Belum lama ini, Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 tentang tata cara pelaksanaan tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, rehabilitasi, dan pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual terhadap anak (Kompas.com, 5 Januari 2020).
Saya mengapresiasi atensi Presiden Jokowi terhadap maraknya kasus pelanggaran seksual terhadap anak. Menurut saya, negara harus hadir memberikan jaminan perlindungan bagi anak, karena kita tahu, selama ini anak-anak rentan mengalami kekerasan, salah satunya kekerasan seksual. Untuk itu, perhatian negara melalui produk kebijakan merupakan bentuk perlindungan terhadap anak sebagai generasi masa depan bangsa.
Namun, persoalannya menjadi lain, dimana kebijakan Presiden Jokowi untuk melindungi anak dari predator seksual, mengurangi kekerasan seksual terhadap anak dan memberikan efek jerah bagi pelaku predator seksual pada anak melalui kebijakan hukuman kebiri kimia, menurut saya bentuk kebijakan yang kurang tepat.
Bagaimanapun juga, kebijakan seperti itu, hemat saya, tidak otomatis bahwa kekerasan seksual terhadap anak akan berkurang bahkan tidak terjadi lagi. Hal ini tentu harus diperiksa lebih jauh, bahwa hukuman kebiri kimia dalam situasi apapun, menurut saya telah mendegradasi Hak Asasi Manusia (HAM).
Saya sepakat bahwa kita mengutuk keras para pelaku predator anak. Tetapi bukan berarti kebijakan hukuman kebiri kimia menjadi pilihan satu-satunya dalam upaya menangani masalah ini. Sebab, hukuman kebiri kimia selain mendegradasi HAM, di sisi yang lain, saya melihatnya akan menyebabkan penderitaan yang berkepanjangan bagi kehidupan pelaku predator anak.
Hal ini bagi saya harus dilihat lebih jauh, yakni suatu masalah yang tidak otomatis menyelesaikan suatu persoalan. Bahwa ini merupakan masalah bersama dan serius untuk ditanganni, saya katakan iya.
Tetapi apakah kebijakan hukuman kebiri kimia dapat dijaminkan bahwa kekerasan seksual terhadap anak dapat dikurangi? Belum tentu produk kebijakan Jokowi dapat menjamin soal itu. Bahkan apabila saya mempertautkan masalah ini dengan hukuman mati, hemat saya, hukuman kebiri kimia adalah bentuk lain dari hukuman mati itu sendiri.
Sebab kita tahu, bagaimana kondisi yang akan dialami oleh pelaku predator anak pasca mereka di hukum kebiri kimia, justru jauh lebih menderita sepanjang hidup mereka. Saya membayangkan bahwa, seorang pemuda yang belum menikah di hukum kebiri kimia, bagaimana dia akan menjalani kehidupannya. Ini tentu merupakan efek dari hukuman kebiri terhadap seorang pelaku predator tanpa melihat efek yang ditimbulkan dalam kehidupan si pelaku.
Artinya, seperti yang saya katakan, bahwa negara telah hadir melalui produk kebijakan hukum yang justru melucuti HAM seseorang tanpa memikirkan alternatif kebijakan lain yang musti dipilih. Menurut saya, menyelesaikan persoalan kekerasan seksual terhadap anak melalui hukuman kebiri kimia justru tidak menjawab sekali subtansi persoalan yang tengah kita hadapi. Sialnya, negara justru mengambil sikap melalui pendekatan yang dianggapnya dapat menyelesaikan suatu persoalan.
Sehingga dengan pendekatan itu, dalam kacamata saya, negara lebih memilih ‘jalan singkat’ ketimbang memikirkan bentuk alternatif kebijakan lain yang menurut saya masih harus ditempuh dalam menyelesaikan persoalan ini. Pada tingkat seperti ini, menurut saya, negara lemah dihadapan para pelaku predator anak serta lumpuh didalam mendesain sebuah kebijakan untuk menyelesaikan suatu persoalan.
Bagi saya, produk kebijakan Jokowi mesti ditinjau ulang, karena tidak otomatis memberikan efek jerah terhadap para pelaku predator anak. Yang ada malah, produk kebijakan hukuman kebiri kimia telah mengeksklusi pelaku dari domain HAM. Sebab, dalam kondisi dimana seorang pelaku predator seksual telah menjalani hukuman kebiri kimia, secara otomatis bagian dari tubuhnya tidak berfungsi.
Di sini, kehidupan pasca hukuman tersebut jauh lebih menderita. Bahkan, saya membayangkan dalam sebuah kultur masyarakat dimana si pelaku tinggal, mengalami perlakuan diskriminatif dan dijauhkan dari lingkungan sosial.
Hal ini mungkin terlalu jauh, tetapi menurut saya, perlakuan diskriminatif dan dijauhkan dari lingkungan sosial merupakan implikasi dari hukuman kebiri kimia. Dalam kondisi demikian, bahkan hal ini akan berpengaruh kuat terhadap kehidupan pelaku. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya beban psikologis yang harus ditanggung si pelaku dalam menjalani kehidupan sosial ditengah masyarakat. Beban psikologis, perlakuan diskriminatif ditambah lagi dijauhkan dari lingkungan sosial, menjadi beban yang sangat besar.
Bagi saya, kondisi demikian memperlihatkan situasi dimana ada pengabaian terhadap HAM bagi pelaku predator. Untuk itu, kebijakan yang dikeluarkan Jokowi mesti ditinjau kembali dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi pelaku predator seksual anak dengan tidak mengeksklusi mereka dari domain HAM, serta menyediakan alternatif kebijakan yang tepat agar kekerasan seksual terhadap anak tidak terjadi lagi.
Alternatif Kebijakan
Desain kebijakan dalam menyelesaikan persoalan kekerasan seksual pada anak harus mulai dari sikap serius negara dalam upaya menangani persoalan tersebut. Kebijakan hukuman kebiri kimia bagi pelaku predator anak, hemat saya kurang tepat. Melainkan menunjukan sebuah sikap ‘gagap’ negara di hadapan pelaku predator anak serta mencerminkan sikap negara, yang menurut saya lebih memilih jalan singkat untuk menyelesaikan masalah.
Menurut saya, kebijakan yang mungkin tepat untuk diterapkan dalam menangani persoalan kekerasan seksual pada anak ialah, negara mesti mendesain kebijakan hukum yang dapat membuat para pelaku mengalami efek jerah, misalnya dengan menambah hukuman dari yang semula 10 sampai 12 tahun menjadi 20 tahun. Tidak hanya itu, para pelaku predator anak harus dipisahkan dari kasus-kasus yang lain. Di sana selain mereka mendapatkan hukuman, negara bisa menggunakan pendekatan lain dengan cara merehabilitasi mereka.
Di sisi yang lain, untuk mengurangi bahkan tidak terjadi lagi kekerasan seksual pada anak melalui kehadiran negara yang ramah pada anak dengan cara memastikan hak dan kebebasan mereka terlindungi dengan baik. Keluarga, sekolah dan masyarakat harus dapat menjadi elemen penting dalam upaya terus membangun kerjasama dengan terus menyuarakan kebebasan ekspresi pada anak. Hanya dengan cara itu, hemat saya, anak-anak di masa depan akan jauh lebih aman dan terhindar dari predator anak.
Negara tidak boleh terlalu fokus pada urusan penghukuman terhadap pelaku kekerasan seksual pada anak. Saatnya negara membangun sistem perlindungan dan jaminan hak dan kebebasan bagi anak-anak.