Senin, Oktober 7, 2024

Kebijakan Pseudo Populis Pemkot Tasikmalaya

Dede Kurnia
Dede Kurnia
Pemuda Tasikmalaya. Senang mengamati. Mahasiswa Pascasarjana di UPI Bandung. Bergiat di Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Priangan Timur (LPMP) dan Komunitas RSBS ometlit

Beberapa hari ini, sopir angkutan kota (angkot) di Tasikmalaya sedang meradang. Penyebabnya, para sopir angkot merasa periuk usahanya terganggu oleh transportasi berbasis aplikasi.

Nah, alih-alih mengakomodir aspirasi sopir angkot, pemerintah kota malah mengeluarkan surat edaran yang intinya melarang operasi transportasi berbasis aplikasi. Kontan saja, kebijakan ini ditentang oleh orang-orang yang menggantungkan hidupnya sebagai sopir transportasi berbasis aplikasi, suara-suara perlawanan juga muncul dari kalangan masyarakat yang kadung jadi pengguna jasa transportasi berbasis aplikasi ini.

Menyoal surat edaran yang dikeluarkan oleh pemerintah kota Tasikmalaya, penulis menganggapnya sebagai blunder yang tidak terelakkan. Ada dua hal yang penulis yakini; 1) Surat edaran itu tidak akan menyelesaikan permasalahan, justru malah semakin memperkeruh dan memperpanjang konflik yang ada. 2) Surat edaran tersebut merupakan indikasi bahwa pemerintah kota Tasikmalaya cenderung nggak mau ribet atas prahara yang ada.

Keyakinan pertama, nyata terbukti. Seusai surat edaran itu dipublikasikan, giliran driver angkutan berbasis aplikasi yang balik meradang. Mereka merasa tidak difasilitasi dan merasa diperlakukan seenaknya oleh pemerintah kota. Di lain pihak, setelah surat edaran keluar, para sopir angkutan konvensional pun cenderung bertindak lebih agresif. Mereka cenderung merasa terfasilitasi untuk bertindak seenaknya.

Di dalam aksi unjuk rasa pengendara sopir angkot yang dilakukan pada hari Rabu (17/01/17), beberapa diantaranya kalimat bernada intimidasi yang apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, kurang lebih begini: “Setelah mendapat surat ini, kita bisa melakukan apapun terhadap pengendara transportasi berbasis aplikasi. Mau ditabrak, dipukul, atau dibunuh-pun bebas! Sudah ada izinnya”. Kurang lebih begitulah percapakapan dalam vidio yang viral dalam grup media sosial Facebook.

Miris. Sangat miris memang. Surat edaran dianggap sebagai surat yang melegitimasi tindakan represif. Penulis secara langsung melihat, hari ini (18/01/17) sopir angkutan konvensional melakukan sweeping terhadap beberapa mobil pribadi dan pengendara motor yang dicurigai sebagai sopir moda transportasi berbasis aplikasi.

Parahnya lagi, kecurigaan mereka terbukti. Ada beberapa sopir kendaraan berbasis aplikasi—Ojek dan taksi online—tertangkap tangan sedang menjemput dan membawa penumpang, kemudian diintimidasi dan entahlah apa yang selanjutnya dilakukan. Penulis tidak tega menyaksikannya.

Sejauh ini, hipotesis pertama yang penulis ajukkan terbukti. Surat edaran yang dikeluarkan nyatanya tidak dapat menyelesaikan masalah yang ada. Justru, bagi penulis kebijakan yang dikeluarkan melalui surat edaran cenderung Pseudo Populis. Alih-alih ingin mengakomodir aspirasi masyarakat, dalam hal ini sopir agkutan konvensional, nyatanya pemerintah malah abai dengan aspirasi masyarakat yang membutuhkan kenyamanan dan kemanan dalam menggunakan moda transportasi umum.

Keyakinan kedua, penulis beranggapan bahwa surat edaran merupakan tindakan Pemkot yang cenderung nggak mau ribet. Keyakinan ini bukan tanpa dasar, pasalnya apabila pemerintah kota ini (baca: Tasikmalaya) mau sedikit berpikir lebih jernih, sebenarnya akan ada banyak solusi alternatif yang bisa digunakan. Nyatanya, tidak demikian. Pemkot Tasikmalaya malah mengeluarkan kebijakan yang cenderung sepihak dan malah memperpanjang perkara.

Mental Kompetisi

Di dalam aktivitas ekonomi, persaingan atau kompetisi merupakan hal yang lazim terjadi. Umumnya sebuah kompetisi akan diikuti oleh inovasi-inovasi untuk saling mengungguli kompetitor lain. Tanpa kompetisi aktivitas ekonomi akan cenderung monoton, Oleh karenanya, persaiangan antara moda transportasi konvensional dan moda transportasi berbasis aplikasi adalah sesuatu yang wajar dan tidak perlu dipermasalahkan.

Seharusnya kedua moda transportasi tersebut, bisa menunjukkan nilai lebih masing-masing, sehingga konsumen dapat memilih berdasarkan keuntungan yang akan didapatkan. Hal ini wajar, sebab bagaimana pun seorang konsumen memiliki sudut pandang sendiri ketika melakukan aktivitas ekonomi. Konsumen akan mencari pelayanan maksimal dengan pengeluaran minimal. Pelayanan yang berkualitas akan menumbuhkan konsumen yang memiliki loyalitas, sebuah adagum yang kini nyata terbukti.

Melalui sebuah kompetisi, suatu kegiatan bisnis akan maju, sebab para pelaku usaha akan secara terus-menerus meningkatkan kualitas agar diminati oleh konsumen. Sebaliknya, barang pun jasa  dengan kualitas buruk dan ketinggalan tren akan tidak laku dan secara bertahap ditinggalkan oleh konsumen. Sebagaimana telah diungkapkan, bahwa hal ini lazim sebab merupakan bagian dari hukum alam yang tidak dapat dipungkiri.

Solusi yang Seharusnya

Agar tidak terkesan Pseudo-Populis dan keadilan tidak tampak parsial, mestinya pemerintah Tasikmalaya mampu mengakomodir keinginan keduabelah pihak, pasalnya keduabelah pihak sejatinya memiliki cela dan kekurangan yang selama ini kian kencang diperbincangkan publik.

Moda transportasi konvensional, cenderung dianggap tidak ramah, tidak nyaman, tidak aman, ugal-ugalan, dan konon acap ada penumpang yang memergoki sopir menyetir dalam keadaan mabuk seusai menenggak arak. Adapun salah satu keunggulannya, transportasi konvensional ini memilliki legalitas yang tidak perlu dipertanyakan. Sementara moda transportasi berbasis aplikasi, bersifat kebalikannya. Menawarkan berbagai kenyamanan dan kemanan, sementara diragukan dalam aspek legalitas.

Seandainya pemerintah kota ini mau bijak, mestinya harus menciptakan regulasi yang mengayomi dan tidak merugikan keduanya. Pemerintah kota ini, mestinya dapat mengeluarkan regulasi sedemikian rupa untuk mengatur operasional transportasi berbasis aplikasi.

Di sisi lain, pemerintah kota Tasikmalaya juga harus mengeluarkan kebijakan yang menekan agar moda transportasi konvensional dapat melakukan perbaikan sebagaimana kekurangan yang kerap dikeluhkan masyarakat, dengan begitu, setidaknya harapan masyarakat mengenai moda transportasi yang nyaman dan aman dapat sedikit terpenuhi. Adil bukan?

Dede Kurnia
Dede Kurnia
Pemuda Tasikmalaya. Senang mengamati. Mahasiswa Pascasarjana di UPI Bandung. Bergiat di Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Priangan Timur (LPMP) dan Komunitas RSBS ometlit
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.