Dewasa ini, pemakaian istilah Disrupsi masih terdengar asing oleh kaum muda atau generasi milenial sekarang. Lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan disrupsi?. Jika kita merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian disrupsi merujuk kepada suatu hal yang tercabut dari akarnya.
Jika dirujuk lagi kedalam kehidupan sehari-hari, disrupsi adalah perubahan aktivitas – aktivitas masyarakat dari dunia nyata ke dunia maya. Perubahan tersebut terjadi secara cepat dan menyeluruh. Disrupsi ini juga dikenal dengan istilah revolusi industri 4.0
Disrupsi ini terjadi karena perkembangan dari teknologi yang sangat cepat. Kemajuan teknologi ini pada hakikatnya tidak dapat kita dihindari, hal tersebut dikarenakan pemahaman akan ilmu pengetahuan juga akan semakin meningkat. Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan, karena mereka selalu beriringan.
Perkembangan teknologi tersebut membawa dampak yang besar terhadap kehidupan manusia, baik itu dampak positif maupun dampak negatif. Manusia yang awalnya tidak terlalu paham akan teknologi yang super canggih tersebut, akhirnya menjadi ketergantungan.
Sebenarnya, fenomena disrupsi ini tidak hanya terjadi pada era revolusi industri 4.0 saja, tetapi juga terjadi pada era revolusi sebelumnya. Tetapi perubahan pada era sebelumnya itu berlangsung secara lambat, sehingga tidak terlalu memberikan dampak yang signifikan terhadap kehidupan manusia. Pada era revolusi industri 4.0 inilah disrupsi berlangsung secara cepat bahkan sudah masuk ke semua lini kehidupan manusia, karena seperti yang sudah dijelaskan di atas, hal tersebut terjadi karena teknologi digital yang berkembang sangat pesatnya.
Generasi milenial sekarang ini benar-benar telah dimanjakan oleh teknologi. Semua urusan menjadi serba instan, internet menjadi kebutuhan pokok yang harus dipenuhi dan mereka sangat akrab dengan hal-hal yang berbau kekinian. Bukan tanpa alasan, hal tersebut terjadi karena kebutuhan akan teknologi menjadi semakin meningkat dari sebelumnya. Bahkan dapat kita saksikan sendiri, anak-anak yang masih berada dibangku Sekolah Dasar (SD) sudah memiliki smartphone canggih. Tentu hal ini sangat bertolakbelakang dengan kehidupan anak-anak zaman dahulu.
Maka tidak heran jika generasi milenial sekarang memiliki karakteristik yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Karakteristik tersebut, yaitu mereka lebih senang untuk menghamburkan uang untuk kesenangan diri pribadi. Seperti pergi liburan keluar kota, Travelling, nongkrong bersama teman-teman. Mereka lebih menyukai hal seperti itu dibandingkan dengan menabungkan atau menginvestasikan uang tersebut untuk masa depan.
Selanjutnya, generasi ini juga pantas dilabeli dengan julukan ‘Generasi Foya-Foya’. Disebut seperti itu karena mereka sangat menyukai kegiatan berbelanja dalam jumlah yang berlebihan. Bahkan niat untuk berbelanja tersebut cenderung meningkat setiap saatnya. Padahal, barang-barang yang mereka beli tersebut adalah barang-barang yang tidak dibutuhkan, bahkan pada akhirnya barang-barang tersebut tidak berguna.
Selain dijuluki dengan ‘Generasi Foya-Foya’, kaum milenial di era disrupsi ini juga sangat dekat dengan istilah ‘Panjat Sosial’. Panjat sosial sendiri adalah sebuah perilaku yang ditunjukkan atau dilakukan oleh seseorang, yang mana hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan atau menunjukkan kepada orang lain mengenai status sosial mereka
. Salah satu contoh panjat sosial dikalangan generasi ini adalah selalu ingin mencari perhatian dengan berbagai cara. Salah satu caranya ialah dengan memposting foto pada akun media sosial masing-masing dengan berbagai macam gaya bahkan sampai memperlihatkan bagian tubuh mereka, lalu mengeditnya menjadi semenarik mungkin.
Para pemanjat sosial tersebut sangat senang mendapatkan pujian dari orang lain, ia akan merasa puas dan bangga apabila menjadi pusat perhatian semua orang. Oleh sebab itulah, kebanyakan dari mereka berusaha untuk mendapatkan perhatian, bahkan dengan kontroversi dan hal-hal tidak terduga sekalipun.
Karakteristik selanjutnya, ialah mereka sama sekali tidak mempermasalahkan mengenai prestasi. Jika dahulu orang berpikiran bahwa dengan mendapatkan prestasi adalah salah satu modal untuk mendapatkan perguruan tinggi atau mendapatkan pekerjaan yang bagus, tetapi sekarang ini mereka terlalu apatis akan hal seperti itu. Mereka tidak memperdulikan lagi bagaimana caranya agar menjadi seseorang yang berprestasi, karena saat sekarang ini prestasi bagi mereka adalah memiliki banyak followers, eksis di media sosial dan menjadi terkenal. Maka tak heran jika sekarang ini banyak dari mereka yang menampilkan hal yang tidak biasa, bahkan sampai menjelek-jelekkan diri mereka sendiri hanya untuk terkenal di media sosial.
Terlepas dari karakteristik tersebut, sebenarnya banyak sekali tantangan yang harus mereka hadapi pada era disrupsi ini. Yaitu timbulnya resiko ketergantungan terhadap teknologi digital sehingga mereka tidak lagi peduli dengan lingkungan sekitar, banyaknya timbul konten-konten yang tidak mendidik sehingga ditakutkan nanti rakyat Indonesia akan semakin tertinggal oleh negara lain karena kurangnya kesadaran dalam pendidikan dan buta akan ilmu pengetahuan.
Selain itu, juga ditakutkan timbulnya resiko persisten terhadap hak digital akibat interkoneksi dan teknologi baru ini. Perkembangan digital dewasa ini juga ditakutkan dapat menjadi propaganda yang sangat kuat dalam perspektif ekonomi, juga menjadi penyambung relationship dengan pergerakan digital yang sangat cepat dan menjadi ancaman dalam hal transparansi dan akuntabilitas. Dan terakhir menjadi konteks baru dalam hal etics dari inovasi yang terjadi sehingga dapat menjadi masalah kemanusiaan
Untuk mengantisipasi hal-hal tersebut terjadi, generasi milenial sekarang diharapkan jangan terlalu terlena dengan kesenangan yang ditawarkan oleh teknologi dan mampu mengambil sisi positif dari teknologi itu sendiri. Selain itu, mereka juga diharapkan mampu untuk menumbuhkan perilaku yang inovatif dan mampu untuk bersaing dalam hal yang membangun dengan yang lainnya.