Ketua BEM UI Zaadit Taqwa memberikan kartu kuning saat Presiden menghadiri Dies Natalis ke-68 Universitas Indonesia. Kartu kuning diberikan kepada Presiden sebagai peringatan bahwa dalam masa 4 tahun kepemimpinan Presiden Jokowi, masih banyak masalah yang dihadapi bangsa ini.
BEM UI menyoroti setidaknya ada 3 hal yang perlu segera dibenahi yakni kasus gizi buruk suku Asmat di Papua. Isu munculnya dwi fungsi Polri/TNI yang dipicu oleh langkah pemerintah untuk mengusulkan Asisten Operasi Kapolri Irjen Mochamad Iriawan sebagai penjabat gubernur Jabar dan Kadiv Propam Polri Irjen Martuani Sormin sebagai penjabat gubernur Sumut. Serta adanya draft peraturan baru organisasi mahasiswa (ormawa) yang dinilai mengancam kebebasan berorganisasi dan gerakan kritis mahasiswa.
Dalam logika Ketua BEM UI Zaadit Taqwa, 4 tahun kepemimpinan Presiden Jokowi dengan segala kompleksitas pembangunan dan tantangan yang dihadapi, kartu kuning layak diberikan karena 3 hal tersebut di atas. Bukan main, sebuah simplifikasi yang luar biasa.
Sedikit gambaran untuk menunjukkan kompleksitas masalah yang dihadapi Presiden ketika memulai pekerjaannya adalah APBN yang defisit. Defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan, ruang fiskal yang sangat sempit, ekonomi yang tidak sehat karena adanya kartel yang menguasai migas, pangan, dan distribusi sembilan bahan pokok.
Banyaknya regulasi yang tumpang tindih dan tidak efisien, situasi politik yang masih panas paska pilpres yang menuntut ketegasan sekaligus langkah yang presisi apalagi dengan semakin menguatnya kelompok Islam politik, serta kesenjangan di berbagai daerah yang berpotensi mengancam keutuhan NKRI.
Presiden memulainya dengan merestrukturisasi anggaran dengan mengubah arahnya ke sektor produksi dibanding konsumsi dan belanja pegawai. Memasang target yang tinggi kepada para menteri sekaligus memonitornya sehingga timbul budaya malu jika dipecat.
Karena itu menunjukkan ketidakmampuan menteri dan bukan karena persoalan politik. Memangkas sekian jalur distribusi agar ekonomi sehat termasuk di dalamnya adalah Petral yang konon dilindungi hingga langit ke tujuh.
Melakukan langkah politik yang sangat presisi dalam menghadapi kelompok Islam politik sehingga suasana kondusif tetap terjaga – sungguh bukan suatu hal yang mudah. Berbagai pembangunan di banyak daerah yang selama ini belum tersentuh, dan implementasi dari visi Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Hanya dari sedikit gambaran di atas, kita bisa melihat kelayakan kartu kuning dari Ketua BEM UI tersebut. Apalagi dua hal terakhir yang disebutkan Zaadit yakni draft (sekali lagi baca: draft!) peraturan ormawa dan isu tentang munculnya dwi fungsi Polri/TNI karena penunjukan perwira aktif Polri sebagai penjabat gubernur masih sebatas wacana dan baru muncul belakangan ini. Lalu bagaimana bisa hal tersebut dijadikan dasar untuk mengeluarkan kartu kuning untuk 4 tahun kepemimpinan ?
Untuk gizi buruk di suku Asmat, kartu kuning tersebut masih mungkin untuk disampaikan meski sesungguhnya tetap tidak adil dan tidak tepat. Masih mungkin disampaikan dengan harapan pemerintah dan seluruh stakeholder bisa bekerja lebih keras untuk menyelesaikan hal tesebut.
Presiden sendiri–meski beserta jajarannya telah berupaya untuk menyelesaikan masalah-masalah di Papua seperti infrastruktur, Freeport, BBM, dan isu separatisme–dengan elegan mengundang BEM UI datang ke Asmat untuk bersama-sama menyelesaikan masalah gizi buruk tersebut.
Zaman yang Berbeda
Kartu kuning tersebut akan mempunyai makna terlepas dari ada tidaknya bobot kritik yang dikandungnya jika berhadapan dengan pemerintah yang otoriter seperti zaman orde baru. Pada masa itu keberanian bersuara penting untuk mengimbangi sikap otoriter pemerintah guna mendorong kehidupan demokrasi yang lebih baik. Tetapi dalam suasana seperti sekarang ini di mana rakyat menikmati secara luas kehidupan demokrasi, tuntutan pun beralih pada isi dan bobot yang disuarakan.
Di kampung saat duel antara Manchester United melawan Manchester City, semua orang menjadi pakar bola jauh melebihi Jose Mourinho ataupun Pep Guardiola. Tidak perlu mengerti tentang bagaimana Mourinho dan Guardiola meramu team termasuk bagaimana menaklukkan ego para pemainnya sehingga bisa menyatu dalam dalam sebuah permainan, penonton dengan tertawa renyah sembari makan kacang bisa menganalis dengan enteng pertandingan yang berjalan.
Kritik tanpa dibarengi solusi alternatif dan kemampuan membayangkan problematika lapangan tak akan mempunyai nilai, persis seperti pengamat bola di kampung. Menkeu Sri Mulyani pada saat menyampaikan kuliah perdana Pengantar Teori Ekonomi Makro di Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia yang kebetulan diadakan beberapa hari setelah itu, di sela-sela penjelasan kuliahnya menyindir soal kartu kuning tersebut. Menurut beliau mahasiswa mesti belajar dulu mengenai Pengantar Teori Ekonomi Makro, baru kemudian demo.
Zaman sudah berbeda, dan pada akhirnya perlu disikapi dengan cara yang berbeda pula. Gerakan mahasiswa perlu merevitalisasi dirinya. Jika dulu jargon-jargonnya adalah mahasiswa sebagai agent of change, agen perubahan, cendekiawan yang tinggal di menara gading yang akan turun ketika terjadi, ketidakadilan di masyarakat, maka pada zaman now yang diperlukan adalah kontribusi yang lebih cerdas, semisal sebagai pelopor bisnis startup ataupun mahasiswa sebagai penggerak ekonomi kreatif. Dua hal yang sangat mungkin dilakukan di sela-sela perkuliahannya.
Apakah kemudian mahasiswa menghindari politik? Tentu tidak, tetapi mahasiswa bisa menempatkan politik sebagai bidang keilmuan yang kelak berguna jika nanti ia terjun ke masyarakat. Tidak perlu untuk terjun ke politik praktis atau mengaitkan dengan suatu partai politik karena jika itu yang terjadi maka ia tidak bisa memainkan high politics dalam posisinya sebagai cendekiawan muda.
Kartu kuning dari Ketua BEM UI itu sebenarnya masih bisa bernilai. Tapi kabar tak sedap tentang kecenderungan politik dari Zaadit Taqwa–seorang mahasiswa dan Ketua BEM UI, membuat kartu tersebut sungguh murah.