Hari-hari Pilkada langsung 2018, wacana politik hiruk pikuk mengisi relung kehidupan kita. Salah satu tak kalah menariknya, banyaknya kandidat yang berlatar TNI–Polri. Hal ini tentu memancing kembali perdebatan tentang kontroversi kepemimpinan sipil-militer yang sempat mengemuka lepas era reformasi.
Keikut-sertaan para perwira militer dan polri mereka dalam bursa Pilkada pasti menimbulkan pro dan kontra, apalagi sebagian mereka masih militer aktif saat awal kontestasi.
Kemunculan tokoh-tokoh yang berlatar belakang militer merupakan fenomena yang patut dicermati. Apalagi secara historis, militer memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam perjalanan kehidupan politik bangsa ini.
Keterlibatan militer dalam memperkuat sistem politik otoritarian semasa orde baru dengan konsep dwi fungsinya. Konsep dwi fungsi yang menjadikan TNI sangat aktif dalam berbagai bidang sosial politik, mulai dari jabatan-jabatan politik, birokrasi sampai organisasi-organisasi profesi dan olahraga. Oleh karena itu pula TNI/Polri (ABRI-waktu itu) merupakan salah satu pilar penting dalam struktur politik orde baru selain Golkar dan birokrasi.
Kini, keinginan elite militer untuk melibatkan diri dalam proses politik merupakan ujian terhadap proses perubahan yang sedang dijalankan. Menengok masa lalu, militer dan keterlibatannya dalam politik praktis mengalami pasang surut. Setidaknya ada beberapa catatan penting, antara lain:
Pertama, secara historis mereka telah memberikan harga mati, bahwa dalam kehidupan berbangsa, militer memang harus dilibatkan. Alm. Jenderal Besar (purn) AH Nasution (1996) sebagai perumus konsep dwi fungsi menyatakan bahwa: ” militer bukan sekedar ‘alat sipil’ seperti di negara-negara barat, juga bukan sekedar ‘rezim militer’ yang mendominasi kekuatan negara, namun merupakan salah satu diantara kekuatan lain dalam masyarakat, kekuatan demi perjuangan rakyat”.
Nasution menambahkan bahwa bila militer tidak dilibatkan dalam kehidupan berbangsa, pada suatu hari bagai gunung api yang ‘aktif’, ia akan meletus. Hal ini memperlihatkan, bahwa militer memang merupakan salah satu pemain aktif, dan jelas-jelas memiliki syahwat ber-politik sebagaimana partai politik, dan kelompok masyarakat yang lain.
Dibagian lain Petra Kappert (1967), seorang Profesor politik Jerman pernah mewawancarai seorang mantan panglima militer di negaranya. Ia mengungkapkan ” bahwa militer memang memiliki kesadaran lebih tinggi dari kaum sipil. Mereka punya patriotisme, nasionalisme yang tidak chauvinis, dan berani mati untuk Negara”. Demikian dikutip Sindhunata (1999) dari Majalah Der Spiegel.
Kedua, militer memiliki organisasi yang sangat solid termasuk kekuatan intelejennya, merupakan kekuatan yang sangat mobil (mudah digerakkan). Militer yang memiliki sistem komando, membuat mereka menjadi kekuatan yang hampir tak tertandingi. Apalagi organisasi mereka sampai kedesa-desa dan kecamatan, tentu merupakan kekuatan yang terstruktur secara rapi dan memiliki pengaruh kuat dalam dinamika politik di negeri ini.
Mudahnya konsolidasi ini mengakibatkan untuk berpolitik, secara oragnisatoris mereka memiliki potensi yang sangat besar.
Haruskah militer berpolitik?
Kemunculan para kandidat gubernur maupun bupati yang berlatar belakang militer, dapat dilihat dalam beberapa konteks diatas. Namun pertanyaannya; mampukah kultur dan pola yang terbangun dalam tubuh militer ini, akan menumbuhkan figur-figur yang siap dalam kehidupan yang demokratis seperti saat ini? Ataukah benar sinyalemen bahwa TNI memang tidak memiliki kultur yang mendukung proses demokratisasi? Apakah keterlibatan militer dalam politik ini tidak menimbulkan resiko kekerasan politik dan sumbatan terhadap proses demokratisasi?
Terlepas dari perdebatan itu yang jelas, berbagai penelitian yang dilakukan berbagai lembaga survey memperlihatkan kerinduan masyarakat dengan figur yang tegas. Dan ketegasan itu pasti di identikan dengan figur yang berasal dari militer. Ditambah lagi dengan kerinduan terhadap rasa aman, dan terjaminya stabilitas politik. Hal ini mengindikasikan bahwa memang ada keinginan kuat sebagaian besar masyarakat untuk mendukung tokoh militer dalam perebutan kursi Gubernur atau Bupati/Walikota.
Keterlibatan langsung militer ini menimbulkan sinyalemen bangkitnya jiwa korsa dalam proses politik dalam sebuah masyarakat demokratis. Tentu ini akan menimbulkan dilema. Sebuah masyarakat yang didalamnya mengandung kontradiksi dan perbedaan politis dan kepentingan yang tajam. Kecenderungan untuk menggunakan kekerasan, dan naluri bertempur sesungguhnya memiliki ruang ekspresi yang berbeda yakni bidang pertahanan dan keamanan, bukan pada kontestasi politik.
Tentu tidak tepat semata-mata menggunakan naluri bertempur apalagi kekerasan dalam proses politik seperti pilkada. Hal ini dapat menghantui kehidupan politik kita, dan merugikan bangunan kultur politik yang demokratis. Situasi ini juga musti direnungkan oleh para politisi sipil. Apakah politisi sipil sudah dianggap tidak becus mengurus negeri ini, sehingga mengundang militer untuk kembali ke panggung politik?
Dalam konteks kehidupan politik bangsa kita, keterlibatan militer memang banyak berperan dalam revolusi fisik menuju dan memepertahankan kemerdekaan. Namun tragedi 1965, dan peristiwa peralihan menuju 1998 memberikan contoh buruk keterlibatan militer dalam kehidupan politik dapat melahirkan spiral kekerasan yang tak perlu.
Namun rakyatlah yang akan menentukan, yang jelas dalam banyak hal, namun dalam kehidupan demokratis karakter yang terbuka dan memiliki respon positif terhadap berbagai perbedaan. Semoga saja siapapun calon gubernur atau bupati, apakah dari kalangan militer atau sipil mampu menerima realitas dalam kehidupan yang demokratis. Dan semoga para cagub/cabup dan walikota dari militer tidak begitu rupa menyeret jiwa korsa personel militer pada kegiatan politik praktis dalam perebutan kursi Gubernur dan walikota.
Kita telah menyaksikan berbagai kekacauan politik di belahan dunia, didukung oleh penggunaan kekuatan militer yang tidak pada tempatnya, akan melahirkan situasi yang mencekam.