“Perdagangan membikin orang terbebas dari pangkat-pangkat, tak membeda-bedakan sesama manusia, apakah dia pembesar atau bawahan, bahkan budak pun. Pedagang berpikiran cepat. Mereka menghidupkan yang beku dan menggiatkan yang lumpuh.” – Pamoedya Ananta Toer
Maraknya keluhan dari pedagang pasar menyebabkan keresahan yang tidak bisa dianggap sepele oleh pemerintah. Terjadinya monopoli pasar menyebabkan ketidak merataan ekonomi. Efeknya adalah perekonomian hanya menguntungkan sebalah pihak dan pihak lainnya merasa dirugikan.
Pasar tampak sepi, dan minimnya penawaran dalam transaksi jual-beli. Lingkungan pasar tampak bersih, apabila normalnya pasar tampak kotor akibat aktivitas manusia di pasar. Banyak juga kios yang menutup dagangannya karena tingginya pengeluaran dan rendanya pemasukkan.
“Pemodal telah memasuki pasar, mas, dan mereka memonopoli pasar (dagang). Tanpa sadar mereka membunuh kita secara perlahan dengan uangnya,” Ucap bapak penjual sayur di Pasar Colombo, Yogyakarta. Peristiwa ini selalu terjadi ketika produsen merasa pasar telah mengalami kemerosotan konsumen.
Saya rasa hal ini benar apa yang bapak penjual sayur katakan. Maraknya supermarket yang nyaris semua barang keperluan hidup ada di dalamnya. Dalam hal ini, konsumen merasa efisien dalam membeli produk dan supermarket tersebut tidak memberi kesempatan kepada pedagang menjual barangnya secara eceran dengan dalih meraup untung sebanyak-banyaknya.
Terkait persaingan dagang di dunia pasar, pemerintah telah menetapkan Undang-Undang (UU) No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. UU tersebut bertujuan agar menciptakan persaingan dagang yang lebih sehat dan meminimalisir kecurangan yang ada.
Presiden juga telah memutuskan regulasi terkait Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern yang diatur pada Peraturan Presiden (Perpres) No. 112 Tahun 2007.
Pada pasal 4 ayat 1 Perpres No. 112 Tahun 2007, disebutkan bahwa setiap toko mewajibkan mengakumulasi kondisi sosial dan ekonomi masyarakat sekitar, dan juga memperhitungkan jarak pasar modern dengan pasar tradisional yang ada.
Pendirian pasar modern juga terdapat izin yang biasa disebut Izin Usaha Toko Modern (IUTM). Izin tersebut diserahkan kepada dinas yang bertanggung jawab atas pengelolaan pasar dan perdagangan. Dinas tersebut yang memutuskan ada dan tidaknya sebuah toko modern di sebuah daerah sesuai kalkulasi kondisi masyarakat dan pasar tradisional setempat.
Dilanjutkan dengan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) tentang lokasi toko modern, dengan Pasal 3 ayat (9e) Permendag No. 53 Tahun 2008 bahwa toko modern wajib memperhatikan keberadaan pasar tradisional dan warung atau toko di wilayah sekitar yang lebih kecil daripada minimarket tersebut.
Namun, saya rasa aneh dan mencoba mengkritisi Permendag No. 53 Tahun 2008. Bahwa tak ada satu pun pasal yang mengatur sanksi tegas terhadap toko modern yang telah mencederai kewajiban yang tertera pada Pasal 3 ayat 9e tersebut.
Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta telah mengeluarkan kebijakan terkait perdagangan yang diatur dalam pasal Pasal 8 Keputusan Gubernur (Kepgub) No. 44 Tahun 2004 juncto Pasal 10 huruf a Perda DKI 2/2002 yang berbunyi, mini swalayan (minimarket) yang luas lantainya 100 meter persegi s.d. 200 meter persegi harus berjarak radius 500 merter dari pasar lingkungan (tradisional) dan terletak di sisi jalan lingkungan/kolektor/arteri.
Peran pemerintah dalam menetapkan regulasi demi terciptanya pasar yang sehat adalah pertahanan keamanan, penegakan keadilan, menyediakan dan memelihara sarana serta lembaga-lembaga publik tertentu, begitulah pemikiran pasar menurut Adam Smith.
Saya rasa negeri ini telah merdeka, tapi masih ada saja orang-orang yang tertindas dalam mencari penghidupan? Izinkan saya mengutip quote dari Wiji Thukul dalam puisinya, “Kemerdekaan adalah nasi, yang dicerna menjadi tai.” Kemerdekaan yang tak seimbang antara terkuat dan terlemah. Dimana yang terkuat akan menindas yang lemah, dan yang lemah terus tertindas oleh yang terkuat.