Jumat, Oktober 11, 2024

Kartu Kuning Mahasiswa dan Kuatnya Figur Jokowi

Dian Dwi Jayanto
Dian Dwi Jayanto
Penulis Lepas, alumni Ilmu Politik FISIP UNAIR serta pernah nyantri di Pondok Pesantren Tambaberas Jombang.

Aksi Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM-UI) Zaadit Taqwa yang berani atau nekat mengacungkan “kartu kuning” terhadap Jokowi beberapa hari kemarin ramai diperbincangkan publik, terutama warga netizen.

Menurut pemberitaan berbagai sumber, Zaadit mengacungkan buku panduan suara berwarna kuning sambil meniup peluit panjang bak wasit yang memberi peringatan terhadap pemain yang melakukan pelanggaran. Warna kuning dan peluit dapat dilambangkan sebagai bentuk peringatan mahasiswa terhadap penampilan pemerintahan Jokowi memasuki tahun ke empat.

Lebih jauh lagi kemudian dijelaskan terdapat tiga isu utama yang mendapatkan perhatian lebih dari BEM UI terkait pemerintahan Jokowi. Pertama, soal gizi buruk dan wabah penyakit di Asmat, Papua. Kedua, soal pengangkatan kepala daerah dari unsur Polri atau TNI. Ketiga, soal draft peraturan Organisasi Mahasiswa (Ormawa) yang dikhawatirkan berpotensi mengancam kebebasan kegiatan mahasiswa.

Pandangan negatif dan positif saling berdesakkan dalam memandang perbuatan tersebut di dalam jagat dunia maya. Namun, Trend yang terbaca oleh penulis melalui tulisan-tulisan yang bertebaran di media sosial menampakkan signyal negatif, mulai dari mempersoalkan sudut pandang etika, landasan kajian yang digunakan, hingga menyerang secara personal Zaadit Taqwa yang diisukan berafiliasi dengan salah satu Parpol oposisi, gangguan kesehatan dan seterusnya dan sebagainya.

Meskipun banyak juga yang memuji aksi simbolik tersebut, terutama dari kalangan aktifis mahasiswa dan bahkan para politisi yang sejak awal kontra terhadap pemerintah. Sebut saja politisi kawakan Fahri Hamzah yang bahkan menyatakan akan memberikan “kartu merah” bagi kepemimpinan Jokowi mendatang.

Penulis memiliki dua catatan penting mengenai aksi kartu kuning mahasiswa, terutama bertalian dengan sosok Jokowi dalam skala diskusi yang lebih luas. Pertama, terkait kuatnya figur Jokowi. Kedua, fenomena fanatisme buta tentang pro atau anti Jokowi yang membuat pikiran kita semakin sempit.

Pertama, sebagaimana berita yang dilansir oleh Tribunews.news dua hari lalu (02/02/18), hasil survey Lingkaran Survey Indonesia Denny JA menyatakan bahwa kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi sebagai presiden mencapai 70%. Hanya 21,30% yang menyatakan tidak puas.

Hal tersebut turut pula menempatkan Jokowi sebagai calon presiden terkuat pada Pemilihan Pilpres 2019. Meskipun tingkat elektabilitas Jokowi tidak mencapai lebih dari 50%, tepatnya 48,5%, namun calon presiden lainnya selain Jokowi jika diakumulasikan masih berada pada angka lebih rendah yang hanya menyentuh 41,20%. Ringkasnya, Jokowi masih mendapatkan persepsi positif mayoritas masyarakat di Indonesia, dan sekaligus mengukuhkan posisi elektabilitasnya sebagai kandidat presiden mendatang.

Jika demikian, apa yang dilakukan oleh Zaadit dengan memberikan kartu kuning sebagai pesan perlawanannya terhadap kinerja Jokowi, maka secara tidak langsung dia melawan arus besar persepsi positif masyarakat terhadap Jokowi. Sehingga, apa yang dilakukan oleh Zaadit tidak mewakili suara hati atau kerisauhan masyarakat terhadap Jokowi.

Apalagi isu yang diangkat menyangkut persoalan semacam draft Ormawa yang merupakan isu dalam segmentasi kecil bagi kalangan mahasiswa (yang peduli terhadap itu), serta pengangkatan kepala daerah dari unsur polisi dan TNI yang tidak terlalu merisauhkan batin publik (kecuali para ahli yang paham mekanisme pemerintahan dan tata negara). Tidak seperti kasus korupsi e-KTP yang telah menjadikan mantan Ketua DPR Setyo Novanto sebagai public enemy.

Sekedar masukan, untuk mendapatkan simpati besar ketika harus berhadapan dengan kuatnya ketokohan Jokowi secara umum, harusnya BEM UI dapat beralih untuk memainkan isu-isu yang menyentuh langsung akar rumput masyarakat kecil belakangan ini, seperti kebijakan beras impor di musim panen. Pokoknya jangan isu keagamaan, sudah banyak yang mengerjakan.

Kedua, masih bertautan dengan poin sebelumnya, hemat penulis, aksi kartu kuning mahasiswa untuk Jokowi tidak akan memberikan perubahan apa pun terhadap dua kubu prespektif besar dalam memandang Jokowi, baik yang pro maupun yang kontra. Mereka akan tetap berseberangan baik memuja maupun mencela kepemimpinan Jokowi. Meskipun disebutkan sebelumnya opini publik masih baik terhadap kepemimpinan Jokowi, di dalam pertarungan media sosial akan susah untuk menakar bagaimana persepsi yang sesungguhnya secara realitas di dunia nyata. Akan nampak berimbang.

Kartu kuning mahasiswa hanya akan menjadi alat perekat masing-masing segmentasi lovers dan haters Jokowi tanpa merenggangkan posisi tegak berdiri masing-masing kelompok. Hal ini ditandai jika mengaca bagaimana para politisi misalnya, yang sejak awal memang masuk barisan pendukung Jokowi akan mengkritik aksi tersebut. Di sisi lain, bagi yang sembari awal tidak menyukai Jokowi, akan berbicara sebaliknya.

Belakangan ini memang tidak terlalu sukar menebak pendapat para politisi atau tokoh masyarakat dalam memandang prospek kepemimpinan politik mendatang, sekedar lihat sepak terjang pikiran dan tindakannya selama ini akan mudah membaca pandangannya terhadap isu tertentu.

Tepatlah kemudian analogi rontoknya sehelai rambut uban Jokowi akan menggegerkan dunia politik sebagaimana dikatakan Ariel Heryanto dalam tweetnya. Bagi pihak pro akan memuji setinggi langi hal tersebut sebagai bukti pencapain kerja Jokowi, dan bagi yang kontra cukup menjadi alasan untuk menurunkan Jokowi.

Meskipun demikian, penulis mengapresiasi keberanian Zaadit yang berhasil memunculkan tindakan bercorak kontra tentang kepemimpinan dan kebijakan Jokowi (Tinggal menguatkan klaim kajian-kajian isu yang mewakili keresahan masyarakat).

Sebab, pemujaan berlebihan terhadap figur tertentu akan menghilangkan diskusi sehat tentang output dari bekerjanya sistem politik dan kepemimpinan tersebut. Jika tidak ada diskursus yang melawan pujian-pujian terhadap Jokowi, maka tahun politik tidak akan berlangsung seru karena tidak perbincangan untuk memilihkan alternatif pilihan politik.

Dian Dwi Jayanto
Dian Dwi Jayanto
Penulis Lepas, alumni Ilmu Politik FISIP UNAIR serta pernah nyantri di Pondok Pesantren Tambaberas Jombang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.