Senin, April 29, 2024

Kawin Paksa dalam Perspektif Hukum HAM

Riani Ani
Riani Ani
Mahasiswa Hukum Keluarga Islam di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Pernikahan merupakan sebuah ikatan hubungan antara wanita dan pria melalui suatu akad pernikahan. Umumnya pernikahan dijalankan dengan kerelaan, saling mencintai, dan saling menjaga supaya terbentuk pernikahan yang sakinah, mawadah, warahmah. Hanya saja ditemukannya suatu daerah yang memiliki tradisi kawin paksa di mana seorang anak perempuan dipaksa untuk menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya.

Hal itu tentu membatasi hak anak atau hak wanita untuk bebas memilih pasangan hidupnya kelak. Tradisi tersebut dengan jelas melanggar Hak Asasi Manusia dan termasuk juga pada kekerasan seksual terhadap wanita.

Sebagaimana dijelaskan dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pasal 10 ayat (2) bahwa ‘’Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.’’ Berdasarkan pasal tersebut tentu saja pernikahan tanpa izin calon mempelai wanita akan membuat pernikahannya tidak sah, sebab harus ada izin dan keridaan dari kedua calon mempelai.

Kasus kawin paksa di Madura tidak adanya izin calon mempelai wanita, bahkan mereka dipaksa untuk mengikuti perkataan orang tuanya. Ada beberapa faktor terjadinya perkawinan paksa tersebut, antara lain karena perzinahan atau hamil di luar nikah, mempelai pria yang tidak memiliki mahar tinggi sehingga memaksa wanitanya untuk menikah dengan menculiknya, usia yang sudah terlalu matang sehingga dipaksa untuk menikah, dan masalah ekonomi pun seperti utang-piutang bisa menjadi faktor terjadinya kawin paksa ini.

Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa “Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.” Ketentuan ini menekankan pentingnya ada kerelaan, keridaan, kebebasan antara kedua mempelai, sebab pernikahan bukan hanya sebagai kebutuhan biologis melainkan ikatan batin untuk mendapatkan dan membina rumah tangga dengan bahagia dan sejahtera.

Menurut Komnas Perempuan, pemaksaan perkawinan cenderung menyasar pada perempuan dan mengandung unsur bullying dan kekerasan berbasis gender karena calon pengantin perempuan akan dinikahkan secara paksa sehingga menimbulkan penderitaan fisik, psikologis, dan seksual bagi perempuan.

Apabila hak atas perkawinan dilanggar maka hal itu melanggar juga Pasal 16 ayat (1) Konvensi CEDAW, yakni:

“1. States Parties shall take all appropriate measures to eliminate discrimination against women in all matters relating to marriage and family relations and in particular shall ensure, on a basis of equality of men and women:

(a) The same right to enter into marriage;

(b) The same right freely to choose a spouse and to enter into marriage only with their free and full consent;…” (Resolution 1979)

Pasal tersebut membahas mengenai pembuatan peraturan yang menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam segala urusan yang berhubungan dengan perkawinan dan kekeluargaan atas dasar persamaan hak laki-laki dan perempuan, salah satunya yakni kebebasan memilih calon pasangan dalam pernikahannya.

Kebebasan memilih calon pasangan untuk dinikahi guna agar hidup harmonis dan sejahtera juga menghindari dari perceraian, sebab jika pernikahan dengan paksaan akan mengakibatkan banyaknya perselisihan dalam rumah tangga dan yang paling parahnya jika terjadi kekerasan dalam rumah tangga yang berakibat fatal.

Berdasarkan kasus kawin paksa di Madura maka terdapat beberapa hal yang bertolak belakang dengan Hak Asasi Manusia, antara lain:

1. Pemaksaan dalam pernikahan;

2. Kekerasan berbasis gender menimbulkan kecemasan pada perempuan;

3. Kejahatan dalam perkawinan seolah-olah anak perempuan adalah barang yang ditukar dengan harta sebab ekonomi yang kurang. Bahwasanya tidak boleh terjadi perdagangan anak sebagaimana UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM pasal 20 ayat (1) dan (2).

Pembahasan ini menjadi polemik di kalangan masyarakat karena kawin paksa menyebabkan perempuan korban kehilangan hak konstitusionalnya dan juga hak asasinya, yaitu untuk membentuk keluarga dan meneruskan keturunan melalui perkawinan yang sah menurut ketentuan UU Perkawinan.

Undang-Undang Perkawinan dibuat untuk menjamin hak-hak manusia dalam menjalankan rumah tangga melalui ikatan perkawinan sehingga menghasilkan ikatan sakinah, mawadah, dan rahmah. Berbeda dengan kawin paksa yang di mana salah satu pihak dinikahi tanpa sepengetahuan dan kerelaannya. Begitupun Hak Asasi Manusia dibuat agar setiap orang bisa mendapatkan hak nuraninya dan juga mendapatkan perlindungan atas hak yang dimilikinya.

Kasus pemaksaan perkawinan di negara Indonesia ini masih banyak, tentu diperlukan kesadaran semua pihak agar kasus ini tidak kembali terulang dan seharusnya pemerintah pun lebih fokus untuk menangani hal ini dan juga melindungi kaum perempuan agar tidak lagi dijadikan objek kawin paksa.

Sebab, tidak semua korban perkawinan paksa melaporkan kejadian tersebut kepada pihak berwenang maka tugas pemerintah dan pihak terkait untuk mencegah hal tersebut. Kemudian, sistem patriarki dan diskriminasi gender mesti dihapuskan supaya perempuan pun bisa memiliki hak yang setara dengan pria. Peran orang tua pun sangat penting seharusnya sudah tidak ada lagi pemaksaan pernikahan karena orang tua yang menjodohkan dengan paksa.

Riani Ani
Riani Ani
Mahasiswa Hukum Keluarga Islam di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.