Berhari-hari ia terus merenung. Yang ada dalam pikirannya hanya satu; nasib bangsanya. Baginya tiada hari tanpa berpikir keras dan berdoa hingga tandas.
Dikumpulkannya seluruh catatan mengenai orang-orang yang pernah ia temui; mulai dari tingkah laku, agama, budaya, bahasa, hingga suku. Sampai waktu itu pun tiba. 1 Juni1945, ia berpidato dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan KemerdekaanIndonesia (BPUPKI) dan mengusulkan agar dasar negara Indonesia hendaknya diberi nama Pancasila, yang berarti “lima dasar”. Lima dasar itu adalah kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau peri kemanusiaan, mufakat atau demokrasi,kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang berkebudayaan.
Dalam kesempatan yang sama, ia menambahkan jika peserta sidang memandang perlu, lima dasar itu boleh diringkas lagi menjadi tiga rumusan saja, yang selanjutnya bisa disebut trisila dan terdiri dari: sosio nasionalisme, sosio demokrasi,dan ketuhanan. Ketiga dasar itu pun menurutnya masih bisa diperas lagi, menjadi satu dasar (ekasila), yang diidentikkan dengan istilah gotong royong.
Karena gotong royong, menurutnya adalah inti, identitas, dan karakter asli manusia Indonesia. Maka menjadi wajar jika kemudian hal itu dijadikan sebagai landasan hidup bersama sebagai suatu bangsa.
Iaadalah Ir. Soekarno. Penggali Pancasila di bumi pertiwi yang kita tinggali ini.
***
Sebelumnya, yakni pada tanggal 29 Mei 1945, Ketua BPUPKI, Dr. Radjiman Wediodiningrat mengatakan bahwa hendaknya dasar negara Indonesia yang akan dibentuk itu harus sesuai dengan corak dan kepribadian Indonesia sendiri. Karena Indonesia tidak bisa meniru dasar dan susunan negara dari negara lain, khususnya dari Barat. Negara-negara Barat saat itu sudah menganut sistem liberalisme dan individualisme.
Menjawab pertanyaan tersebut, tiga tokoh penting menyampaikan pandangannya. Antara lain adalah M. Yamin, Prof. Soepomo, dan Ir. Soekarno.
Secara lisan, M. Yamin mengusulkan dasar negara Indonesia terdiri dari peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ketuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat. Selanjutnya, dalam usulan tertulisanya M. Yamin mengusulkan dasar negara Indonesia terdiri atas: ketuhanan yang maha esa, kebangsaan persatuan Indonesia, rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dua hari berselang setelah sidang pertama berlangsung, Prof. Soepomo mengajukan usulannya mengenai dasar negara Indonesia merdeka, yakni: persatuan atau nasionalisme, kekeluargaan, takluk kepada Tuhan, musyawarah, dan keadilan rakyat.
Sejak saat itu, semua sila terus digodok dan disusun ulang dengan sangat hati-hati karena ada kepentingan kolektif yang sedang dipertaruhkan. Hingga kemudian menghasilkan naskah piagam Jakarta pada 22 Juni 1945 oleh panitia sembilan dan disepakati menjadi rumusan final pada 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Sebagaimana usulan Soekarno, dasar negara Indonesia diberi nama Pancasila yang terdiri atas: ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh Indonesia.Indah nian kalimat-kalimat itu, bak mutiara yang tersusun rapi pada sebuah etalase kaca yang bening. Memancarkan kilauan yang menggoda mata dan mengundang decak kagum banyak orang.
Dan mutiara-mutiara itu, kini menjadi milik kita. Diwariskan kepada kita. Agar kita dapat menangkap kilaunya dan menjadikannya sebagai cahaya penerang dalam kehidupan sehari-hari dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
****
Pada 1 Juni 2016 lalu, Presiden Joko Widodo menetapkan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila melalui Kepres Nomor 24 Tahun 2016. Penetapan ini disahkan agar rakyat Indonesia pada masa kini dan masa yang akan datang dapat mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Lantas pertanyaannya, bagaimanakah cara mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu dalam kehidupan sehari-hari?
Kalau kita sepakat bahwa karakter dan identitas asli manusia Indonesia adalah manusia yang suka bergotong royong, maka hal itu pulalah yang harus kita lakukan saat ini. Terlahir dan besar sebagai orang Indonesia, seharusnya membuat kita paham betul bagaimana nilai-nilai Pancasila itu telah bisa diimplementasikan dalam kegiatan bernama gotong royong ini. Ini lantaran—sekali lagi—pada diri orang Indonesia, budaya gotong-royong sudah menjadi bagian dari kehidupan kesehariannya. Mulai dari ketika seseorang terlahir, membangun rumah, membangun jalan, membersihkan tempat ibadah, membersihkan lingkungan tempat tinggal, memperingati hari besar nasional, hingga ketika tetangganya meninggal; kesemuanya pasti disertai oleh yang namanya kegotong-royongan.
Dalam bergotong royong itu, tidak akan ada yang sempat mempertanyakan siapa Tuhan dan apa agama orang lain. Karena pada saat itu masing-masing hanya akan berfokus pada bagaimana mencapai tujuan bersama, membagi tugas, dan melaksanakan tugas tersebut dengan sebaik-baiknya.
Dalam bergotong royong itu, semua orang berderajat sama. Hanya perannya yang berbeda. Mereka tetap memakan nasi yang sama. Meminum air yang sama. Merasakan lelah yang setara. Dan menikmati hasilnya secara bersama-sama pula. Tenggang rasa dan tepa selira senantiasa dijaga. Sehingga mereka tidak akan berlaku semena-mena terhadap yang lainnya. Sebab mereka pun adalah bagian dari yang lain itu. Yang timbul kemudian adalah sikap hormat dan keinginan untuk terus bekerja sama dan bersatu.
Dalam bergotong royong itu, segala bentuk sikap egoisme dilebur menjadi kepentingan bersama. Kepentingan bersama terletak di atas kepentingan pribadi, suku, agama, golongan, dan ras. Maka jangan heran jika kemudian mereka begitu rela berkorban apa pun dan seberapa pun, asal untuk kepentingan bersama. Karena mereka pun bangga atas kebersamaan itu.
Dalam bergotong royong, setiap keputusan yang diambil adalah hasil atas musyawarah bersama. Sedangkan dalam bermusyawarah, kedudukan, hak, dan kewajiban mereka sama. Sama-sama berhak mengemukakan pendapat, memberi saran, dan bahkan melancarkan kritik. Namun demikian, masing-masing diri tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Jika kemudian ada perbedaan pandangan dan kehendak, penyelesaian dengan cara duduk bersama adalah yang utama. Berdialog adalah pokok. Semangat kekeluargaan adalah napas. Akal sehat dan budi pekerti senantiasa dijunjung tinggi.
Dan dalam bergotong royong itu, semua akan turut menuai hasil. Turut menikmati dan merasakan. Karena yang muncul kemudian adalah rasa saling berbagi dan membantu.
***
Saudaraku sebangsa dan setanah air, kini saatnya bagi kita untuk kembali ke jati diri. Kembali kepada identitas kita sebagai manusia yang saling mengenal, saling menyapa, saling berdialog, saling menghargai, dan meletakkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan atau golongan.
Indonesia adalah proyek bersama, yang harus dibangun secara bersama-sama (bergotong-royong) pula. Oleh kita; manusia Indonesia. Mari, kita bergandengan tangan. Bergotong royong untuk Indonesia yang aman, tenteram, sejahtera, dan makmur.