Demokrasi hari ini mengalami perubahan yang sangat signifikan jika dibandingkan dengan masa rezim “otoriterianisme”. Semua orang yang menjadi warga negara diberikan serta dijamin kebebasannya dalam berserikat, berkumpul, berpendapat, serta kebebasan berekspresi.
Menariknya semua kebebasan dalam rangka demokratisasi itu tidak hanya digelorakan pada ruang-ruang tembok seperti mural, atau ruang-ruang jalanan seperti unjuk rasa dan demonstrasi. Namun, menariknya demokrasi hari ini tumbuh dalam ruang religiusitas sekalipun misalnya dalam ruang peribadatan seperti masjid maupun gereja.
Orang tidak lagi takut menyuarakan pikiran dan pendapatnya, namun setiap ada kesempatan maka di situlah kebebasan itu mereka ekspresikan secara bebas tanpa intervensi dari siapapun termasuk negara. Ini megindikasikan bahwa demokrasi hari ini mulai bergerak pada ranah demokrasi yang subtantif, walau jika dilihat secara mendalam ke arah itu memang masih terlalu premature. Namun yang paling penting adalah demokrasi itu harus bisa diaktualisasikan oleh setiap warga negara karena mandate kedaulatan sebetulnya lahir dari rahim warga negara yang menginginkan kehidupan yang lebih baik.
Setelah dalam beberapa hari ini demokrasi kita disibukkan atau mungkin diperumitkan dengan isu penundaan pemilu yang dipelopori oleh petinggi partai politik, nampaknya ada kejenuhan dari publik di mana mereka menginginkan suatu perubahan. Hal ini tidak lepas dari implikasi respon media jagad maya yang membentuk rasionalitas pemilih di mana isu penundaan pemili adalah upaya pelanggengan kekuasaan jika merujuk pada konstitusi kita yang hanya mengijinkan masa jabatan seorang presiden adalah dua kali masa jabatan. Oleh karenanya kejenuhan publik ini semakin terakumulasi dengan rasionalitas perilaku pemilih untuk memprakarsai hadirnya pemimpin baru yang taat dan tunduk pada konsesus yang telah disepakati bersama.
Suara Demokrasi dari Kawah Bulak Sumur
Isu penundaan pemilu tahun 2024 yang diproduksi oleh elit partai politik telah menciptakan hiruk pikuk demokrasi yang semakin keruh. Namun berangkat dari isu ini, dalam dinamika kesadaran masyarakat mulai terbangun dan terkontruksi bahwa mereka mulai bergeser untuk mencari pemimpin baru yang dirasa lebih pro terhadap kepentingan masyarakat bawah.
Pada beberapa kurun waktu terakhir, misalnya saja satu tahun terakhir isu kandidat yang akan menyongsong pilpres tahun 2024 sudah mulai mengemuka di rasionalitas publik. Berdasarkan dalam data berbagai lembaga survey nama Anies baswedan akan diprediksi menjadi kandidat terkuat dalam bursa pencalonan presiden mendatang. Ini secara tidak langsung adalah imbas dari narasi dan wacana penundaan pemilu tahun 2024 yang dilontarkan oleh beberapa petinggi partai politik. Bahkan kegaduhan ini justru secara tidak langsung juga akan memboikot suara perolehan partai yang lantang dan vokal menunda pemilu. Hari ini publik telah kritis nalar dalam berdemokrasi.
Buktinya nama Anies Baswedan yang notabene orang pertama di DKI Jakarta dalam beberapa wilayah di Indonesia telah menjadi masyur. Misalnya saja ketika beberapa hari lalu menghadiri acara di Masjid Kampus Universitas Gadjah Mada disambut oleh jamaah yang sangat antusias dengan melontarkan presiden, presiden, dan presiden. Hal itu sangat berbeda responya ketika Ganjar Pranovo yang justru mendapatkan kritikan keras di ruang religiusitas atas kasus wadas yang mebuat warga Purworejo ketakutan. Artinya secara popularitas, ganjar kalah langkah dengan Anies Baswedan.
Anies Sebagai Bintang Kejora
Hampir dipastikan nama Anies Baswedan akan menjadi nama yang mampu melenggang dalam kontestasi presiden 2024. Ini adalah suara demokrasi hari ini yang berjalan serta bergulir di masyarakat menyikapi kejenuhan tingkah laku elit baik itu parpol maupun kementerian yang sering bicara tentang penundaan pemilu. Aktivitas ini membuat presiden hari ini yang sedang bekerja menjadi gaduh akibat pembantunya sendiri. Menariknya ketika ada berbagai desakan bahkan demontrasi yang dilakukan oleh berbagai kelompok mahasiswa di berbagai daerah suara pimpinan parpol dan beberapa menteri takut dan membisu di depan publik. realitas inilah yang kemudian membuat publik melahirkan opsi alternative yakni dengan menarasikan nama Anis sebagai presiden yang kelak akan menggantikan Jokowi pada 2024.
Walaupun masih ada nama Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto, nama Anies memiliki kesempatan yang jauh lebih besar. Dibandingkan Ganjar misalnya, orang akan mudah dimobilisasi bagaimana Ganjar mengeksekusi kasus wadas di Purworwjo.
Publik akan lebih mudah untuk membangun ingatan bagaimana kasus wadas ini melukai kita sebagai solidaritas warga negara. sementara pada nama Prabowo Subianto, pada konfigurasi dukungan politik petanya sudah jauh berbeda sebelum Prabowo bergabung ke koalisi pemerintahan. Ada setidaknya semacam pengurangan dukungan akibat rasa kekecewaan di mana yang awalnya sebagai oposisi terhadap negara, namun justru menjadi bagian dari sistem pemerintahan.
Inilah kelemahan-kelemahan yang bisa dilihat di atas permukaan jika rujukannya adalan nama terkuat yang masuk dalam bursa capres mendatang. Oleh karenanya Anies Baswedan menjadi sangat potensial dan secara dinamika waktu dia akan menjadi rebutan dari berbagai partai untuk diusung menjadi capres mendatang.