“Manusia lebih merupakan anak zamannya ketimbang anak bapaknya,” tulisan sejarah Marc Bloch. Inilah yang paling tidak yang saya bisa rasakan sebagai calon pengajar yang saat ini masih dilatih.
Ungkapan itu tampak setelah saya membuka buku In the Name of Identity, karya salah satu pemikir Timur mengenai identitas. Ungkapan yang saya telah lama pendam itu sebenarnya terperangkap di hati saya ketika saya melihat dua dampak yang dihasilkan dari industri pendidikan.
Toh, yang namanya industri, fokusnya bukan lagi memperbaiki, tapi lebih merujuk kepada sebuah pertanyaan: “Siapa yang tidak mau diuntungkan?” Jadi, pada dasarnya industri memihak kepada pelanggan yang memiliki kelimpahan kekayaan yang sangat besar dibandingkan dengan yang tidak memiliki apa pun sama sekali.
Sederhananya, industri pendidikan hanya dimiliki sebagian orang saja atau kelas tertentu. Selama ini, sebagai seorang siswa, saya tak pernah merasakan hal serupa yang begitu mengerikannya karena saya pada saat itu bukanlah seorang penjual, tapi lebih merujuk sebagai seorang konsumen.
Konsumen tak akan pernah merasakan bagaimana pahitnya menjual, bagaimana sebuah nilai tukar itu dibuat, dan lebih cenderung memaknai sebuah benda berdasarkan kualitasnya dan bukan pengorbanan dari para pembuat produk atau penjual dari barang yang saya beli. Saya pada saat itu hanyalah seorang penikmat belaka.
Pada masa pelatihan, saya mendapati bahwa kebanyakan dari siswa kursus juga termasuk orang dewasa. Bisa dikatakan, sistem pendidikan yang ada di negeri mengalami kegagalan, sehingga sampai dewasa pun para mantan siswa itu masih tak mampu menerima baik pembelajaran yang mereka terima sewaktu sekolah dulu. Kebanyakan dari mereka merupakan seorang mahasiswa. Apakah itu cerminan di sekolah yang ada saat ini?
Belum lagi ada beberapa video disebar dan disiarkan banyak di internet, baik via Youtube maupun media sosial seperti Facebook, Twitter, dan sebagainya yang berisikan konten yang sudah jelas-jelas menggambarkan kegagalan sekolah negeri saat ini. Para siswa dengan mudahnya menghina gurunya, bahkan mungkin di antara mereka ada yang mengerjainya.
Yang bahkan lebih parah, ditandai dengan sebuah perang antarsekolah yang bahkan tak pernah terjadi pada antarlembaga kursusan.
Itulah tanda sebuah industri pendidikan. Yang bahkan lebih buruknya lagi, sekolah negeri tak menyediakan sebuah pembelajaran lebih sehingga kebutuhan orang yang memiliki kekayaan lebih dapat mengeksplorasi atau mengembangkan diri mereka melalui lembaga kursusan. Jadi, industri pendidikan menyediakan ‘yang lebih’ untuk orang ‘yang lebih’ juga dalam segi materi.
Mungkin saya dulu sebagai siswa tak sadar akan hal ini, dan pada akhirnya saya harus merasakan kepahitan sekaligus dilematik dalam mengajar mereka yang ada di kursusan saat ini. Mereka ‘yang lebih’ memiliki moral yang bisa dikatakan ‘baik’, bahkan lebih baik dari pada yang tak memiliki kekayaan materi.
Seperti yang saya sebutkan di atas, ada sebuah video yang membuat saya menjadi lebih prihatin dalam dunia pendidikan. Misalnya saja seorang siswa didapati menggunakan narkoba, bahkan yang paling buruk adalah rekaman perkelahian antarsekolah, baik yang terekam maupun tidak. Dan kebanyakan dari mereka itu berasal dari sekolah negeri.
Di dalam kelas yang saya observasi, saya menyadari sesuatu yang sepertinya saya sedang mengalami autisme. Autisme merupakan perasaan yang secara tak langsung dan hanya mengutamakan kesenangan belaka. Autisme jaman now inilah yang mendominasi sistem pendidikan saat ini. Merasa lupa dan hanya ingin diperlakukan selayaknya seorang konsumen.
Sebaiknya saya harus membuka lembar baru dalam dunia pendidikan ini. Persoalannya, idealisme saya kadang ciut kalau dihadapkan dengan orang-orang yang ‘agamais’. Mereka mengatakan agamalah solusinya. Dan saya pun tidak meragukannya, tentunya. Namun, saya sekali lagi mengingatkan bahwa agama mempunyai sebuah fleksibilitas tersendiri dan itu tergantung dari orang yang mengatur atau menjadi pemimpin dari agama tersebut.
Saya tak pernah bosan-bosannya mengingatkan apa yang selalu dikatakan Amin Maalouf bahwa kebanyakan dari teman saya selalu membesar-besarkan pengaruh agama terhadap orang, tapi tidak ke arah sebaliknya. Inilah yang patut menjadi bahan pembelajaran bagi saya sendiri maupun teman-teman saya.
Saya mempunyai pendapat, ada baiknya kalau melakukan sebuah tahap di mana mengubah ulang sistem-sistem yang bersifat umum ini seperti sekolah agar tak dimasuki oleh industri. Jika tidak, itu justru memperparah pada sifat umum ini.
Yang umum bukan lagi sifatnya merakyat, tapi hanya merakyat bagi yang memiliki ‘yang lebih’ itu. Tak perlulah membuat rumit sebuah jabatan atau menciptakan jabatan yang begitu banyak. Karena inti dari ini bukanlah sebuah keteraturan, tapi sebaliknya: jabatan yang menguntungkan.
Saya juga merasa bahwa lembaga kursus yang sudah ada, ada baiknya kalau mengambil beberapa metode. Apa yang saya rasakan, misalnya, melakukan observasi untuk beberapa bulan, dan setelah itu melakukan pelatihan pengajaran.