Terobosan Pemerintah dalam pembelajaran di sekolah sekarang harus fokus pada hal yang esensial berupa literasi, numerasi, dan pengembangan karakter. Kata-kata ini diucapkan oleh Nadiem Makarim, Mendikbudristek beberapa bulan yang lalu ketika pertemuan di gedung DPR.
Penulis juga punya pendapat yang sama, kalau literasi kita mau maju, tidak cukup hanya dengan komunitas-komunitas literasi, penerbitan buku, dan kelompok diskusi. Andil sekolah sebagai ujung tombak diharapkan dapat menempa kemampuan baca, tulis, dan berhitung. Sekolah juga bisa melatih siswa berfikir kritis, melek informasi dan pengetahuan, serta mampu memilah dan mengidentifikasi informasi yang akurat.
Peran sekolah dalam meningkatkan kualitas literasi mulai dari memberi porsi literasi informasi pada kurikulum, penyediaan perpustakaan yang tersandar, pustakawan atau guru yang tidak hanya menyajikan buku dan sumber bacaan semata, atau hanya duduk manis menunggu siswa datang ke perpustakaan, tapi mendorong siswa punya rasa ingin tahu dan memberi layanan optimal dalam mengakses informasi. (Mahwasane, 2017).
Siswa juga perlu belajar etika literasi terkait cara mengutip, menghindari copy paste dan plagiat, dan tidak kemakan hoaks. Informasi hoaks masih menghantui masyarakat dan pelajar. Awal tahun 2022, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menemukan sebanyak 9.546 situs hoaks di internet.
Tugas sekolah adalah melahirkan generasi literat, entah itu lewat pembelajaran maupun layanan perpustakaan. Perpustakaan sekolah di Indonesia menurut data sensus perpustakaan sebanyak 113.541. Tugas sekolah dan perpustakaan dituntut untuk mampu meng-counter siswa dari situs dan konten hoaks yang beredar di internet.
Ada banyak informasi palsu yang tersedia di internet, mulai dari obat mujarab, lowongan kerja, bantuan tunai yang mengatasnamakan pihak tertentu, fitnah terhadap publik figur, adu domba buzzer, propaganda gerakan ekstrim, konspirasi global, dan banyak lagi jenis-jenis hoaks yang memberi informasi bohong.
Beberapa bulan yang lalu, dalam suasana kemerdekaan Republik Indonesia, di jagat media sosial dan youtube, beredar video tentang TNI tembak jatuh jet tempur Malaysia.
Untuk meyakinkan penonton, tayangan ini membuat kutipan dari satu media ternama, keterangan bohong yang mengatasnamakan anggota TNI, menghubungkan kontennya dengan peristiwa lama yang tidak ada kaitannya, dan membohongi penonton seakan telah terjadi operasi sakti TNI ke pasukan militer Malaysia.
Parahnya, tayangan hoaks tersebut ditonton sebanyak puluhan ribu, ratusan orang menyukai, dan lebih 500 orang memberi komentar. Dari komentar nitizen, ada banyak yang percaya dengan informasi hoaks itu.
Informasi yang disebarkan ini, menyadarkan kita betapa potensi hoaks masih sangat besar di media, baik lewat saluran informasi tulisan maupun video. Tingkat literasi masyarakat kita belum mampu meng-counter derasnya arus informasi palsu. Berita hoaks yang tersebar sangat cepat ini dengan sangat instan diyakini oleh masyarakat. Terkadang baru baca judul nitizen langsung percaya dan komen, tanpa memahami substansi informasi.
Internet sebagaimana yang disampaikan oleh Tim Nichols dalam buku “ The Death of Expertise” bahwa internet banyak menyampaikan informasi omong kosong, mereka yang bersumbu pendek akan mudah bereaksi atas informasi yang keliru dan provokatif, terutama mengenai politik. Internet juga menyajikan mitos, cerita simpang siur, rumor, dan fitnah.
Phippen, Bond, dan Buck (2021) mengungkapkan pentingnya penerapan literasi di sekolah untuk meng-counter hoaks dan memberdayakan siswa berfikir kritis, tidak hanya membentuk siswa agar melek digital, tapi bagaimana siswa mendapatkan pengetahuan memadai, menganalisis masalah, mengembangkan kerangka berfikir sistematis dan logis.
Lebih lanjut Phippen, Bond, dan Buck (2021) ada beberapa pertanyaan yang mesti kita ajukan untuk menilai suatu informasi itu hoaks atau bukan, diantaranya; Darimana sumber informasi yang anda baca? siapa penulisnya? bagaimana cara anda memeriksa apakah informasi itu sudah tepat dan valid? apakah anda sudah merujuk informasi itu secara benar? apakah informasi itu pendapat atau fakta?
Berangkat dari pertanyaan di atas, literasi informasi mengajak kita untuk mampu mengidentifikasi media informasi dengan menguji keakuratan dan kemutakhiran informasi, menilai profesionalitas dan kompetensi penulis dalam menulis suatu informasi, mengevaluasi apakah informasi sudah kompatibel, tidak membingungkan, dan masuk akal.
Cara kita merujuk informasi sudah sesuai dengan tangkapan indera dan melibatkan pikiran dalam mengabstraksi informasi. Dan apakah informasi tersebut pendapat awam atau pengetahuan yang sesuai fakta dan pembuktian empiris.
Cara lain menurut Galih Asokti Priambodo dalam penelitiannya menyatakan bahwa cara menangkal hoaks di kalangan remaja yaitu dengan pengenalan media, menilai positif dan negatif konten informasi, menganalisis judul dan isi, dan berani punya pendapat dan pikiran sendiri tentang informasi yang disajikan.