Korupsi disebabkan oleh postur kekuasaan negara yang berlebih. Disaat bersamaan, pengawasan publik terkatup. Apabila prasyarat itu terpenuhi maka dalil Lord Acton (1902) tentang “kekuasaan absolut cenderung korup” seketika berlaku.
Korupsi lazimnya terjadi dalam sistem bernegara tertutup (tanpa pengawasan), atau dengan kata lain kekuasaan absolut digenggaman eksekutif. Namun menjadi tidak biasa bila korupsi kekuasaan tadi terjadi di institusi pengawasan (legislatif) seperti yang sedang terlihat di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir.
Bentangan korupsi kekuasaan mulai dari kontroversi kenaikan pajak, korupsi di kementerian ketenagakerjaan, pemberian remisi Setya Novanto, drama penangkapan Paulus Tannos (e-KTP), rasuah BUMN (pertamina), penerbitan amnesti, hingga suap-menyuap di institusi peradilan, menjadi warta yang dikonsumsi publik sehari-hari.
Etika bernegara dan Korupsi kekuasaan
Korupsi kekuasaan hari ini kian menjadi-jadi. Kenaikan tunjangan gaji anggota legislatif sebesar 50 (lima puluh) juta sebagai gambarannya. Disaat publik sedang dihadapkan dengan persoalan kebutuhan hidup sehari-hari, perwakilannya justru menghambur-hamburkan uang secara berjamaah.
Polemik kenaikan tunjangan gaji bukan saja menggambarkan ketiadaan etika bernegara (nir-empati) namun juga cermin dari kinerja terburuk lembaga legislatif. Belum lagi kontroversi penggantian hakim konstitusi yang prosesnya tidak hanya tergesa-gesa dan menutup ruang partisipasi publik tetapi juga sarat akan tukar tambah kepentingan. Keadaan itu sekaligus berpotensi menggerus kemerdekaan institusi peradilan.
Persoalan etika bernegara diatas juga ditengarai oleh kualitas, kapasitas, kapabilitas, serta moralitas pejabat legislatif yang tidak memumpuni.
Padahal etika dalam bernegara merupakan prinsip moral pejabat negara yang didasarkan pada nilai-nilai luhur seperti integritas, transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab sosial (Frans Magnis Suseno, 1994). Kebijaksanaan ini adalah harga yang harus ditunaikan pejabat publik baik dalam rupa perilaku maupun produk kebijakan.
Beberapa protes publik belakangan menunjukkan ketidak-pedulian legislatif terhadap kondisi kesulitan publik. Kegagalan dalam membaca situasi itu merupakan bentuk nyata hilangnya tanggung jawab sosial (komponen etika).
Bahkan, sikap itu sudah dicontohkan jauh sebelum kegaduhan kenaikan tunjangan gaji. Artinya, kenaikan tunjangan gaji hanya bentuk kecil dari fenomena gunung es dari banyaknya kegagalan kebijakan legislatif yang ditutup-tutupi. Karenanya, sikap antipati publik sesungguhnya didasari atas rentetan kebijakan legislatif yang tidak pro rakyat.
Apalagi disaat polemik kenaikan tunjangan gaji mencuat, salah seorang anggota legislatif berkata: “jangan samakan kita dengan rakyat jelata”. Apakah perkataan itu merupakan bentuk paling jujur dari nurani anggota legislatif?. Mungkin saja.
Padahal sesungguhnya kedudukan rakyat lebih tinggi. Contoh, waktu pemilu, calon legislatif mengemis minta suara rakyat. Bahkan dengan memberhalakan segala cara. Namun ketika menjabat, arogansi kekuasaannya menyebabkan nurani dan akal sehat hilang. Pada akhirnya, tanggung jawab sosial dengan konsituen sebagai hubungan timbal balik, tak lagi dipedulikan.
Perilaku semacam itu kian membuat publik merasa muak (ad nauseam). Kemuakan psikologi itu membuat apatisme publik pada “yang politik” menjadi beralasan.
Keadaan itulah yang melatari lahirnya simptom kolonial belakangan ini. Seperti eksploitasi sumber daya, banalitas politik, transaksi kepentingan, obsesi terhadap kekuasaan, feodalisme dalam bernegara, identitas politik yang semuanya mengerucut pada satu hal: kembalinya mentalitas penjajah.
Aneka persoalan yang saling jalin-menjalin tadi berujung pada citra buruk lembaga legislatif. Dua rilis survei terakhir litbang kompas (Juni 2024, Januari 2025) menunjukkan fakta penguat. Situasi ini harus segera disiasati sebelum endapan amarah publik terakumulasi dalam momentum sejarah.
Pembenahan etika
Untuk menyikapi berbagai macam persoalan tadi, diperlukan investasi etika bernegara. Pembenahan bisa dilakukan melalui rangkaian tes wawasan kebangsaan (TWK). Calon anggota DPR wajib menempuh mekanisme TWK untuk menapis sindrom-sindrom kolonial.
Mekanisme TWK ini harus dilakukan secara berlapis. Misalnya, pada tingkat partai politik dan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Pertama, partai harus membuat semacam rancang bangun TWK dalam sistem kaderisasi partai. TWK dilakukan di tiga tahap yaitu rekrutmen anggota, jenjang pendidikan internal, dan pra pencalonan legislatif. Mekanismenya harus dilakukan melalui kurikulum partai berbasis ideologi dan penataran nilai-nilai pancasila.
Ketiga mekanisme ini dimaksudkan agar kader partai betul-betul mendapat suntikan moral dan energi positif untuk memodali kader parpol menjadi seorang anggota dewan. Hal ini berkaitan dengan pemupukan integritas dan kualitas intelektual guna menopang kemampuan calon legislatif. TWK jangan hanya dilakukan terhadap anggota KPK saja.
Kedua, TWK dalam lingkup KPU. Tahap ini mengharuskan KPU merancang blue print dalam sistem pencalonan legislatif mulai dari pendaftaran sampai tahap kampanye pileg. Mekanisme ini perlu dilakukan secara ketat dengan melibatkan Bawaslu dan DKPP agar penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil bisa dilangsungkan.
Kongkritnya, KPU harus meminta rekam jejak calon legislatif ke partai pengusung perihal keikutsertaannya dalam berbagai agenda kaderisasi dan sekolah partai. Bila ditemukan anomali, maka KPU berhak mendiskualifikasi calon. Untuk melegitimasi keabsahannya, KPU dan partai wajib membuat sebuah kesepakatan.
Setelah itu, KPU wajib menyelenggarakan agenda debat terbuka calon legislatif pusat (DPR RI) dengan tema besarnya wawasan kebangsaan tadi. Sehingga sistem pemilu legislatif dibangun secara sistemik dan berlapis guna menunjang etika pejabat negara.
Oleh karena itu, diperlukan revisi beberapa UU yakni UU Pemilu (pencalonan legislatif dan penyelenggara pemilu), dan UU MD3. Perubahan mendasar dua UU ini menyangkut pasal-pasal soal mekanisme kaderisasi partai dan sistem pencalonan legislatif. Dan tidak lupa pula anggaran pemilu serta partai politik harus ditingkatkan.
Cetak biru ini harus dilakukan tanpa melupakan aspek paling mendasar yaitu transparansi biaya politik dan akuntabilitas dana penyelenggara pemilu yang dilakukan melalui partisipasi publik secara bermakna (meaningfull participation). Pengesahan RUU perampasan aset juga harus segera dilakukan.
Etika bernegara sebagai ide penuntun (regulative ideal) dimaksudkan agar nafsu memperkaya diri sendiri tidak terjadi, bahkan terpikirkan (Dennis Thompson, 2002).
Tolok ukur etika itu pernah dicerminkan oleh perumus bangsa, Bung Hatta. Saat tumpukan tagihan listrik rumahnya belum dibayarkan, Bung Hatta justru menolak serupiah pun uang gajinya -sebagai Wakil Presiden (apalagi sekedar tunjangan)- demi membantu rakyat yang pada saat itu sedang dilanda berbagai macam kesulitan hidup.
Bentangan perkara korupsi hari-hari ini setidaknya menyadarkan kita betapa pentingnya pemahaman tentang sejarah korupsi. Bukan untuk diulang melainkan dipelajari agar kesewenang-wenangan kekuasaan tidak lagi terulang.