Rabu, April 24, 2024

Kekerasan dan Maskulinitas yang Menyimpang

Muhammad Ruslan
Muhammad Ruslan
Pemerhati Pendidikan

Di masyarakat yang mengalami disorientasi paham patriarki, kita akan mudah melihat kekerasan demi kekerasan terjadi. Tak selesai saat kasus kekerasan antarsiswa di salah satu SMA di Bogor mencuat, kini kekerasan yang membawa korban tingkat SD kembali terjadi di Jabar Agustus lalu. Dan terakhir, baru-baru ini beredar video duel antarsiswa dari sekolah yang berbeda (entah dari sekolah mana). Ini seperti menambah daftar panjang dari kasus kekerasan yang tak henti-hentinya terjadi di dunia persekolahan kita.

Kita melihat, ada kenyataan ketidakterpisahan antara bagaimana fenomena kekerasan yang terjadi di sekolah dengan fenomena-fenomena kekerasan yang terjadi di masyarakat. Sepertinya nyaris tidak ada ruang untuk luput dimana kekerasan itu begitu mudah terjadi, dari sipil hingga bahkan aparat. Kekerasan-kekerasan horizontal demikian hanya menjadi ironi tersendiri bagi bangsa kita, yang konon dikenal sebagai bangsa yang ramah.

Kekerasan yang begitu mudah kita dengar, lihat, dan bahkan mungkin saksikan sendiri akhir-akhir ini seperti memutar 180 derajat muka bangsa kita, dari bangsa ramah menjadi bangsa pemarah. Terakhir, seorang pengemudi mobil adu jotos dengan seorang anggota TNI di sekitar Rawamangun, Jakarta (13/10). Video yang sempat viral itu di media sosial tersebar begitu cepat. Namun, nyatanya bukannya berhasil memancing rasa prihatin justru sebaliknya, memancing spiral amarah yang terus berputar lewat pengwajaran, cacian, makian, yang tak lain adalah bentuk kekerasan itu sendiri yang bersifat verbal.

Memang ironis dan patut disayangkan melihat kenyataan bahwa, hampir setiap kekerasan demikian yang selalu terjadi justru lebih banyak terpantik oleh urusan sepele. Urusan yang mungkin terlalu sederhana untuk bisa disebut masalah, yang seharusnya dapat diselesaikan dengan satu dua kata “maaf”, justru menjadi persoalan serius yang memantik penggunaan kekerasan.

Dari kekerasan yang bersifat sepele yang meledak tiba-tiba hingga kekerasan yang penuh dengan intrik politik, semua lalu-lalang seolah menggambarkan bahwa situasi sosial kita benar-benar penuh dengan amarah terselubung. Dari isu politik yang dikemas dalam parade massa hingga soal kekerasan ojek online belakangan ini. Dari orang dewasa hingga masuk dalam kehidupan anak remaja sekolahan sekalipun, kekerasan dipertontongkan dengan segala ironi yang menyertainya.

Pertanyaannya, kenapa masyarakat kita sekarang begitu cepat mengalami disorientasi emosi yang berujung kekerasan? Kenapa setiap gesekan selalu dijawab dengan kekerasan? Tidak ada jawaban utuh untuk menjawab pertanyaan tersebut. Ini adalah persoalan yang saling berentetan antarbanyak faktor. Dari faktor struktural hingga soal kultural.

Struktural

Di tengah kondisi hidup yang penuh tekanan yang menindih di dalam struktur sosial yang timpang, kekerasan selalu mengambil tempat yang luang untuk itu. Kita bisa melihat di negara-negara dengan tingkat kebahagiaan yang rendah yang diukur dari kerentanan tingkat ketimpangan. Ada faktor kausalitas yang saling terkait antara kualitas kesejahteraan suatu bangsa sebagai salah satu indikator kebahagiaan terhadap tingkat kekerasan yang lazim terjadi.

Di negara dengan tingkat kebahagiaan yang rendah, kita mudah melihat bagaimana kekerasan-kekerasan itu begitu mudah meletup, tak terkecuali Indonesia. Sedang di negara dengan indeks kebahagiaan tertinggi seperti Islandia justru sebaliknya. Ketimpangan yang sangat rendah,seturut dengan rendahnya angka kekerasan dan kriminalitas yang nyaris berada diangka 0%.

Ini untuk mengatakan bahwa budaya ramah ataupun budaya marah tidak pernah benar-benar berdiri sendiri, tidak pula ia lahir di ruang hampa begitu saja. Dalam konteks sosial, ia bahkan tak bisa dipisahkan dari kondisi sosial yang meliputi struktur sosial yang ikut membentuknya.

Mengimajinasikan suatu tatanan sosial yang beradab, damai, penuh penghargaan terhadap hak asasi manusia, jauh dari perwujudan kultur marah menjadi ramah, kita tak bisa mengabaikan kondisi-kondisi struktur sosial yang ada; sejauh mana struktur sosial yang ada sudah benar-benar bisa dikatakan manusiawi atau tidak? Di masyarakat ataupun di sekolah kita bisa menggiring pertanyaan tersebut.

Kultural 

Membaca praktik kekerasan yang lazim terjadi membuat kita paham bahwa ada pertautan sisi antara struktur sosial yang tidak kondusif dengan sisi maskulinitas yang kultural, dan ketika ia bertemu disitulah kekerasan mudah meletup. Kalau persoalan struktural secara kausalitas menjadi sebab, maka kekerasan menjadi alat kutural untuk mengekspresikan kepengapan struktural tersebut. Suatu relasi struktural yang timpang memberi ruang kekerasan menemukan wadahnya untuk tersalurkan.

Di tingkat kulutral, kekerasan tidak pernah lepas dari struktur sosial kita yang partriarki. Logika maskulin yang seringkali berakhir dalam tafsir yang penuh kekerasan (fisik) menjadi penyebab praktik kekerasan untuk menyelesaikan masalah terus terjadi. Dan ironisnya bahwa narasi-narasi maskulinitas yang ditafsir secara menyimpang demikian terinternalisasi secara tidak langsung sejak anak mengenyam dunia persekolahan.

Narasi-narasi bahwa maskulin itu identik dengan hal yang berbau keras, dianggap sebagai laku garis hidup kaum lelaki terinternalisasi sejak kecil oleh lingkungan kita yang patriarki. Kita bisa melihat praktik demikian terjadi di tingkat anak-anak sekalipun, apalagi ketika media ikut mengkonstruksikan penafsiran demikian lewat penokohan-penokohan film dan fiksi yang sangat sarat dengan kekerasan.

Dan celakanya, bahwa “keras” yang dimaksud tersebut hanya dan selalu identik dengan cara menghadapi masalah dengan kekerasan fisik. Kita bisa begitu mudah melihat bagaimana di sekolah, anak yang terlihat lebih lunak (gemulai) justru lebih banyak menjadi objek bulliyan teman lelakinya yang lain. Keberanian yang ditafsir sempit sebagai hasrat untuk melakukan kekerasan secara tidak langsung dianggap sebagai tipologi nilai yang ideal yang disyaratkan untuk mendapatkan pengakuan sebagai seorang manusia terlebih laki-laki. Duel ataupun tawuran yang sering terjadi di kalangan siswa adalah gambaran menyimpang dari bagaimana narasi maskulinitas itu terejawantahkan.

Mesti ada upaya untuk melakukan re-tafsir ulang atas nilai-nilai maskulinitas demikian untuk disemai kembali dalam sekolah. Kita berada di dalam masyarakat yang gandrung akan kekerasan. Suatu jenis kekerasan yang benihnya terwarisi dan tertanam perlahan-lahan sejak dini. Dibutuhkan counter untuk meretas miskonsepsi demikian.

Maskulinitas-maskulinitas yang menggaet kesadaran kita tentang tipologi diri yang “keras” sepertinya telah jauh menyimpang dari yang seharusnya. Keberanian mestinya tidak selalu berbarengan dengan kecenderungan  melakukan kekerasan. Mestinya kekuatan tidak selalu ditafsir dengan kekerasan. Bukankah kelembutan juga adalah wujud kekuatan diri manusia yang sebenarnya? Kata-kata Gandhi berikut patut direnungkan, “Kekerasan adalah jalan bagi manusia yang lemah!”.

Kita yang merasa kuat hanya dengan menjadikan kekerasan sebagai jalan, masihkah kita bisa dianggap kuat (maskulin)?

Muhammad Ruslan
Muhammad Ruslan
Pemerhati Pendidikan
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.