Bayangkan pagi hari yang dimulai jauh sebelum matahari terbit. Seorang perempuan menyiapkan sarapan, mempersiapkan anak berangkat sekolah, memastikan rumah dalam keadaan rapi sebelum akhirnya bergegas ke kantor dan menghadapi tekanan kerja yang tak kalah berat. Malamnya, ketika seharusnya bisa beristirahat, ia kembali berperan sebagai ibu dan istri yang mendampingi anak belajar, menyiapkan makan malam, dan mengurus pekerjaan rumah yang tak ada habisnya. Siklus itu berulang setiap hari, dan di baliknya, tersimpan kelelahan yang sering kali tak terlihat.
Fenomena ini bukan kisah satu dua orang, tapi realitas yang dijalani jutaan perempuan di Indonesia. Mereka memegang dua peran besar sekaligus, yaitu sebagai pencari nafkah dan pengelola rumah tangga, tanpa jeda yang cukup untuk dirinya sendiri. Ironisnya, di era yang mengaku menjunjung kesetaraan, perempuan justru menanggung beban paling berat.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, sekitar 50,13% perempuan di Indonesia bekerja di berbagai bidang profesional. Angka ini menunjukkan kemajuan signifikan dalam partisipasi perempuan di dunia kerja, menandakan bahwa perempuan bukan hanya pelengkap dalam perekonomian, tapi aktor penting dalam pembangunan. Namun di sisi lain, kemajuan ini tidak diikuti perubahan pola pikir sosial tentang pembagian peran domestik. Banyak perempuan tetap dituntut untuk “sempurna di dua dunia” dengan produktif di kantor dan tetap hadir penuh di rumah.
Istilah “beban ganda” terasa begitu tepat menggambarkan kondisi ini. Perempuan dihadapkan pada ekspektasi ganda: menjadi pekerja yang kompeten dan ibu yang ideal. Sementara itu, tanggung jawab domestik sering kali masih dianggap sebagai “urusan perempuan”, meski pasangan sama-sama bekerja. Akibatnya, banyak perempuan kelelahan secara fisik maupun emosional. Tidak sedikit yang mengalami stres, burnout, bahkan kehilangan rasa percaya diri, karena merasa gagal memenuhi standar sosial yang mustahil dipenuhi sendirian.
Bayangkan seorang perempuan bernama Ningning, seorang karyawan perusahaan swasta di Kota X. Ia bangun pukul lima pagi untuk menyiapkan sarapan, mengantar anak sekolah, lalu bekerja hingga malam menghadapi target dan rapat. Ketika anaknya sakit dan ia terpaksa cuti, atasannya mempertanyakan komitmennya terhadap pekerjaan. Di rumah, rasa bersalah menyelimutinya karena tak sempat mendampingi anak seutuhnya. Tentunya Ningning merasa terjepit antara dua peran yang sama-sama penting, namun tak pernah benar-benar seimbang.
Cerita Ningning merupakan cerminan dari banyak perempuan yang berjuang di tengah sistem yang belum adil. Dalam konteks ini, masalahnya bukan pada ketidakmampuan perempuan, melainkan pada struktur sosial yang masih timpang. Banyak laki-laki masih melihat urusan rumah tangga sebagai wilayah “bantuan”, bukan tanggung jawab bersama. Padahal, peran pengasuhan dan pekerjaan domestik seharusnya menjadi bagian dari kemitraan, bukan beban yang jatuh di satu sisi.
Banyak perempuan tumbuh dengan keyakinan bahwa keberhasilan mereka diukur dari seberapa baik mereka bisa “mengurus segalanya”. Sejak kecil, mereka diajarkan untuk menomorsatukan keluarga, bersikap lembut, dan tidak mengeluh, sementara laki-laki didorong untuk fokus pada karier dan pencapaian pribadi. Pola pikir inilah yang akhirnya membuat tanggung jawab domestik seolah menjadi kodrat perempuan, bukan hasil kesepakatan bersama.
Padahal, tekanan itu tidak hanya memengaruhi keseimbangan peran, tapi juga berdampak besar pada kesehatan mental. Rasa bersalah karena merasa tidak cukup hadir untuk anak, rasa lelah karena pekerjaan tak ada habisnya, hingga rasa tidak dihargai di tempat kerja, semua itu menumpuk menjadi beban emosional yang berat. Dalam banyak kasus, perempuan akhirnya kehilangan waktu untuk dirinya sendiri. Sementara laki-laki yang seharusnya bisa ikut berbagi tanggung jawab, sering kali tidak menyadari betapa pentingnya peran mereka dalam menjaga kesejahteraan keluarga.
Kesetaraan sejati tidak bisa tercapai hanya dengan mendorong perempuan masuk dunia kerja. Ia baru bermakna ketika laki-laki juga mulai mengambil peran domestik dengan kesadaran penuh, bukan sebagai “bantuan” tapi sebagai bagian dari tanggung jawab bersama. Negara-negara seperti Swedia dan Norwegia telah menerapkan cuti orang tua yang setara bagi ayah dan ibu, serta dukungan childcare yang terjangkau. Hasilnya, keseimbangan hidup keluarga lebih terjaga, dan partisipasi perempuan di dunia kerja bisa mencapai lebih dari 80% tanpa mengorbankan kesejahteraan keluarga.
Indonesia sebenarnya bisa menuju ke sana. Perusahaan bisa mulai dari kebijakan kecil seperti jam kerja fleksibel, sistem kerja hybrid, hingga penyediaan fasilitas penitipan anak. Pemerintah bisa mendorong kampanye kesetaraan peran domestik sejak pendidikan dasar. Namun yang paling penting, perubahan juga harus datang dari rumah. Dari cara pasangan memandang kerja rumah tangga bukan sebagai “bantuan”, tetapi sebagai bentuk kasih dan tanggung jawab bersama.
Pada akhirnya, persoalan perempuan bekerja bukan semata tentang “bagaimana menyeimbangkan karier dan keluarga”, tetapi tentang bagaimana masyarakat memperlakukan perempuan yang mencoba melakukannya. Selama urusan rumah masih dianggap tanggung jawab satu pihak, keseimbangan itu akan tetap mustahil.
Perempuan tidak butuh pujian karena mampu “melakukan segalanya”; yang mereka butuhkan adalah sistem yang adil dan pasangan yang mau berbagi. Ketika laki-laki ikut masuk dapur, mengganti popok, atau sekadar menyiapkan sarapan, mereka tidak sedang “membantu istri” namun mereka sedang menjalankan perannya sebagai manusia yang setara.
Mungkin di situlah kunci perubahan kecil yang besar: ketika rumah menjadi ruang paling adil untuk memulai kesetaraan, agar perempuan tak lagi harus memilih antara karier dan keluarga karena keduanya bisa dijalani bersama, dengan beban yang benar-benar dibagi.