan bagi rakyat Aceh. Kecenderungan mereka adalah melakukan apa yang menjadi lawan dari kebijakan-kebijakan dari pemerintah pusat. Jika pemerintah mengatakan ada corona, mereka mengatakan, corona tidak ada atau hanya sedikit yang mempercayai corona. Ketika pemerintah mengatakan harus vaksin, mereka tidak mau vaksin karena percaya hoax-hoax yang beredar.
Bahkan ini terjadi di orang tua saya sendiri di Aceh. Walaupun mereka tidak membenci pemerintah, tidak pernah ada kejadian historis yang memilukan ketika diberlakukannya Daerah Operasi Militer atau DOM, dan tidak terkait sama sekali dengan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM), mereka menolak untuk di vaksin karena percaya ucapan yang dilontarkan oleh Louis Owien bahwa Covid-19 itu tidak ada, dan yang membuat mati bukanlah Covid-19 melainkan interaksi dari obat-obatan yang dipercaya kebanyakan orang sebagai obat Covid-19. Tidak hanya itu, hoax lainnya tentang Covid-19 dan vaksin juga sangat banyak beredar, dan dipercaya oleh mereka, sehingga saya sendiripun kebingungan dan cenderung menyalahkan diri saya sendiri, padahal saya paham betul, ini merupakan kegagapan pemerintah dalam melakukan pekerjaan domestiknya.
Cerita-cerita di atas sebenarnya sangat banyak saya dapatkan, baik dari keluarga sendiri, hingga teman-teman sebaya yang mereka sendiri tidak percaya terhadap Covid-19 ini. Kepercayaan rakyat Indonesia yang sangat rendah terhadap pemerintah, menjadi salah satu faktor kunci, bagaimana pengendalian pandemi di Indonesia menjadi sangat terbelakang.
Catatan:
Saya bukan orang yang anti terhadap pemerintah pusat, juga bukan orang yang benci terhadap pemerintah pusat. Saya justru orang yang sayang kepada negara ini, sayang kepada mereka, maka dari itu merasa perlu melontarkan kritik seperti ini.
Saya juga bukan orang yang anti vaksin, saya justru orang yang jengah ketika kecepatan vaksinasi di Indonesia tidak mencapai kemerataan dan hanya berkonsentrasi pada angka yang sebagian besar berasal dari pulau Jawa dan Bali.
Saya berharap pandemi segera berakhir, tapi harapan terbesar saya yaitu membaiknya budaya literasi di Indonesia, serta komunikasi dan koordinasi antar pemerintah dengan pemerintah, juga pemerintah dengan rakyat agar, kita siap menghadapi kondisi bencana apapun di masa depan.
Sambungan dari artikel “Kenapa Hoax dan Komunikasi Buruk Memperpanjang Masa Pandemi? (1)“