Dalam Bahasa Inggris, ada istilah yang digunakan untuk menggambarkan orang-orang yang anti terhadap kemajuan atau teknologi baru: luddite. Kamus online Cambridge Dictionary mendefinisikan luddite sebagai seseorang yang menentang masuknya metode-metode kerja baru, terutama mesin-mesin baru.[1]
Istilah ini berakar pada sebuah gerakan pada abad ke-19, dimana sekelompok pekerja tekstil melakukan protes dengan menghancurkan mesin-mesin penenun, yang kemudian dikenal sebagai kaum Luddites, yang namanya diambil dari tokoh fiksi yang dipercaya memimpin gerakan tersebut: Ned Ludd.[2] Para Luddites ini dianggap sebagai orang-orang yang menolak keberadaan mesin-mesin penenun karena takut lapangan pekerjaan mereka akan tergeser oleh mesin-mesin tersebut. Berabad-abad kemudian, istilah luddite masih bertahan dalam Bahasa Inggris dan memiliki arti sebagai orang yang menentang industrialisasi, otomatisasi, komputerisasi, atau teknologi baru secara umum.
Pada kenyataannya, anggapan bahwa kaum Luddites melakukan penghancuran mesin-mesin penenun karena mereka adalah sekumpulan manusia yang anti terhadap kemajuan jaman merupakan anggapan yang jauh dari fakta. Kevin Binfield, editor Writings of the Luddites, seperti yang dilansir oleh Smithsonian Magazine, mengatakan bahwa kaum Luddites bukannya anti terhadap mesin-mesin atau teknologi baru. Mereka membatasi penghancuran mesin-mesin yang mereka lakukan di pabrik-pabrik yang menggunakan mesin-mesin tersebut secara curang dan culas untuk menghindari praktik-praktik ketenagakerjaan yang layak. Mereka menginginkan agar mesin-mesin tersebut dijalankan oleh para pekerja yang sudah menjalani masa magang dan diupah dengan cukup.[3]
Protes Terhadap Angkutan Online
Pembekuan operasional angkutan online oleh Pemda Jawa Barat baru-baru ini setelah menghadapi tuntutan dan aksi mogok oleh Organda dan beberapa supir angkot mengangkat lagi perdebatan lama yang sudah ada semenjak moda transportasi ini mulai muncul di Indonesia. Banyak yang merasa bahwa langkah Pemda Jawa Barat dan aksi penolakan terhadap angkutan online oleh para supir angkot tersebut menunjukan kekolotan orang Indonesia dalam menghadapi inovasi dan kemajuan jaman. Betapa kelirunya anggapan ini mengingat pembekuan operasional angkutan online, atau bahkan pencabutan ijin, tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di berbagai tempat di belahan dunia yang lain. Di London, misalnya, Uber baru saja kehilangan ijin untuk beroperasi karena kurangnya corporate responsibility dari perusahaan tersebut.[4]
London juga bukan satu-satunya tempat dimana Uber pernah tersandung masalah dengan regulasi setempat. Negara-negara seperti Italia, Denmark, Australia, dan lainnya pun pernah melakukan pembekuan terhadap operasional Uber.[5]
Angkutan Online dan Permasalahannya
Apa yang terjadi di Jawa Barat bukan pertama kalinya angkutan online terbentur masalah di Indonesia. Sedari awal kemunculannya, keberadaan angkutan online memunculkan konflik antara pengendara ojek konvensional dan pengendara ojek online. GoJek, sebagai perusahaan angkutan online pertama yang beroperasi di Indonesia, mendapati tuduhan bahwa mereka melakukan praktik predatory pricing, suatu praktik dimana perusahaan memberikan harga yang sangat rendah terhadap barang atau jasa yang mereka sediakan dengan tujuan menyingkirkan pesaing-pesaing mereka.[6] Praktik semacam ini tentu saja hanya bisa dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dengan akses terhadap kapital yang besar, dalam hal ini GoJek dan perusahaan-perusaahaan angkutan online serupa seperti Grab dan Uber, sementara yang paling dirugikan oleh praktik semacam ini adalah para pengendara ojek konvensional yang tidak memiliki akses terhadap kapital sama sekali.
Apa yang diprotes oleh Organda di Jawa Barat baru-baru ini kurang lebih mirip dengan apa yang memang sudah sedari awal menjadi masalah dengan angkutan online, yakni persaingan tidak sehat. Angkutan konvensional harus mematuhi berbagai macam regulasi dalam operasional mereka, mulai dari regulasi mengenai pajak, KIR, plat nomer, asuransi, sampai tarif. Sementara itu, tidak ada regulasi yang mengatur bagaimana angkutan online beroperasi. Ketiadaan regulasi ini yang membuat Organda bergerak melakukan protes kepada Pemda Jawa Barat.[7]
Selain persaingan tidak sehat, ada juga masalah mengenai praktik tidak etis terhadap para pengemudi angkutan online. Aulia Nastiti, seorang kandidat Ph.D dari Northwestern University, baru-baru ini mempublikasikan hasil penelitiannya di situs The Conversation mengenai praktik super eskploitatif oleh perusahaan-perusahaan angkutan online di Indonesia.[8] Dalam penelitiannya, Aulia Nastiti menguak praktik-praktik yang sangat memberatkan pengemudi angkutan online, seperti cost shifting kepada pengemudi tanpa diikuti penghasilan yang cukup. Ada juga sistem penilaian performa pengemudi berdasarkan penilaian dan kebaikan hati penumpang, yang memberatkan pengemudi; sangat mudah bagi pengemudi untuk mendapati rating mereka turun tapi sangat sulit bagi mereka untuk kembali menaikkan rating mereka. Sistem kemitraan antara perusahaan dan pengendara juga memberikan ilusi bahwa ada relasi yang setara antara perusahaan dan pengemudi, yang mana pada kenyataannya justru lebih menguntungkan perusahaan. Sistem kemitraan tersebut menempatkan pengemudi dalam posisi yang prekarius (rentan) dan membuat para pengemudi tidak memiliki daya tawar yang cukup kuat sementara perusahaan memiliki kontrol penuh atas kondisi kerja mereka. Alih-alih memberikan kondisi kerja yang fleksibel seperti yang dijanjikan, relasi mitra antara perusahaan angkutan online dan pengemudi tidak berbeda dengan relasi kerja antara perusahaan dan pekerja dan justru memberikan perusahaan kebebasan untuk menghindari praktik-praktik ketenagakerjaan yang layak.[9]
Fetish Berlebihan Terhadap Ekonomi Digital
Aksi protes oleh Organda dan supir angkot yang diikuti pembekukan operasional angkutan online di Jawa Barat mengundang banyak reaksi. Kebanyakan, tentu saja, menentang pembekuan tersebut. Sentimen yang umumnya beredar adalah keberadaan angkutan online merupakan bentuk disrupsi dan inovasi yang tidak bisa dihindari. Ekspresi-ekspresi kritis terhadap angkutan online, termasuk tapi tidak terbatas kepada aksi massa, dianggap sebagai sikap kolot dan penolakan terhadap kemajuan jaman. Persis seperti apa yang dialami oleh kaum Luddites pada abad ke-19 di Inggris.
Permasalahan-permasalahan dengan angkutan online bukan saja permasalahan-permasalahan yang khusus merupakan masalah angkutan online saja, namun permasalahan digital platform economy secara umum. Digital platform economy menciptakan tren gig economy dimana perusahaan-perusahaan bisa menginformalisasi posisi-posisi kerja yang sebelumnya diisi oleh pekerja-pekerja formal dengan iming-iming jam kerja fleksibel dan kontrol pekerja atas pekerjaan mereka, yang mana jauh dari kenyataan. Gig economy justru membuat banyak pekerja kehilangan kesejahteraan dan job security serta menempatkan banyak pekerja dalam kondisi yang prekarius.
Mungkin, ada baiknya kita menjadi seorang luddite untuk mempertanyakan siapa yang memegang kontrol atas kemajuan teknologi dan paling diuntungkan olehnya di era digital platform economy ini.