Sabtu, April 27, 2024

Kebangkitan PKI (Tak) Berbahaya?

Suriadi Bara
Suriadi Bara
Pustakawan Komunitas Setara. Dapat dihubungi melalui surel: suriadibara@gmail.com dan instagram: @pustakamerahitam.

Barangkali, siapa pun yang berpikiran waras akan merasa terganggu dengan masifnya razia buku yang sedang terjadi. Buku-buku yang diduga memuat konten PKI dirampas oleh aparat. Saya sengaja memilih diksi ‘dirampas’ daripada ‘diamankan’ untuk mendenaturalisasi tindakan aparat tersebut – bahwa tindakan itu bukan sesuatu yang wajar, melainkan sesuatu yang meresahkan.

Betapa tidak. Kita dihadapkan pada kenyataan yang menghina ilmu pengetahuan. Fakta yang sungguh menggelitik nalar. Menyita buku merupakan bentuk nyata kemunduran berpikir. Tindakan konyol nan ajaib itu memasung kebebasan membaca. Bau-bau orba mulai menyeruak ke permukaan. Barangkali, kita mulai patut waspada!

Dalam kurun waktu dua tahun terakhir, penyitaan buku marak dilakukan oleh aparat. Pada tahun 2016 bertepatan dengan Hari Buku Nasional, razia buku terjadi di beberapa tempat. Di pusat perbelanjaan dekat Taman Pintar Yogyakarta. Buku-buku para aktivis di Ternate dan Maluku Utara.

Di pusat-pusat perbelanjaan di Tegal, Jawa Tengah dan di banyak tempat lainnya. Kemudian, pada tahun 2018 razia buku terjadi di Pare, Kediri. Ada ratusan buku yang disita. Lalu pada bulan ini, razia buku terjadi lagi. Kali ini di sebuah toko buku di Padang, Sumatera Barat dan di Tarakan, Kalimantan Utara. Besok-besok, razia buku mungkin terjadi di rumah kita.

Dengan bermodalkan semangat membaca judul, aparat pun merasa berhak menyita buku-buku yang mereka duga mengajarkan komunisme. Kelakuan aparat tersebut merupakan cerminan masyarakat kita yang gemar membenci sesuatu yang tidak diketahuinya. Mereka mungkin tidak pernah mendengar pesan John Lennon “Don’t hate what you don’t understand!

Seperti yang bisa kita baca di media daring – buku-buku yang disita aparat, bukanlah buku-buku yang mengajarkan komunisme. Buku-buku yang dimaksud antara lain: Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan (Soe Hok Gie), Mengincar Bung Besar (Bonnie Triyana), Islam Sontoloyo (Soekarno), Jasmerah (Wirianto Sumartono), dan buku-buku lainnya.  Padahal, buku-buku tersebut justru membantu kita membangun kebiasaan berpikir kritis – keterampilan berpikir yang paling diperlukan di masa sekarang dan di masa depan.

Bahkan, meskipun buku-buku tersebut memuat konten yang mengajarkan komunisme – aparat tetap tidak memiliki wewenang untuk menyita. Harus melalui prosedur peradilan terlebih dahulu. Hal itu sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-VIII/2010, yang telah mencabut Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum. Sejak putusan itu disahkan, segala bentuk penyitaan harus melalui perintah pengadilan dan tidak dilakukan secara sewenang-wenang.

Namun, seperti yang kita ketahui – aparat tidak mengindahkan putusan itu. Aparat memang merasa superior. Bebas melanggar aturan, semaunya. Yah jelaslah. Realitasnya, mereka kan kebal hukum. Ya lord, betapa lucu negeri ini.

Ada banyak kelucuan di negeri ini. Hal-hal bermasalah sering dijadikan lelucon. Kemudian lelucon dijadikan sesuatu yang serius. Bahkan dipidanakan. Ada regulasi yang mendukungnya – pasal karet UU ITE – yang tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Seorang teman pun berguyon bahwa hukum itu tajam ke vagina, tetapi tumpul ke penis. Kenyataannya memang begitu. Sudah menjadi rahasia umum dan dianggap lumrah.

Kenyataan itu memicu banyak permasalahan. Kehidupan kita penuh karut-marut karenanya. Muskil bisa hidup damai dalam keadaan seperti itu.

Saban hari, kita kesal pada otoritarianisme para aparat. Dulu membubarkan kegiatan-kegiatan diskusi. Kini, merambat men-sweeping buku-buku. Kita pun seperti dibuat hidup dalam dunia Fahrenheit 451-nya Bradburry. Jangan-jangan beberapa bulan ke depan kita akan akrab dengan berita pembakaran buku di depan toko-toko buku. Jika itu terjadi, sungguh akan jadi mimpi buruk. Saya tidak mampu membayangkannya. Ngeri!

Saban hari pula, kita dibuat kesal oleh adanya berita-berita bermasalah. Pemberitaan yang gemar menyudutkan perempuan. Pemberitaan yang mengomodifikasi korban bencana alam. Pemberitaan yang senang menyebarkan rasialisme. Dan berbagai pemberitaan lain yang membuat risih akal sehat kita. Berita-berita seperti itu diproduksi oleh kepala-kepala yang malas mengakrabi buku-buku.

Celakanya. Kita akan semakin terbiasa menjumpai kebebalan seperti itu. Tiap hari, kita akan selalu dicecoki dengan berbagai kedunguan yang disajikan dengan mewah. Itu sebagai konsekuensi logis dari masifnya efek kemalasan membaca. Kedangkalan berpikir akan semakin ramai dipertontonkan. Maka semakin muskil bagi kita untuk menjumpai hal-hal yang menenangkan dan meneduhkan naral.

Tidak menutup kemungkinan, ramalan-ramalan Orwell dalam 1984-nya akan menimpa kita. Polisi pikiran sewaktu-waktu akan menyergap kita ketika memiliki pandangan yang berbeda dari masyarakat umum. Bukankah sekarang tanda-tandanya semakin jelas? Tidak samar-samar lagi.

Maka bukan sesuatu yang berlebihan, ketika kita semakin merasa tidak aman. Kita patut khawatir, jika sewaktu-waktu kita diseret tanpa sebab. Seperti yang terjadi beberapa dekade yang lalu. Ketika Tuan Besar sedang berkuasa. Sepertinya, kerinduan orang-orang pada beliau akan terobati. Semoga saja yang kena dampaknya – mereka saja. Biar tahu rasa! Rindu kok seababil itu!

Para penggiat literasi kritis kemungkinan geram dengan fakta ini. Darahnya mungkin sedang mendidih. Rahangnya ikut mengeras. Nafas pun berat. Seolah hanya ingin meluapkan amarah. Lidah pun menyimpan jutaan serapah – yang ingin diluapkan! Sepuasnya!

Betapa tidak. Setiap saat kita semakin jengah dihadapkan berbagai kebodohan. Kali ini dengan pongah mereka merenggut kebebasan membaca. Bagaimana bisa kita jadi bangsa yang cerdas dengan adanya tindakan serepresif itu — buku-buku yang membahas sejarah bangsa selalu ingin dibumihanguskan?

Padahal Founding Father kita pernah menegaskan bahwa jangan sekali-kali melupakan sejarah. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Namun, jangankan mengingat pesan beliau. Bahkan buku-buku yang memuat pemikiran-pemikirannya, juga turut dihilangkan dari jangkauan masyarakat.

Tentu. Kita tidak boleh abai melihat kenyataan ini. Kita harus melakukan sesuatu. Salah satu langkah kecil yang bisa kita lakukan adalah melaksanakan saran Eka Kurniawan – membaca buku-buku yang mereka sita. Ini penting – karena satu-satunya yang tidak bisa dirampas dari diri kita adalah hal-hal yang tersimpan di dalam kepala.

Kemudian, memperbanyak kegiatan-kegiatan diskusi untuk menyebarluaskan gagasan bahwa tak semestinya kita mengkhawatirkan hal-hal yang tidak perlu. Sebab, bukan kebangkitan PKI yang berbahaya, melainkan kedunguan-kedunguan yang senantiasa terawat – dengan telaten dan tekun!

Suriadi Bara
Suriadi Bara
Pustakawan Komunitas Setara. Dapat dihubungi melalui surel: suriadibara@gmail.com dan instagram: @pustakamerahitam.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.