Sering kita temui di jalanan banyak lansia tuna wisma yang kepayahan bekerja sebagai penjual barang apapun ataupun menggadaikan harga diri sebagai pengemis. Ketika malam semakin larut mereka pulang ke bedeng-bedeng kecil tempat menyandarkan kantuk atau sekedar meringkuk di emperan pintu toko yang sudah tutup.
Ketika menjumpai orang dengan kondisi seperti di atas, kita mungkin merasa iba melihat hal yang sedemikian menyedihkan. Hingga kita tergerak untuk memberikan beberapa rupiah lantas merasa sudah bertindak sebagai pahlawan. Lantas apakah itu cukup? Apakah (hanya) sebesar itu daya bantu kita?
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2017 jumlah penduduk miskin, (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di lndonesia mencapai 27,77 juta orang (10,64 persen dari jumlah total penduduk). Angka tersebut bertambah 6,90 ribu orang dibandingkan dengan kondisi September 2016 yang sebesar 27,76 juta orang (10,70 persen).
Angka tersebut belum termasuk orang-orang yang tidak tercatat di dinas sosial sehingga mereka tidak memiliki identitias. Persoalan identitas ini menjadi penting, karena banyak orang-orang jalanan atau gelandangan seringkali tidak dapat mengakses hak-hak dasarnya sebagai warga negara oleh sebab tidak memiliki dokumen yang sah sebagai penanda mereka merupakan warga negara Indonesia.
Padahal, banyak dari mereka yang sudah berusia lanjut. Berhari-hari tidur beralaskan lantai toko, diterpa terik siang dan angin malam. Pendapatan mereka mungkin cukup untuk makan satu atau dua hari. Paling banter seminggu. Jarang sekali ada pemilik modal yang mau mempekerjakan lansia, apalagi yang berpendidikan rendah.
Kelas menengah ke atas, apalagi kaum intelektual, tentunya mengetahui bahwa kemiskinan dan ketimpangan sosial adalah hal yang tak menyenangkan. Parahnya, seringkali kemiskinan dan ketimpangan sosial hanya menjadi bahan diskusi, penelitian, omongan berbusa-busa di kelas ataupun forum diskusi, akan tetapi nihil dalam tindakan untuk memberantasnya.
Apalagi, diam-diam, kebanyakan masyarakat kelas menengah ini menyukai nasib mereka berada di atas garis kemiskinan dan merasa segala hal berada dalam kondisi baik-baik saja, selama kebutuhannya tercukupi.
Orang-orang miskin tetap dibutuhkan sebagai penyemangat untuk bekerja keras. Paling menjijikkan tentu saja: menjadikan mereka sebagai tontonan sekedar penghiburan pada diri sendiri dan memupuk rasa syukur yang salah kaprah.
Sementara itu, kelas menengah ke atas terutama mereka yang mendapat pendidikan tinggi, tentunya sadar bahwa sistem sosial yang tidak adil bagi seluruh rakyat Indonesia berperan besar terhadap ketimpangan sosial yang terjadi. Tapi kebanyakan memilih apatis, karena terlalu sibuk menjaga posisi agar tetap berada dalam garis masyarakat menengah ke atas.
Andai saja kemiskinan dan ketimpangan sosial ini mendapat porsi lebih dalam kegaduhan demi kegaduhan di masyarakat, tentunya akan lebih banyak hal yang dapat diberikan perhatian lebih di negara ini daripada sekedar meributkan penistaan agama, isu kebangkitan komunis, maupun hal-hal yang seharusnya tidak perlu dibahas terlalu panjang dan berlarut-larut.
Lantas, seberapa kuatkah peran pemberitaan dalam menanggulangi masalah?
Masyarakat Jogja dan sekitarnya pasti mengenal grup facebook fenomenal bernama Info Cegatan Jogja. Grup ini awalnya bertujuan untuk saling tukar informasi adanya operasi / cegatan / razia lalu lintas di sekitar Jogja. Lambat laun grup ini justru menjadi sarana komunikasi bagi warga untuk berbagi informasi dan salng membantu. Mulai dari kejadian kasur yang hilang, orang kesasar, hingga laporan kecelakaan dan kehilangan barang yang direspon anggotanya jauh lebih cepat daripada jika diproses ke kantor polisi.
Terbukti, masyarakat akan bergerak jika memiliki infomasi dan menganggap isu tersebut penting untuk dibahas. Alangkah baiknya, jika isu-isu penting seperti kemiskinan, ketimpangan sosial, penggusuran, reklamasi, krisis air, penggundulan hutan, penggusuran lahan, dan pemanasan global mendapat porsi lebih banyak di pemberitaan nasional agar masyarakat tidak menghabiskan tenaga untuk hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dibuat berlarut-larut.
Sumber:
https://bisnis.tempo.co/read/892130/maret-2017-jumlah-penduduk-miskin-indonesia-capai-2777-juta
gambar: https://www.bhagavadsambadha.com/foto?lightbox=dataItem-im1mzj0e