Jumat, Oktober 4, 2024

Kemanusiaan Sebelum dan Sesudah Keberagamaan

Rizka Nur Laily Muallifa
Rizka Nur Laily Muallifa
Reporter media daring dan penulis lepas. Mengelola Podcast Jangan Nyasar

Kesatuan dan persatuan antar-umat beragama di Indonesia memang tampak begitu massif belakangan ini. Namun, jauh sebelum pandemi Covid-19 muncul, kecenderungan yang demikian sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia. Setiap tahun, umat Muslim yang tergabung dalam Banser alias pasukan keamanan Nahdlatul Ulama (NU) turut menyukseskan pelaksanaan Hari Raya Natal dengan berjaga di lingkungan gereja.

Sebaliknya, umat Muslim juga rutin menggelar salat Idul Fitri dan Idul Adha di sekitar Gereja Koinonia di kawasan Jatinegara, Jakarta. Di Solo, Jawa Tengah sebagian jemaah salat Idul Fitri di Masjid Al Hikmah juga menunaikan ibadah tahunan tersebut di area Gereja Kristen Jawa Joyodiningratan. Dua rumah ibadah berbeda agama itu letaknya persis berdampingan.

Setiap tahun, Gereja Katedral yang letaknya berseberangan dengan Masjid Istiqlal menyediakan lahan parkir untuk umat Muslim yang hendak melakukan salat Idul Fitri. Sementara itu, pihak Masjid Istiqlal juga menyediakan lahan parkir bagi umat Kristiani yang hendak melakukan ibadah Misa di Gereja Katedral. Terutama di hari-hari besar seperti Natal dan Paskah yang jumlah jemaatnya membludak dibanding hari-hari biasa.

Peristiwa-peristiwa di atas menunjukkan aplikasi sikap toleransi agama, kebangsaan, bahkan kemanusiaan. Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA. dalam wawancaranya dengan Republika menyampaikan bahwasanya kerjasama dan saling bahu-membahu antara Masjid Istiqlal dengan Gereja Katedral menjadi perwujudan dari rasa kemanusiaan. Umat dari kedua agama berbeda mewujudkan toleransi sebagai aksi nyata dalam keberlangsungan hidup bermasyarakat. Toleransi tidak sekadar sebagai gagasan retoris yang digembar-gemborkan melalui kata-kata di acara seminar, melainkan telah jauh melampaui itu (republika.co.id, 25 Desember 2016).

Kekuatan Umat Beragama di Indonesia

Contoh-contoh yang telah dipaparkan di atas hanya sebagian kecil dari cerminan kerukunan hidup antar-umat beragama di Indonesia. Mantan Staf Khusus Wakil Presiden RI untuk Bidang Reformasi Birokrasi (2017-2019), Azyumardi Azra C.B.E. memberi gambaran menyejukkan mengenai umat beragama di Indonesia dalam buku terbarunya yang berjudul Relevansi Islam Wasathiyah: dari Melindungi Kampus hingga Mengaktualisasi Kesalehan  (Kompas, 2020). Azra melakukan analisis kesejarahan yang melatarbelakangi kuatnya kohesi sosial yang dalam hal ini berkaitan erat dengan sikap umat Muslim Indonesia sebagai mayoritas.

Saat konflik, kekerasan, dan perang terus meruyak di negara-negara Muslim di dunia Arab, Asia Selatan, Asia Barat, serta Afrika dibersamai dengan semakin kuatnya gejolak ekstremisme dan radikalisme, hal itu tidak terjadi di Indonesia. Islam Indonesia atau bisa juga disebut Islam Nusantara dikenal sebagai Islam jalan tengah atau Islam wasathiyah yang mewujud menjadi sikap dan perilaku umat yang toleran dan inklusif. Dalam konteks kenegaraan, kendatipun Islam menjadi agama mayoritas di Indonesia, Islam tidak lantas dijadikan sebagai agama negara. Oleh karena itu, Islam tidak menjadi bagian dari politik dan kekuasaan (Azra, 2020: hlm. 187).

Berbeda dengan Malaysia yang menjadikan Islam sebagai agama resmi negara dan bagian integral dari kekuasaan. Di Malaysia, hanya agama Islam yang boleh disiarkan di ranah publik. Bahkan penggunaan kata Allah hanya diizinkan untuk umat Muslim. Sementara di Indonesia, semua agama dan kepercayaan memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk tampil di hadapan publik. Selain itu, penyebutan nama Allah yang merujuk pada sosok Tuhan juga digunakan oleh dua umat berbeda, yakni umat Muslim dan Kristiani.

Melihat tingginya toleransi dan inklusivitas Islam Indonesia, tidak sedikit kalangan asing yang menaruh harapan besar. Sejak akhir 1980-an misalnya, Guru Besar Universitas Chicago, Fazlur Rahman melihat potensi Islam Indonesia dan saya kira juga umat beragama secara lebih luas bisa berdiri di barisan terdepan, memberikan konstribusinya bagi peradaban dunia yang lebih damai dan harmonis.

Harapan yang disematkan pada umat beragama di Indonesia tidak terlepas dari perjalanan kesejarahan bangsa. Sejak dahulu kala, Indonesia tidak memiliki sejarah kelam perang saudara atau konflik dan perang antar-agama yang bersifat politis-kekuasaan seperti di negara-negara lain. Sikap bangsa Indonesia yang terbuka dan menerima komonalitas dan kebhinekaan menjadi pangkal dari eratnya persaudaraan sebangsa dan lebih luas lagi sebagai sesama manusia.

Hal ini dikukuhkan dalam Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Pancasila dan Undang-undang Dasar (UUD) I945 mencantumkan hak dan kewajiban setiap dan seluruh warga negara Indonesia atas dasar kemanusiaan, kesetaraan hak hidup, hak mendapat keamanan diri, hak membela diri, dan tanggung jawab mewujudkan pertahanan dan perdamaian. Serta kesetaraan hak sekaligus kebebasan memilih agama dan keyakinan.

Peran Strategis Pemerintah

Pancasila dan UUD 1945 merupakan dua konsensus yang menyatukan bangsa Indonesia sejak kemerdekaan pertama kali diraih. Oleh karena itu, segenap masyarakat Indonesia perlu terus bersinergi mengamalkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 dalam bina damai. Dalam hal ini, pemerintah sebagai penyelenggara negara memiliki peran strategis melalui penetapan kebijakan-kebijakan publik yang selaras dengan Pancasila dan UUD 1945, yang mengutamakan terpeliharanya harkat dan martabat seluruh bangsa Indonesia.

Sudah tepat misalnya kebijakan pencantuman kolom penghayat kepercayaan di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Kebijakan itu menjadi bagian dari penghargaan sekaligus pengakuan resmi kepada para penghayat kepercayaan di Indonesia yang jumlahnya tidak sedikit. Kebijakan tersebut juga bisa menepis adanya kecemburuan sosial antara pemeluk agama dan penghayat kepercayaan.

Dalam berbagai survei, Indonesia termasuk salah satu negara paling religius di dunia. Kenyataan ini harus disikapi dengan bijaksana oleh seluruh masyarakat. Sebagai negara kepulauan yang majemuk, stabilitas negara menjadi hal utama yang harus terus dipertahankan. Pasalnya, dalam praktiknya di akar rumput, religiositas bisa menjelma sebagai dua mata pisau sekaligus.

Sebagian umat beragama memaknai religiositasnya dengan keliru, misalnya dengan melakukan penyerangan rumah ibadah agama lain, aksi bom bunuh diri, dan teror-ancaman kepada mereka yang dianggap berbeda dari kelompoknya. Religiositas yang keliru ini ditandai dengan munculnya ekstremisme dan radikalisme yang berujung pada praktik terorisme.

Namun, umat beragama yang melakukan aksi kekerasan dan teror tersebut hanya sebagian kecil alias oknum. Sementara mayoritas umat beragama di Indonesia merupakan golongan yang toleran dan inklusif. Oleh karena itu, pemerintah perlu terus menjaga nyala keberagaman di Indonesia melalui penetapan kebijakan yang toleran dan inklusif pula.

Selain itu, juga dibutuhkan keterlibatan dari unsur keagamaan. Keberadaan ormas keagamaan semacam NU dan Muhammadiyah atau forum lintas iman seperti Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) yang jangkauannya sampai di tingkat daerah memiliki konstribusi besar mengukuhkan kohesi sosial antar-umat beragama sekaligus antar-sesama bangsa Indonesia pada umumnya.

Rizka Nur Laily Muallifa
Rizka Nur Laily Muallifa
Reporter media daring dan penulis lepas. Mengelola Podcast Jangan Nyasar
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.