Citra kepolisian tercoreng lagi. Setelah heboh aksi perwira polisi berpangkat Jenderal bintang satu yang ‘mengawal’ buronan korupsi Djoko Tjandra mengurus berbagai keperluannya di Indonesia, kini jagad maya diramaikan lagi oleh beredarnya video yang memperlihatkan oknum polisi memeras wisatawan Jepang di Bali.
Aksi pemerasan itu terjadi saat oknum polisi tersebut merazia sepeda motor yang dikendarai oleh wisatawan Jepang. Surat-surat motornya lengkap, tetapi lampu depan mati. Inilah yang menjadi dasar bagi oknum polisi tadi untuk menfenakan ‘penalti’. Dia bilang akan membantu warga asing tersebut dan meminta ‘uang damai’ Rp 1.000.000,-. Turis tadi akhirnya memberi Rp 900.000,-.
Peristiwa pemerasan tersebut sebenarnya sudah berlangsung lama, yaitu pertengahan 2019. Rekaman videonya pun, yang berdurasi 3 menit 16 detik, baru diunggah oleh Style Kenji di Youtube pada 30 Desember 2019. Dan saat itu tidak ada respons dari netizen atas unggahan video tersebut. Entah siapa yang memulai, video tersebut tiba-tiba muncul lagi, dan kali ini jadi viral.
Terlepas dari jeda waktu dari peristiwa dengan viralnya unggahan video tersebut, peristiwa pemerasan ini telah membuktikan bahwa reformasi di tubuh Polri sampai saat ini masih belum berjalan dengan baik. Ada kesan reformasi berjalan setengah hati. Jakan di tempat.
Tuntutan 1998
Reformasi Polri bersama dengan reformasi TNI merupakan salah satu bagian dari tuntutan reformasi 1998 khususnya di bidang pertahanan keamanan. Persoalan keamanan dalam negeri yang menjadi domain Polri menjadi sangat penting, sebab keamanan dalam negeri menjadi salah satu indikator kemajuan suatu negara.
Di era Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur), Dwifungsi ABRI dihapus. Jabatan Panglima ABRI juga dihilangkan. Sejalan dengan itu, Polri juga dipisahkan dari TNI (AD, AL, dan AU). Posisi Kapolri kemudian setingkat dengan Panglima TNI yang sama-sama bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Ada 3 komponen utama dalam reformasi Polri, yaitu struktural, instrumen, dan kultur. Dua komponen pertama relatif mudah dan dapat dilakukan dengan cepat. Adapun reformasi kultur sangat sulit diimplementasikan, karena butuh waktu panjang untuk mengubah mindset dan perilaku aparat kepolisian.
Tudingan masyarakat terhadap perilaku buruk oknum polisi sudah berlangsung sejak dulu dan masih terus terjadi sampai sekarang, mulai dari perilaku korup kelas recehan (‘uang damai’ dalam rasia kendaraan, dan lain-lain) hingga perilaku korup kelas kakap (seperti dalam menangani kasus-kasus besar). Pelakunya mulai dari yang berpangkat rendah hingga perwira tinggi.
Penanganan kasus besar berpotensi terjadinya suap-menyuap dalam jumlah besar. Tak heran jika banyak perwira Polri yang enggan melaporkan harta kekayaannya kepada pemerintah.
Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), tingkat kepatuhan perwira Polri dalam menyerahkan laporan harta kekayaan penyelenggaran negara (LHKPN) masih rendah. Berdasarkan data situs elhkpn.kpk.go.id, selama tahun 2017-2018, dari 29.526 anggota kepolisian yang seharusnya wajib melaporkan LHKPN, terdapat 12.779 orang atau sekitar 43% yang LHKPN-nya tidak ditemukan dalam situs daring yang dimiliki KPK.
Tak kurang dari Presiden Joko Widodo sendiri yang mendorong Polri untuk melakukan reformasi secara total. Dalam peringatan HUT ke-74 Bhayangkara pada 1 Juli 2020, Jokowi berharap Polri dapat melakukan reformasi diri secara total dan membangun sistem serta tata kelola yang partisipatif, transparan, dan akuntabel.
Presiden juga memerintahkan Polri memegang teguh nilai luhur Tribrata dan Catur Prasetya, membangun kultur kerja yang baik, serta memperkuat soliditas internal dan eksternal. Reformasi diyakini dapat menjaga kinerja Polri agar tetap profesional, modern, dan tepercaya.
‘Oknum’ Jadi Pembenaran
Reformasi kultur di tubuh Polri terkendala oleh banyaknya kepentingan, tidak hanya di internal tapi juga di eksterl institusi tersebut. Hal ini mengakibatkan upaya pembenahan kultur tersebut sulit terlaksana dengan tuntas.
Masalah lain adalah sikap dari Polri sendiri yang tidak pernah mau secara legowo mengakui adanya penyimpangan. Setiap ada anggota yang melakukan pelanggaran, selalu dikatakan bahwa itu hanyalah oknum. Diksi ‘oknum’ seakan menjadi senjata ampuh Polri untuk mengelak dari tudingan. Oknum ini dianggap tidak merepresentasikan institusi Polri secara keseluruhan. Artinya, Polri menganggap institusi tersebut masih bersih.
Okelah, kita garisbawahi pernyataan tentang ‘oknum yang tidak merepresentasikan institusi Polri secara keseluruhan’ tadi. Sekarang yang jadi pertanyaan, seberapa sering terjadi penyimpangan, dan seberapa banyak oknum yang terlibat dalam penyimpangan tersebut? Kalau jumlahnya sudah terlalu banyak, itu bukan oknum lagi namanya. Itu namanya sudah penyimpangan berjamaah. Dan kalau sudah demikian adanya, bukankah oknum-oknum tersebut sudah bisa disebut sebagai representasi Polri.
Sanksi Tegas dan Berat
Kita patut memberikan apresiasi kepada pimpinan olri yang dalam beberapa waktu belakangan sudah mulai berani mengambil tindakan tegas kepada anggotanya yang melakukan penyimpangan. Semoga sikap tegas ini bisa terus dipertahankan.
Akan tetapi, sikap tegas saja tidak cukup. Itu harus dibarengi dengan pemberian sanksi atau hukuman yang berat dan setimpal dengan perbuatannya.
Dalam kasus Jenderal bintang satu yang menemani Djoko Tjandra misalnya, itu sudah termasuk pelanggaran berat dan fatal. Tindakannya sudah merusak dan mencoreng wajah Polri. Dia tidak cukup sekadar dicopot dari jabatannya, tapi juga harus diproses hukum. Jika terbukti bersalah, dia tidak hanya dipenjara, tapi juga harus dipecat dari kesatuan dan dikembalikan menjadi masyarakat sipil. Ini penting untuk menciptakan efek jera di kalangan anggota Polri.
Pemberian sanksi juga jangan pandang bulu. Siapa pun dia, dan setinggi apapun pangkat dan jabatannya, harus tetap diproses sesuai dengan hukum yang berlaku. Tanpa ada sanksi yang tegas, jangan harap reformasi Polri akan dapat terlaksana dengan baik.