Kamis, April 25, 2024

Kebebasan Berpendapat dan Taruhan Nyawa

Arif Ramadhan
Arif Ramadhan
Penyayang sesama mahluk Tuhan dan suka berbagi kasih.

Kembali teror di alamatkan kepada para penggiat atau aktivis, hal ini sungguh menjadi perhatian bersama, mengingat kebebasan berpendapat adalah hal lumrah dilakukan di negara yang demokrasi.

Terbaru terjadi di kediaman Murdani di Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 28 Januari 2019 yang merupakan direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi NTB. Teror tersebut diduga karena Murdani mengawal tambang galian C yang terjadi di beberapa Kabupaten Lombok. Serta Walhi NTB yang kerap mengkritisi permasalahan lingkungan di NTB.

Teror dan intimidasi kerap menghampiri aktivitas kebebasan berpendapat yang disampaikan oleh setiap individu. Kebebasan berpendapat ditemukan dari timpangnya kekuasaan. Kekuasaan yang timpang selalu menutupi kebenaran. Menyampaikan kebenaran di negeri ini masih menjadi sesuatu yang tabu, karena ketabuan itu, maka orang-orang mulai berani melawan kebenaran yang ditutupi oleh kekuasaan. Mesikipun dalihnya negara melindungi kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum, juga merupakan amanat dari deklrasi hak asasi manusia, namun menyampaikan kebeneran di muka umum adalah nyawa taruhannya.

Di negeri ini tindakan teror merupakan karya penguasa rezim Orde Baru. Pada masa Orde Baru mengganggu kenyamanan penguasa sama saja bunuh diri, sehingga tidak ada bedanya dengan kondisi saat ini. Hampir 21 tahun reformasi, perlindungan akan kebebasan setiap individu menjadikan ancaman bagi penguasa dan negara.

Menjadi penggiat atau aktivis selalu bertarung dengan segelintir orang yang memiliki kekuasaan yang mampu mengatur birokrasi dan aparat penegak hukum, bahkan preman. Karena segelintir orang dapat mengatur berbagai otoritas tersebut, maka orang berani seperti Murdani terancam nyawanya.

Satu contoh lainnya dapat kita lihat karena melindungi lingkungan namun nyawa harus melayang adalah Salim Kancil. Salim Kancil dibunuh karena melawan tambang pasir ilegal di Pantai Watu Desa Selok Awar-awar, Lumajang. Yang melakukan tindakan pembunuhan terhadap Salim Kacil adalah mantan kepala desa dan ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH).

Sama halnya dengan aktivitas Salim Kancil yang menolak tambang, Budi Pego aktivis lingkungan yang menolak tambang di Banyuwangi di kriminalisasi ketika melakukan aksi. Budi Pego dikriminalisasi karena dinilai membawa logo palu arit ketika melakukan aksi. Hingga di meja hijau kejaksaan tidak mampu menghadirkan alat bukti yang dituduhkan berupa gambar palu arit.

Terparah adalah kasus yang menimpa penggiat hak asasi manusia (HAM), Munir Sahid Talid yang merupakan korban dari buasnya penguasa di negeri ini. Kasus pembunuhan Munir terjadi 15 tahun silam, besar dugaan kematian Munir di dalangi oleh Intelejen. Meskipun salah satu pelaku telah mendapatkan hukuman, Policarpus.

Policarpus merupakan kapten pesawat Garuda yang mengantar Munir ke Belanda untuk melanjutkan S2. Sebelum melakukan penerbangan, Policarpus aktif melakukan kontak dengan pihak intelejen. Sayangnya otak di balik terbunuhnya Munir belum mampu diungkap hingga saat ini. Munir mati karena kerap mengganggu kenyamanan penguasa Orde Baru.

Kembali pada teror yang menimpa para aktivis. Sebelum Murdani mendapatkan teror dikediamannya, beberapa bulan sebelumnya Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur menerima teror berupa perusakan sekretariat. Hal tersebut diduga lantaran Jatam mengungkapkan sebanyak 32 orang anak mati di bekasa lubang tambang batu bara di berbagai wilayah Kalimantan Timur.

Keberandaan penggiat atau aktivis merupakan bentuk masyarakat sipil yang mengimbangi kekuasaan negara. Keberadaan masyarakat sipil menandakan bahwa penyelenggaraan kenegaraan melalui aparatur, birokrasi, penegak hukum dan sebagainya masih bermasalah.

Aktivis-aktivis tersebut terbagi kedalam beberapa kelompok sesuai dengan fokus isu masing-masing, seperti isu lingkungan, isu korupsi, HAM, isu buruh dan sebagainya. Fokus isu menjadi konsentrasi bagi para aktivis yang akan mereka bentuk sebagai lembaga swadaya masyarakat (LSM). Dengan membentuk LSM, maka para aktivis memilik legalitas untuk melakukan kegiatannya.

Keberadaan LSM-LSM tersebut memiliki keinginan yang tinggi, yaitu mengembalikan negara sesuai aturan yang telah disepakati melalui kebijakan yang diterapkan (UUD 45 dan turunannya), memanusiakan manusia, melindungi kekakayaan negara, memberikan kesejahteraan kepada warganya (kontrak sosial). Selagi negara lepas kendali, maka masyarakat sipil terus berjuang demi tercapainya keadilan, kesejahteraan dan kesetaraan di mata hukum.

Jika membandingkan dengan teori elit kekuasaan yang disampaikan C. Wright Mills bahwa negara bukanlah lembaga yang netral. Negara juga bukan bagian dari titik temu antar berbagai kepentingan yang ada di masyarakat. Meskipun dalam menyelenggarakan kekuasaan, kepentingan pihak-pihak yang tidak mengusai birokrat negara harus diperhatikan. Akan tetapi bukan perhatian yang sungguh-sungguh, namun hanya sekedar pengias semata, bahwa negara (tidak benar-benar) telah menjalankan tugasnya. Negara pada dasarnya dikuasai oleh kelompok terkuat yang ada di masyarakat.

Bahkan sebagai institusi yang dimiliki negara, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga kerap mendapatkan teror. Teror-teror tersebut dialami oleh Penyidik senior Novel Baswedan, Pimpinan KPK Agus Raharjo dan Wakil Pimpinan KPK Laode M Syarif. Teror itu pula diduga karena mengganggu kenyamanan penguasa, sehingga harus diberikan ancaman. Dan yang terbaru adalah teror yang diterima oleh pegawai KPK setelah melakukan pertemuan di Hotel Borobudur, Jakarta.

Novel Baswedan yang disirami air keras dan mengakibatkan matanya buta sejak 11 April 2017 hingga saat ini pelaku belum mampu diungkap. Padahal dalam kasus Novel telah dibentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Sedangkan Pimpinan KPK Agus Raharjo dan Wakil Pimpinan Laode M Syarif mendapatkan teror bom molotov di kediamannya masing-masing.

Tidak tertinggal pula wartawan menjadi sasaran akan buasnya kekuasaan penguasa. Kasus AA Narendra Prabangsa yang merupakan wartawan Radar Bali dibunuh pada 2009 silam karena mengungkap korupsi proyek-proyek Dinas Pendidikan di Kabupaten Bangli yang dilakukan oleh Nyoman Susrama. Ini merupakan satu-satunya kasus pembunuhan wartawan yang diungkap kepada publik.

Sedangkan Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin yang merupakan wartawan Berna, Jokja yang disiksa dan akhirnya mati pada 16 Agustus 1996 hingga saat ini kasusnya masih gelap untuk diungkap. Sebelum mati, Udin kerap menulis kritis kebijakan rezim Orde Baru dan militer.

Teror yang diterima oleh aktivis dan wartawan adalah lonceng kematian demokrasi. Kebebasan untuk menyampaikan pendapat di muka umum bukanlah perkara yang mudah dilakukan. Sejak runtuhnya Orde Baru, bukan berarti para penguasa lainnya juga harus ikut jatuh bersama Soeharto, mereka tetap kembali melanggengkan kekuasaanya hingga saat ini.

Benar demokrasi adalah kekuasaan atas kehendak rakyat, namun kelemahan demokrasi mampu dikendalikan oleh oligarki. Selagi kekuasaan masih dimiliki oleh sekelompok orang, maka peran aktivis, wartawan atau penggiat manapun masih panjang. Ini akan berhenti apabila aparatur negara dan alat kekuasaan lainnya dapat berjalan sesuai tugas dan menerapkan keadilan.

Arif Ramadhan
Arif Ramadhan
Penyayang sesama mahluk Tuhan dan suka berbagi kasih.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.