Kekerasan seksual masih menjadi isu yang tidak habis dibicarakan. Pasalnya menurut catatan dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) yang dilansir dari Kompas.com (19/01/2022) terdapat 10.247 kasus kekerasan perempuan yang terjadi sepanjang 2021 lalu dan 15,2 persen dari kasus tersebut merupakan kasus kekerasan seksual. Angka ini tentunya mengisyaratkan kepada kita bahwa kekerasan seksual masih menjadi permasalahan yang harus diselesaikan.
Meskipun demikian, kasus kekerasan seksual yang terjadi mungkin lebih banyak daripada angka tersebut, karena tak jarang korban kekerasan seksual memilih bungkam dan enggan melaporkan permasalahan yang menimpa mereka. Hal ini kemungkinan terjadi karena masih adanya doktrin bahwa korban kekerasan seksual merupakan sebuah aib yang harus disembunyikan.
Selain itu, dalam beberapa kasus juga didapati bahwa upaya korban untuk melaporkan kekerasan seksual yang dialami ke pihak berwenang justru tidak mendapatkan penanganan yang diharapkan, tak jarang kasus mereka tidak diselesaikan dengan berbagai alasan, misalnya kurang cukup bukti atau bukti yang kurang kuat.
Mengambil contoh dari kasus yang menimpa seorang mahasiswi asal Universitas Brawijaya, Novia Widyasari. Dalam kasus tersebut Novia tidak mendapatkan ruang untuk membela dirinya. Pasalnya Novia telah mencoba untuk meminta pertanggungjawaban kepada pelaku dan keluarganya namun tidak membuahkan hasil.
Dalam situasi demikian, support dari orang terdekat menjadi satu hal yang sangat penting, namun sayangnya hal tersebut juga tidak didapatkan Novia. Keluarga terdekatnya, paman dari Novia bahkan juga meminta Novia untuk menggugurkan kandungannya karena menganggap hal tersebut adalah aib yang mencoreng nama baik keluarga. Tak tahan dengan situasi dan tekanan yang diterimanya, Novia mengakhiri hidupnya karena depresi.
Belajar dari kasus tersebut, sangat disayangkan ketika korban kekerasan seksual diperlakukan seolah sebagai pelaku. Bias antara korban dan pelaku seakan masih menjadi budaya masyarakat dalam menanggapi kasus kekerasan seksual. Dalam kasus yang demikian sebenarnya korban layak mendapatkan dukungan dari lingkungan sekitar, bukan diperlakukan seolah sebagai aib yang harus disembunyikan. Memberi dukungan kepada korban bukan berarti menyetujui adanya kekerasan seksual, tapi dengan memberikan dukungan emosional kepada korban mampu memberikan korban ruang untuk menyembuhkan rasa trauma dan memperbaiki mental korban.
Dengan mengucilkan korban kekerasan seksual tidak menyelesaikan apapun, namun hanya akan memperburuk kondisi kesehatan mental korban. Sudah sepantasnya sebagai sesama manusia yang beradab kita tidak saling menjatuhkan. Minimal kita mampu bersikap netral dengan tidak menghakimi korban.