Jumat, Maret 29, 2024

Keadaban Bermedia Sosial

Abdul Rasyid
Abdul Rasyid
Sekretaris Pimpinan Cabang Muhammadiyah Banjarharjo Brebes

 

Dewasa ini masyarakat Indonesia tidak asing lagi dengan media sosial. Layanan internet kini bisa dinikmati semua kalangan dengan mudah. Dari mulai anak-anak hingga mereka yang sudah berusia senja pun tidak lepas dari layanan internet.

HootSuite mengeluarkan data tren tentang internet dan media sosial pada akhir Januari 2019. Dalam laporannya disebutkan bahwa total populasi pengguna internet dan media sosial di Indonesia mencapai 268, 2 juta, angka ini naik 1 persen atau sekitar 3 juta populasi dari tahun 2018.

Masih menurut HootSuite, pengguna internet di Indonesia mencapai angka 150 juta, hal ini menunjukkan kenaikan sebesar 13 persen atau sekitar 17 juta dari tahun 2018. Sedangkan untuk pengguna media sosial aktif mencapai angka 150 juta, angka ini menunjukkan kenaikan 15 persen atau sekitar 20 juta dari tahun 2018. Tentu angka tersebut menunjukkan angka yang cukup besar bagi Indonesia dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia.

Adapun curahan waktu yang digunakan untuk mengakses media, rata-rata masyarakat Indonesia setiap harinya menggunakan internet melalui perangkat apapun selama 8 jam, 36 menit. Sedangkan untuk rata-rata penggunaan media sosial melalui perangkat apapun sekitar 3 jam, 26 menit.

Platform media sosial yang paling aktif digunakan di antaranya ada youtube, whatsapp, facebook, instagram, line, dan twitter. Keenam media itulah yang turut meramaikan dunia maya di Indonesia dengan berbagai macam konten, bahasan dan topik apapun.

Namun demikian, di tengah kemudahan masyarakat Indonesia dalam mengakses informasi ataupun menyebarkan informasi dalam bentuk apapun perlu adanya kedewasan dalam bermedia sosial atau istilah kerennya keadaban bermedia sosial.

Sikap ini sangat perlu dikedepankan agar ketika berselancar di dunia maya ataupun media sosial apapun tidak berujung pada munculnya keresahan berbagai pihak. Kesantunan dalam menggunakan bahasa juga diperlukan, sebab di media sosial ini rawan dengan bias makna atau salah tafsir, bahkan terjadinya disinformasi.

Adanya media sosial harus difungsikan sebagaimana fungsi sebenarnya yakni tempat atau medium untuk semua orang dalam menjalin kontak sosial dengan kerabat terdekat yang kita kenal, atau orang yang baru kita kenal agar jauh lebih mengenal.

Media sosial bukan sebagai tempat untuk melampiaskan tentang semua rasa yang ada di diri kita kepada orang lain. Fenomena yang terjadi belakangan ini adalah banyak orang menggunakan media sosial sebagai sarana untuk menyudutkan orang lain, bahkan secara sembarang menggunakan kata-kata atau bahasa yang tidak etis untuk dilayangkan.

Ada semacam ketidaksiapan masyarakat Indonesia dalam menghadapi tantangan kemajuan teknologi informasi yang semakin masif ini. Belum lagi hari ini kita hidup di era post-truth (pasca kebenaran), ini tantangan tersendiri yang belakangan ini menggejala di tengah-tengah masyarakat kita. Ditambah dengan hajatan politik yang kian santer dualisme antar pendukungnya dalam memperjuangkan jagoannya.

Fenomena post-truth ini benar-benar kentara di ajang pemilihan presiden (pilpres) 2019, mulai dari pra pencalonan presiden hingga saat ini. Dimana ketika masyarakat cenderung tidak mencari kebenaran dari suatu informasi melainkan mencari sesuatu pembenaran sesuai perasaannya bukan logikanya atau dengan bahasa lain orang cenderung tidak mencari kebenaran melainkan sesuatu yang cocok dengan keyakinan dan perasaannya meskipun itu salah.

Fakta yang terjadi di lapang memang seperti itu, misalnya pendukung x hanya mencari pembenaran tentang x, apapun pemberitaan atau informasi seputar y dianggap salah, walaupun sebenarnya benar. Seakan benar-benar kehilangan akal sehat karena taklid buta. Akibat dari fenomena ini adalah munculnya banyak berita bohong (hoax).

Banyak berita atau informasi yang belum jelas kebenarannya, akan tetapi karena dirasa cocok dengan keyakinannnya maka informasi tersebut langsung disebarluaskan (viralkan). Ketika berita tersebut ternyata bohong, tentunya akan merugikan salah satu pihak, dan selanjutnya berujung pada pertikaian, saling serang, saling menjelek-jelekkan satu sama lain.

Tak jarang kita dapati tokoh-tokoh penting di organisasi masyarakat, atau tokoh publik pada umumnya dari segala profesi ikut larut dalam panasnya suhu politik negeri akhir-akhir ini. Tak jarang juga kata-kata yang tidak etis turut keluar, tentunya mereka yang memiliki pengikut banyak di media sosial, bukan tidak mungkin disoroti oleh pengikutnya. Oleh karena ini hendaknya masing-masing diri, semua elemen bangsa ini turut menjaga keadaban dalam bermedia sosial agar tercipta kerukunan antar umat agama dan bangsa.

Fenomena post-truth rupanya tidak hanya menyerang kalangan masyarakat biasa saja, namun banyak juga akademisi sekelas profesor masuk dalam kubangan ini, tak lain karena perbedaan pandangan politik.

Media sosial kini semakin bebas dan liar. Di media sosial tiap orang bebas mengekspresikan apa saja tanpa kendali atau control. Orang bebas untuk meluapkan amarah, hujatan, ujaran kebencian (hatespeech), menyerang, dan menulis apa saja tanpa batas pagar moral. Menurut Haedar Nashir, politik melalui media sosial semakin liar, berbeda dengan media cetak dan elektronik yang masih dikontrol oleh redaktur, meski kedua media massa tersebut juga sudah menjadi corong politik yang sarat kepentingan.

Media sosial memiliki kekuatan yang luar biasa dalam menggeser tren informasi. Melalui media sosial kini setiap orang bisa menyebarkan informasi dengan masif atau istilah bekennya mem-viral-kan. Masyarakat Indonesia memandang informasi tidak lagi dari media mainstream, namun beralih pada trending di media sosial seperti twitter, instagram, atau facebook.

Seperti penjelasan di atas, banyak sekali pengguna internet dan media sosial di negara ini. Andaikan setiap orang menyebarkan berita bohong ke masing-masing akun media sosial atau grupnya, tentu ini sangat berbahaya karena bisa membuat keretakan pada kehidupan berbangsa dan bernegara.

Oleh karena itu akhlak, kesantunan, keadaban dalam bermedia sosial perlu diperhatikan secara seksama antar masyarakat berbangsa dan bernegara. Sehingga pertikaian, permusuhan, ujaran kebencian, semua itu bisa dihindarkan.

Marilah sejenak kita menahan diri sebelum akhirnya kita melayangkan tulisan apapaun di media sosial kita, saring terlebih dahulu sebelum sharing, tak lain sebagai wujud kehati-hatian kita agar tidak berujung pada pecahnya hubungan persaudaraan antar anak bangsa.

Damailah Indonesiaku. Marilah berselancar di media sosial dengan bahasa yang indah, mencerahkan hati, dan mencerdaskan pikir.

Abdul Rasyid
Abdul Rasyid
Sekretaris Pimpinan Cabang Muhammadiyah Banjarharjo Brebes
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.