Hari Kebangkitan Nasional selalu diperingati pada tanggal 20 Mei setiap tahunnya. Tanggal tersebut menjadi Hari Kebangkitan Nasional ditandai dengan berdirinya organisasi “Boedi Oetomo”, tepatnya pada tanggal 20 Mei 1908.
Dari asal katanya, “Boedi” berarti tabiat, “Oetomo” berarti baik atau luhur. Organisasi tersebut menjadi organisasi pelopor kebangkitan nasional yang dapat memunculkan semangat persatuan dan cita-cita yang baik untuk kemerdekaan Indonesia pada kala itu.
Hari Kebangkitan Nasional sebaiknya tak hanya menjadi selebrasi atau forum tanpa esensi semata. Hari Kebangkitan Nasional perlu dijadikan sebagai titik dan momentum baru untuk pergerakan kebangkitan Bangsa Indonesia. Khususnya dalam momen pemilu tahun 2019 ini, Bangsa Indonesia membutuhkan pergerakan baru, yaitu healing process pasca pemilu.
Seperti yang kita tahu, tahun 2019 akan menjadi tahun pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024. Pemilihan tersebut diikuti oleh dua pasangan calon. Dengan rincian, pasangan calon nomor urut 01 diikuti oleh Ir. H. Joko Widodo dan Prof. Dr. K. H. Ma’ruf Amin, lalu pasangan calon nomor urut 02 diikuti oleh Letnan Jenderal H. Prabowo Subianto dan H. Sandiaga Salahuddin Uno, B.B.A., M.B.A.
Sejak kampanye berlangsung, tak hanya perdebatan visi dan misi, namun juga persaingan antar kubu menjadikan pesta demokrasi semakin sengit, menegangkan, dan tampak tak berkesudahan.
Munculnya penyebaran fitnah dan hoax yang masif hingga membuat masyarakat tak bisa membedakan mana yang benar dan tidak. Selain itu, sengitnya perdebatan, saling menjelekkan, melemparkan ejekan, hingga blackcampaign dilakukan untuk menjatuhkan kandidat lain.
Bahkan, hingga pasca pemilu berlangsung, tak hanya kandidat lain yang ingin dijatuhkan, penyelenggara pemilu pun tidak segan-segan mulai disalahkan. Perencanaan “people power” atau aksi-aksi menolak hasil pemilu lainnya juga menjadi topik hangat pembahasan.
Jika hal-hal tersebut terus dibiarkan, tak hanya pertemanan, persahabatan, atau bahkan hubungan antar keluarga yang akan rusak. Namun, perpecahan antar bangsa menjadi hal yang paling dikhawatirkan.
Salah satunya cara mencegahnya, adalah melakukan healing process dari diri sendiri ataupun dari masing-masing kubu kandidat. Dalam hal ini, Hari Kebangkitan menjadi titik balik untuk melakukan healing process pasca pemilu. Mendukung hal tersebut, Kementerian Komunikasi dan Informatika membuat tagline “Bangkit Untuk Bersatu” di Hari Kebangkitan Nasional tahun ini.
Healing Process Pasca Pemilu
Proses penyembuhan pasca pemilu perlu dilakukan untuk tetap menjaga persatuan bangsa ini. Selain itu, proses penyembuhan bertujuan agar masyarakat dapat mempercayai siapapun Presiden terpilih nantinya. Terlebih, fenomena pendukung fanatik dalam memihak salah satu kubu adalah situasi yang perlu disembuhkan dan dinetralkan.
Pada dasarnya, proses penyembuhan dapat berjalan dengan baik jika kedua kubu mengakui bahwa kedua pasangan calon adalah kandidat terbaik yang diakui oleh rakyat. Tak ada yang terbaik dan tak ada yang terburuk.
Apabila pendukung fanatik kedua kandidat berpikir kandidat yang dia pilih adalah yang terbaik, dan yang lawannya adalah terburuk, kandidat yang terpilih secara resmi nantinya akan dianggap terburuk dan tidak memiliki legitimasi oleh pendukung yang kalah. Jika anggapan tersebut dilakukan, proses penyembuhan pasca pemilu tak akan berjalan dengan mudah. Membangkitkan dan membangun persatuan bangsa yang sudah terpecah-belah oleh pemilu menjadi sulit dilakukan.
Selain itu, menerima kekalahan dan perbedaan paham adalah kunci dalam membangkitkan persatuan. Menerima perbedaan paham dapat dilakukan dengan berhenti mengkotak-kotakkan dan membela apa yang sekotak dengan kita. Berhenti membuat pertikaian hanya karena tak sepaham. Mengakui, siapapun Presiden yang terpilih akan memiliki itikad baik membangun Indonesia dan bangsanya.
Masing-masing pasangan calon beserta pendukungnya perlu untuk berpedoman kepada cita-cita bangsa Indoenesia. Cita-cita Bangsa Indonesia tersebut yakni mengantarkan dan mewujudkan suatu negara yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur, seperti tertuang dalam Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pada alinea ke-2. Maka, bukan malah memecah, pemilu sebagai pesta demokrasi harus berujung mempersatukan dan memakmurkan masyarakat.
Sesuai hal tersebut, pesta demokrasi tersebut juga harus berlandaskan ideologi dan dasar negara yaitu Pancasila. Pancasila mencantumkan lambang “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya “berbeda-beda tetapi tetap satu” serta menyebutkan “Persatuan Indonesia” dalam sila ke-3.
Hal itu menunjukkan bahwa Pancasila sebagai dasar negara, menjadikan persatuan sebagai bagian penting untuk mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang terdiri dari 17.504 pulau dari Sabang sampai Merauke, dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa, serta 6 (enam) agama yang hidup berdampingan, yaitu: Islam, Katolik, Kristen Protestan, Budha, Hindu dan Khong Hu Cu.
Ideologi dan dasar negara kita bahkan telah mengajarkan kita untuk menerima perbedaan dan bersatu. Sudah sewajarnya sebagai Bangsa Indonesia kita kembali berpedoman pada hal tersebut.
Dengan demikian, menjelang hitung resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait Presiden terpilih 2019, mari jadikan Hari Kebangkitan Nasional sebagai titik baru dan momentum baru untuk membangun persatuan dan kesatuan bangsa yang mungkin telah terkoyak pada masa kampanye lalu. Kalah menang itu wajar dalam sebuah pemilihan.
Perbedaan pandangan dan paham juga menjadi hal biasa jika disikapi dengan pandai dan bijak. Pada dasarnya, orang yang pandai dan bijak takkan memaksakan keyakinannya pada orang lain, dan mampu berjalan beriringan dengan yang tak berprinsip sama.