Rabu, Juli 23, 2025

Kecanduan Reward, Skema Survei, dan Realita Finansial Gen Z

Kilau Berkilau
Kilau Berkilau
I am a beginner scriptwriter who is trying to live a better life for the future, no matter who I am and where I am I always want to be the best
- Advertisement -

Beberapa waktu terakhir, lini masa media sosial saya dipenuhi dengan video dan screenshot: bukti transfer, saldo menggelembung, dan narasi penuh antusiasme dari akun-akun yang menyebut dirinya “influencer cuan.”“Cuma rebahan bisa dapet duit,” kata mereka.“Klik ini, isi survey 3 menit, dapet saldo Dana 50 ribu!”Saya tergoda, tentu saja. Siapa yang tidak?

Sebagai bagian dari Generasi Z yang hidup di tengah krisis ekonomi, biaya pendidikan tinggi, dan ekspektasi sosial yang absurd, saya tidak asing dengan kebutuhan untuk “cari uang tambahan.” Namun, pilihan yang tersedia tidak selalu logis. Di saat pekerjaan lepas makin sulit diakses tanpa pengalaman, aplikasi-aplikasi instan ini muncul menawarkan ilusi: kerja gampang, uang cepat.

Realita Finansial Gen Z

Kami lahir di era ketika tabungan bukan jaminan, dan gelar sarjana tidak otomatis berarti pekerjaan mapan. Keluarga kelas menengah ke bawah, beban pendidikan, dan tekanan sosial untuk “sukses di usia muda” membuat kami terpaksa kreatif — atau lebih tepatnya, bertahan.

Muncullah aplikasi seperti Money Reels, Swagbucks, Surveyon, Tiktok Bonus, dan sejenisnya. Modelnya mirip: selesaikan misi, tonton iklan, bagikan link referral, dapatkan poin yang bisa ditukar dengan uang. Beberapa berhasil mencairkan, sebagian besar tidak. Tapi, semua tetap dicoba, karena peluang lima ribu rupiah pun terasa seperti pertolongan darurat.

Apakah ini semata karena malas kerja “beneran”? Tidak. Ini karena sistem dan situasi membuat kami mendekati putus asa. Ketika peluang riil makin sempit, yang absurd pun dicoba. Kami tahu risikonya. Tapi kami juga tahu: di luar sana, tidak banyak pilihan.

Skema Digital dengan Cita Rasa MLM

Sadar atau tidak, banyak aplikasi “cuan cepat” ini memakai logika berantai. Seseorang baru bisa dapat untung besar kalau berhasil menarik banyak orang lain untuk ikut. Ini bukan hal baru — model ini dulu dikenal sebagai skema piramida, atau MLM, hanya sekarang dibungkus lebih rapi dan estetik.

Yang membedakan adalah: kini promosi dilakukan oleh influencer dengan estetika modern, gaya bicara persuasif, dan narasi keberhasilan. Mereka menunjukkan saldo ratusan ribu bahkan jutaan, tanpa pernah benar-benar menunjukkan proses lengkap di balik layar.

Kita ditarik oleh janji-janji visual, tanpa tahu bahwa mungkin kita bukan target yang dimaksud. Saat saya mencoba sendiri, hasilnya jauh dari ekspektasi. Sering kali akun saya “bukan target survey,” atau reward tidak cair karena satu alasan teknis. Ironisnya, saya tetap mencoba lagi — seperti orang yang kecanduan, bukan karena yakin akan hasilnya, tapi karena tidak ada alternatif lain yang lebih cepat.

Ekonomi Digital yang Tidak Ramah Pengguna Biasa

Aplikasi seperti ini bukan benar-benar penipu, tapi juga bukan solusi finansial. Mereka memanfaatkan waktu, perhatian, dan harapan kita sebagai komoditas. Iklan yang kita tonton adalah uang mereka, bukan uang kita. Sistem gamifikasi — reward harian, misi terbatas, countdown waktu — membuat kita terus membuka aplikasi tanpa sadar bahwa kita sedang bekerja, tanpa upah yang layak.

Dalam konteks ini, “kerja” tidak lagi hanya soal produktivitas, tapi juga soal algoritma dan ilusi. Kita tidak tahu apakah kita sedang berpartisipasi dalam ekonomi digital, atau hanya dimanfaatkan olehnya.

- Advertisement -

Butuh Literasi, Bukan Cemoohan

Ketika saya bercerita ke teman atau senior soal hal ini, beberapa malah menertawakan. “Ya siapa suruh percaya? Kan jelas scam.” Padahal, narasi seperti itu hanya memperparah kesenjangan. Yang dibutuhkan bukan sindiran, tapi pemahaman bahwa ada jutaan anak muda yang hidup di antara sempitnya pilihan dan besarnya kebutuhan.

Literasi digital seharusnya bukan sekadar tahu mana hoax dan mana bukan, tapi juga memahami logika ekonomi digital, pola eksploitasi algoritma, dan pentingnya kritis terhadap narasi keberhasilan palsu.

Kita Perlu Sistem, Bukan Sekadar Semangat Bertahan

Saya tidak ingin menyalahkan siapa pun — bukan influencer-nya, bukan pengembang aplikasinya, bahkan bukan Gen Z yang tergoda mencoba. Yang salah adalah ekosistem yang membiarkan ekonomi digital tumbuh tanpa etika, tanpa batasan, dan tanpa pelindung bagi pengguna biasa.

Anak muda bukan malas, bukan bodoh. Kami hanya lelah hidup di zaman yang membuat kami bekerja keras untuk sekadar “tidak miskin.”

Dan kalau hari ini kami terpaksa menonton iklan 30 detik demi receh digital, itu bukan karena kami serakah. Tapi karena dunia nyata terlalu mahal untuk kami beli dengan cara biasa.

Kilau Berkilau
Kilau Berkilau
I am a beginner scriptwriter who is trying to live a better life for the future, no matter who I am and where I am I always want to be the best
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.