Senin, Oktober 14, 2024

Kearifan Lokal yang Dilupakan

Ranah, Rantau dan Jokowi

Membedah Anxiety

Aming Soedrajat
Aming Soedrajat
Pegiat Media Sosial

Kalau kita melihat bangsa-bangsa lain yang maju seperti Jepan, korea Selatan, China serta lainnya, mereka berpijak pada tradisi dan kearifan lokal yang berkembang di daerahnya.

Tujuh Puluh Dua Tahun (72) bangsa ini merdeka seperti ada yang hilang, yakni hilangnya identitas bangsa yang majemuk.

Kemajemukan itu bukan sebatas dari suku, bahasa, agama dan lain sebagainya, melainkan juga meliputi hasil dari pemikiran daya cipta manusia itu sendiri.

Sejarah mencatat, Bangsa Nusantara yang mencapai puncak peradaban tinggi bukan hasil dari karya dan pemikiran bangsa lain, tatapi hasil dari pemikiran asli yang selaras dengan kebudayaan daerahnya.

Keterbukaan informasi ternyata belum bisa melekatkan serta mengenalkan Budaya asli masyarakat kita. Melainkan malahan sebaliknya, budaya kita semakin tersisihkan oleh budaya asing yang tidak selaras dengan kultur masyarakatnya.

Dampaknya, masyarakat kita seperti terasing di tanah airnya sendiri.

Begitu pula dengan generasi saat ini, kita lebih tertarik dengan isu-isu politik dan isu-isu ekonomi. Padahal, kearifan lokal itu mencangkup seluruh aspek, termasuk aspek ekonomi maupun politik.

Kearifan lokal itu adalah sebuah jembatan penghubung untuk kesejahteraan perekonomian maupun menjalankan roda politik pemerintahan.

Hilangnya kearifan lokal membuat bangsa ini tidak memiliki nilai jual dan daya tawar dengan bangsa-bangsa lain.

Padahal, kalau pemerintah berpihak kepada kearifan lokal, peningkatan perekonomian bisa saja tumbuh dengan sangat cepat dan pesat di negeri ini

Kita contohkan, tidak sedikit tangan-tangan kreatif di negeri yang bisa menghasilkan karya seni tinggi. Jawa Barat punya hasil kerajinan dari Bambu dan kramik. Papua memiliki hasil pahatan patung yang sangat baik.

Tetapi sayang, selama 72 tahun pemerintah belum bisa menjadi jembatan penghubung untuk menjual hasil produktifitas mereka.

Kalau di Malaysia, kerajinan tangan seperti itu sangat di hargai, karena produk-produk seperti itulah yang akan meningkatkan perekonomian masyarakatnya.

Contoh diatas mungkin hanya contoh yang sangat kecil, kalau melihat realitanya produktifitas jauh lebih berkembang di masyarakat.

Belum lagi produk seperti Food, Fashion, arsitektur, tulisan, pertanian, kelautan, kedirgantaraan dan masih banyak lagi. Dengan keragaman dan produktifitas tersebut sepertinya tidak seharusnya bangsa ini loyo dan tidak memiliki nilai jual.

Lihat bagaimana orang Baduy dengan tradisinya bisa menjaga stok pangan untuk ratusan tahun kedepan yang di simpan di dalam leuit.

Pendidikan juga seharusnya mendukung. Dimulai Pendidikan Dasar sampai  Perguruan tinggi harusnya pelajarannya berpijak pada potensi serta sumber daya wilayahnya. Bukan berpijak pada kebutuhan asing.

Ketika berpijak pada kebutuhan asing, yang timbul hanya pengangguran yang tak terbendung. Kalau berpijak pada potensi wilayah, kita bisa bayangkan bagaimana sumber daya alam kita dikelola oleh orang-orang yang terampil.

Sarjana-sarjana unik akan lahir di negeri ini. Ketika potensinya dodol, bukan tidak mungkin akan lahir sarjana dodol, kalau potensinya garam atau terasi, maka akan lahir sarjana garam atau terasi, ketika potensi daerahnya bakakak atau sate maranggi, maka akan lahir sarjana bakakak dan terasi.

Tidak usah malu dan minder dengan gelar kesarjanaan seperti itu kalau kitanya terampil, karena bangsa lain melahirkan gelar kesarjanaan berdasarkan potensi sumber dayanya. Tidak seperti sekarang, gelar kesarjanaan dan lulusanngmya seragam, tidak mencerminkan Indonesia bangat yang terkenal majemuk.

Arsitektur pun sama halnya. Dulu, ketika Purwakarta membangun dengan Arsitektur kesundaanya dianggap tertinggal dan tidak kekinian.

Sekarang bagaimana? Saat Purwakarta membangun dengan Arsitektur sunda, dimana tradisi menjadi pondasinya, pelancong dari berbagai belahan dunia berdatanagan kepurwakarta.

Bali pun sama halnya, orang-orang berdatangan ke Bali untuk melihat bagaimana kebudayaan bali yang masih terjaga disamping memang alamnya yang eksotis.

Jawa juga sama halnya, terasa banget kalau kita datang ke daerah jawa tradisi dan keramahannya.

Saya kira, sudah terlalu lama Bangsa ini meninggkan identitas kebangsaanya. Sudah seharusnya bangsa ini kembali pada identitas dan Jati dirinya.

Karena dengan Tradisi dan Budayalah, Bangsa ini akan kembali menjadi bangsa yang besar. Bukan sejajar dengan bangsa lain, melainkan menjadi pemimpin bagi Bangsa-bangsa lainnya.

Aming Soedrajat
Aming Soedrajat
Pegiat Media Sosial
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.