Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah telah menggulirkan sejumlah kebijakan untuk mempercepat pembangunan desa. Salah satu kebijakan yang menonjol adalah pengalokasian Dana Desa melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014.. Kebijakan ini dianggap sebagai tonggak penting untuk mendorong kemandirian desa. Namun, apakah kebijakan ini benar-benar memberdayakan sumber daya manusia (SDM) desa atau justru hanya menjadi formalitas administratif tanpa dampak signifikan?
Realitas di Lapangan
Meski alokasi Dana Desa semakin besar setiap tahun, efektivitasnya masih menjadi perdebatan. Banyak laporan menunjukkan bahwa penggunaan dana ini sering kali terbatas pada pembangunan infrastruktur fisik, seperti jalan dan fasilitas umum. Sementara itu, investasi dalam pengembangan SDM desa—yang seharusnya menjadi fondasi pembangunan jangka panjang—masih minim. Padahal, tanpa SDM yang mumpuni, infrastruktur yang dibangun tidak akan dimanfaatkan secara maksimal.
Sebagai contoh, sejumlah desa yang telah membangun pusat ekonomi berbasis UMKM sering kali kesulitan bersaing karena aparatur desa dan masyarakat setempat belum dibekali pelatihan terkait manajemen usaha, pemasaran digital, atau pengelolaan keuangan. Ini menunjukkan bahwa kebijakan publik masih kurang berfokus pada aspek pengembangan kapasitas manusia.
Kesenjangan Kebijakan
Salah satu penyebab minimnya perhatian terhadap SDM desa adalah pendekatan kebijakan yang terlalu berorientasi pada hasil fisik. Pemerintah sering kali menilai keberhasilan program pembangunan dari jumlah proyek yang selesai, bukan dari dampak yang dihasilkan terhadap kualitas hidup masyarakat. Hal ini menciptakan insentif bagi pemerintah desa untuk lebih fokus pada infrastruktur ketimbang pengembangan kapasitas manusianya.
Di sisi lain, kurangnya akses terhadap pelatihan berbasis kebutuhan lokal juga menjadi masalah. Aparatur desa sering kali hanya mengikuti pelatihan-pelatihan umum yang tidak relevan dengan potensi dan tantangan di wilayahnya. Akibatnya, kebijakan pengembangan SDM desa berjalan tanpa arah yang jelas.
Meluruskan Prioritas
Jika pemerintah serius ingin menjadikan desa sebagai motor pembangunan nasional, kebijakan publik harus mengutamakan pengembangan SDM. Ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk meluruskan prioritas ini:
1. Integrasi Dana Desa untuk Pendidikan dan Pelatihan SDM
Sebagian alokasi Dana Desa harus difokuskan pada program pendidikan dan pelatihan yang berbasis kebutuhan lokal. Pelatihan ini bisa mencakup teknologi, manajemen keuangan, hingga inovasi sosial yang sesuai dengan potensi desa.
2. Evaluasi Program Berbasis Dampak
Pemerintah perlu mengubah sistem evaluasi kebijakan menjadi berbasis dampak. Ini berarti keberhasilan program tidak hanya diukur dari hasil fisik, tetapi juga dari peningkatan kompetensi dan produktivitas masyarakat desa.
3. Kemitraan dengan Lembaga Profesional
Untuk meningkatkan kualitas pelatihan, pemerintah dapat bermitra dengan perguruan tinggi, sektor swasta, dan lembaga masyarakat sipil. Kemitraan ini memungkinkan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih efektif ke desa-desa.
Membangun Desa, Membangun Bangsa
Ketimpangan pembangunan antara desa dan kota tidak hanya berdampak pada kesenjangan ekonomi, tetapi juga memperbesar jurang sosial. Mengatasi kesenjangan ini tidak cukup hanya dengan membangun jalan dan jembatan. Yang lebih penting adalah membangun manusia di desa agar mampu berkontribusi dalam perekonomian nasional.
Jika kebijakan publik tetap mengabaikan aspek SDM, maka pembangunan desa hanya akan menjadi formalitas. Desa akan terus bergantung pada pusat, dan masyarakatnya akan kehilangan peluang untuk berkembang secara mandiri. Sebaliknya, jika kebijakan ini diarahkan untuk memberdayakan SDM, desa bisa menjadi pusat pertumbuhan baru yang membawa Indonesia menuju pembangunan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.