Solo, HTS – Di balik hijau lapangan driving golf, sebuah alegori tentang dilema politik Indonesia terbentang nyata. Para pemangku kebijakan, dari menteri hingga direktur BUMN, harus melakukan swing ekonomi yang sempurna di atas fairway (jalur ideal) pembangunan, sambil terus dihantui oleh dua rintangan abadi: sentimen Anti-Asing dan sentimen Anti-Aseng.
Realitas ekonomi menuntut pragmatisme, namun gejolak politik memaksa para elit untuk memainkan peran ganda yang kompleks.
The Stance: Keseimbangan di Titik Nol
Setiap pejabat yang ditugaskan untuk menggenjot investasi harus mengambil posisi awal (the stance) yang presisi. Mereka tahu persis bahwa akselerasi pembangunan—mulai dari hilirisasi nikel hingga pembangunan infrastruktur—membutuhkan dua daya dorong utama: modal asing (Asing) dan likuiditas konglomerasi domestik (Aseng).
Namun, posisi ini penuh risiko. Jika pejabat terlihat terlalu pro-investor global (miring ke kiri), retorika populis akan menuduhnya menggadaikan kedaulatan. Sebaliknya, jika ia terlalu akomodatif terhadap konglomerat domestik (miring ke kanan), ia akan dicap bersekutu dengan Aseng dan melanggengkan oligarki. Stance yang dipilih pun haruslah netral dan sentris, sebuah posisi yang di permukaan berbicara tentang kedaulatan, tetapi di ruang negosiasi membuka karpet merah bagi modal.
The Backswing Simbol Energi Politik yang Tersembunyi
Fase tarikan ke belakang (the backswing) adalah momen krusial saat energi dikumpulka yakni saat kebijakan dirumuskan dan lobi-lobi strategis dilakukan.
Saat mengundang investor Asing (misalnya, raksasa teknologi Tiongkok atau modal ventura Amerika), backswing harus dilakukan dengan transparansi yang terukur. Setiap insentif yang diberikan harus segera dibingkai dalam narasi transfer teknologi atau penciptaan lapangan kerja masif. Tujuannya adalah meredam tudingan oposisi bahwa negara hanya menjadi “pasar” atau “sapi perah” modal asing.
Sementara itu, relasi dengan modal Aseng bersifat lebih tertutup. Para konglomerat domestik sering menjadi mitra utama dalam konsorsium BUMN atau proyek strategis nasional. Backswing ini harus dilakukan dalam kesenyapan politik. Pejabat tahu bahwa visibilitas kemitraan ini sekecil apa pun dapat memicu sentimen ketidakadilan ekonomi dan tuduhan nepotisme, yang sangat efektif digunakan oleh lawan politik.
The Downswing adalah arah pukulan yang mengarah ke bawah dalam konteks ini adalah momen pengumuman kebijakan. Ini adalah ujian paling berat bagi para elit. Pukulan ideal adalah bola (kebijakan) yang terbang lurus ke depan, sedikit melengkung menjauhi rough Anti-Asing, dan mendarat mulus di fairway. Ini dicapai melalui formulasi kebijakan yang tampak nasionalis di permukaan (misalnya, syarat kandungan lokal tinggi) namun fleksibel dalam implementasi untuk menarik modal global dan domestik.
Kegagalan downswing berujung pada malapetaka politik. Mislanya Pukulan terlalu ke kiri (The Hook) dalam arti Terlalu agresif menolak modal asing. Dampaknya dapat membuat ekonomi menderita, target investasi meleset, dan pejabat dituduh in-kompeten.
Pukulan Ke Kanan (The Slice): Kebijakan terlalu terang-terangan memberikan karpet merah eksklusif yang dampaknya adalah bola masuk ke bunker Anti-Aseng, memicu demonstrasi, dan pejabat berisiko kehilangan dukungan elektoral.
Akhir dari swing adalah tindak lanjut (the follow through) yang dalam hal ini adlaah dampak riil dari kebijakan. Yang pada akhirnya akan dinilai publik bukanlah retorika di podium, melainkan hasil konkret di lapangan. Jika swing tersebut berhasil menghasilkan proyek yang selesai tepat waktu, menciptakan jutaan lapangan kerja, dan meningkatkan pendapatan per kapita, maka sentimen Anti-Asing dan Anti-Aseng akan terdegradasi menjadi kebisingan minor.
Namun, jika hasil nihil atau terkesan hanya menguntungkan segelintir oligarki, swing tersebut akan dicatat sebagai kegagalan politik yang membuka jalan bagi oposisi untuk memenangkan babak berikutnya.
Para pejabat negara Indonesia saat ini dianggap sebagai pemain golf profesional yang kariernya dipertaruhkan pada kemampuan mereka untuk terus membuat swing yang menghasilkan gol, meskipun mereka harus bermain di lapangan politik yang sarat jebakan sejarah dan sentimen publik yang rentan. Jika gagal maka periode berikutnya menjadi taruhan dimana masyarakat yang semakin kritis akan menghukumnya.
