Empat hari pascapenembakan di dua masjid di Kota Christchurch yang menewaskan 49 orang Jumat (15/3/2019) lalu, Pemerintah Selandia Baru menggelar sidang parlemen membahas langkah yang harus ditempuh terkait penembakan itu. Yang menarik, PM Selandia Baru, Jacinda Ardern menyapa hadirin dengan ‘Assalamualaikum’. Sidang itu lantas dibuka dengan doa secara Islami dalam bahasa Arab yang dipimpin oleh Imam Nizam Ulhaq Thanvi.
Terlepas bahwa doa itu mungkin tak diaminkan oleh para hadirin, terutama oleh senator Fraser Anning yang menilai teror penembakan itu disebabkan oleh imigran muslim, sikap Ardern patut diapresiasi. Membuka sidang dengan doa Islam bukanlah pemandangan biasa di negara dengan mayoritas penduduk penganut agama Kristen, meskipun konon 40 persen penduduk Selandia Baru tidak percaya agama.
Atas sikapnya, Ardern pun menuai pujian dari banyak pihak, terutama dari kalangan muslim. Seperti kita tahu, bukan pada momen sidang itu saja Ardern menunjukkan rasa empati atas tragedi itu. Sejak awal mengetahui ada penembakan membabi buta di masjid, politikus Partai Buruh itu memang ikut larut dalam kesedihan dan mengutuk keras pelaku. Saat menyambangi lokasi kejadian, perempuan yang baru saja melahirkan sembilan yang lalu itu mengenakan kerudung sebagai bentuk solidaritas kepada umat muslim.
Ardern dengan tegas menyatakan bahwa Selandia Baru merupakan rumah bagi imigran muslim, di tengah adanya spekulasi yang menyebut bahwa tragedi itu disebabkan oleh kebijakan pemerintah terkait imigran muslim. “Mereka [imigran muslim] adalah kita,” katanya di Twitter, beberapa saat setelah kejadian.
Tak cuma retorika belaka, sehari pascakejadian, Ardern juga menegaskan akan mengubah Undang-Undang Senjata Api di Selandia Baru. Pendeknya, Ardern benar-benar menjadi “bintang” dalam tragedi itu. Media Australia The Sydney Morning Herald bahkan menayangkan artikel dengan judul “Jacinda Shines on New Zaeland’s Darkest Day”, untuk mendeskripsikan sikap terpuji pemimpin berusia 38 tahun itu.
Sikap peduli pada kaum minoritas tak cuma ditunjukkan Ardern seorang. Selain Ardern, ada si ‘eggboy’ Will Connolly, pemuda 17 tahun yang dengan berani menemplok telur ke kepala botak senator asal Queensland, Fraser Anning karena menuding imigran muslim sebagai penyebab teror penembakan itu.
Yang menyejukkan, sikap Ardern dan si Eggboy ini ternyata adalah representasi dari sikap mayoritas penduduk Selandia Baru. Sebagai umat mayoritas (Kristen), mereka tak canggung dalam menunjukkan empati. Mereka tidak tertawa di belakang saat melihat umat agama lain tewas bergelimpangan diberondong peluru. Mereka justru ikut bersedih, dan melipur lara kerabat-kerabat mereka yang beragama Islam, terutama keluarga mereka yang menjadi korban. Bayang-bayang Islamophobia yang selama ini digembar-gemborkan Barat, jauh dari pikiran mereka.
Di Kota Nelson dan kota-kota lain di Selandia Baru, sebagaimana ditulis Rahmat Hidayat di dinding Facebook-nya, orang-orang ikut berkabung, dan dengan sengaja mengenakan pakaian khas muslim untuk menunjukkan duka cita. Tak cuma itu, radio yang ia putar selama perjalanan di mobil, juga memperdengarkan himbauan untuk menghibur dan menenangkan warga muslim yang tengah berduka.
“Jika ia tetanggamu, kunjungi, hibur, dan mungkin buatkan teh cammomile untuk menenangkan…,” demikian kata si penyiar radio.
Dan hari Jumat (22/3/2019) atau seminggu setelah serangan teror itu, seluruh stasiun TV dan radio di Selandia Baru menyiarkan azan secara langsung dan diikuti dengan mengheningkan cipta selama dua menit. Tak cuma itu, di hari yang sama, penduduk Selandia Baru juga mengadakan “Gerakan Berkerudung untuk Harmoni”, dimana perempuan dari semua agama, dianjurkan memakai kerudung pada hari itu untuk memberikan dukungan bagi komunitas muslim.
Beragama dengan Hati
Terlepas dari adanya kecurigaan bahwa sikap PM Selandia Baru itu mungkin hanya sebatas pencitraan, serta terlepas bahwa belum tentu umat agama mayoritas Selandia Baru benar-benar memiliki toleransi yang tinggi terhadap muslim minoritas sebagaimana yang disiarkan oleh media massa, saya justru melihat bahwa mereka memiliki sikap beragama (atau tepatnya sikap bertuhan) yang asyik, setidaknya jika dibandingkan dengan umat agama mayoritas di Indonesia hari-hari ini.
Saya sendiri, misalnya. Hampir setiap hari, setiap kali melirik lini masa media sosial, saya selalu menemukan teman saya yang muslim, mengintimidasi teman saya yang lain yang beragama lain, dengan kata-kata semacam kafir, penghuni neraka, penyembah berhala, rakus pemakan anjing-babi, dan sebagainya.
Yang menyedihkan, sikap seperti itu juga ada di dunia nyata. Kalimat-kalimat seperti “Dia itu Kristen, ngapain kau berteman sama dia!”, “Ih orang Buddha, nyembah-nyembah patung!”, atau “Dasar pagan!”, dan sejenisnya, malah sudah dicecoki ke kepala kita sejak kecil oleh orang-orang tua, dan–bahkan tak terkecuali–guru ngaji. Bahkan pernah suatu kali sewaktu saya masih SD, seorang teman saya yang muslim membatalkan niatnya membagi permen ke teman saya yang lain lantaran teman itu beragama Hindu.
Orang-orang Selandia Baru, dalam pandangan saya, memiliki spiritualitas yang lembut dan bersifat esoteris. Kita boleh saja mencap mereka sekuler atau liberal, tapi yang jelas, lelaku mereka lebih manusiawi, lebih menunjukkan cinta-kasih, dan karenanya lebih “ilahiah” dan “religius”. Saya kira itulah yang akan dicapai oleh manusia ketika ia beriman dengan hati dan pikiran yang jernih.
Saya jadi bertanya-tanya sambil berharap, kapan umat agama mayoritas di Indonesia seperti umat agama mayoritas di Selandia Baru? Kapan umat agama mayoritas kita tak khawatir imannya tergadai hanya karena melakukan perbuatan-perbuatan yang menunjukkan pembelaan kepada umat agama minoritas, apalagi jika itu berupa kebaikan?
Alih-alih merasa terancam dan ternistakan, umat agama mayoritas di Selandia Baru justru dengan hati lapang melindungi umat Islam yang minoritas. Cara mereka bertuhan, tidak terbelenggu pada cara pandang yang bersifat dogmatik, kaku, dan menghakimi yang liyan. Mereka santai saja, tidak takut, apalagi merasa terancam. Mereka tidak garang, apalagi sampai menggelar demo berjilid-jilid karena merasa dilecehkan.
Belajar Filsafat di Samping Agama
Tanpa maksud untuk memprovokasi keyakinan siapapun, saya kira umat beragama kita perlu belajar filsafat, ilmu yang mengajarkan untuk merenungi hakikat segala sesuatu, untuk mendampingi pembelajaran tentang agama. Filsafat akan menjernihkan pandangan kita dalam melihat keberagaman.
Dengan berfilsafat, kita menjadi sadar bahwa dalam melihat dan menilai sesuatu, kita selalu mengenakan cara pandang subjektif kita masing-masing. Kata ‘subjektif’ perlu digarisbawahi sebagai penekanan bahwa apa yang baik dan benar menurut kita, belum tentu baik dan benar bagi pihak lain.
Sekali lagi, kapan kita bisa seperti umat agama mayoritas Selandia Baru? Mungkin, itu berat. Tapi saya pikir, seandainya politisi kita tidak sesontoloyo seperti sekarang, tidak menggoreng agama demi menggapai kekuasaan, menjadi seperti penduduk Selandia Baru itu hal yang mudah saja.