November tahun lalu, saya menulis buku berjudul Involusi Republik Merdesa. Buku yang berisi kumpulan gagasan sepanjang satu dekade ini berisi otokritik tentang kebijakan pemerintah yang membuat desa mengalami involusi, sehingga kehidupan desa tidak lagi merdesa.
Kekayaan sumber daya desa dengan segala kearifan yang dimilikinya, tidak membuat desa mampu dan layak sebagai tempat interaksi dan menyimpan harapan. Desa menjadi obyek dan terbelenggu dengan persoalan klasik kemiskinan dan ketimpangan yang diakibatkan karena pendekatan pembangunan yang tidak hanya membuat desa tersubordinasi, tetapi hilangnya kesejatian desa.
Di sisi lain, kampus (perguruan tinggi) sebagai pencetak kelas menengah dan diharapkan sebagai sahabat yang menemani pertumbuhan desa, sibuk dengan dirinya sendiri. Kampus seolah sirna dalam ruang kehidupan desa.
Kita Belum Merdesa
Di buku Involusi Republik Merdesa, saya katakan bahwa pendekatan pembangunan dimana pemerintah sebagai aktor utama telah melakukan banyak hal untuk desa. Namun apakah pendekatan tersebut sudah layak atau sesuai dengan kebutuhan yang diharapkan desa dan warganya?
Sejak Undang-Undang tentang Desa (UU No. 6/2014) diterbitkan Pemerintah, desa dan warganya menaruh harapan besar. Trilyunan rupiah APBN telah digelontori untuk pembangunan desa, seharusnya mampu menurunkan angka kemiskinan dan ketimpangan di pedesaan. Namun kenyataannya, kemiskinan di pedesaan turun (meski lambat) dan angka ketimpangan desa homogen menuju angka ketimpangan nasional (0,39 poin).
Tidak hanya itu, korupsi dana desa mewarnai pemberitaan di media mainstream dan medsos. Instruksi pemerintah membentuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), ternyata tidak mampu mendongkrak konsolidasi ekonomi di pedesaan.
Banyak ditemukan bisnis yang dikelola BUMDes tidak merepresentasikan potensi ekonomi desa. Akibatnya, kontribusi dana desa terhadap pertumbuhan ekonomi nasional tidak dapat diukur secara presisi. Jikapun ada, lebih bersifat taksiran. Sehingga wajar apabila orang bertanya mengapa kita belum merdesa mengelola sumber daya alam yang melimpah ini?
Demikian halnya dengan kampus, banyak dokumen hasil penelitian dan pengabdian masyarakat tersimpan begitu saja. Hasil penelitian banyak diterbitkan pada jurnal terindeks scopus dan seremoni pelantikan profesor semarak dilaksanakan kampus.
Tetapi, hasilnya lagi-lagi tidak linear dengan pengurangan angka kemiskinan dan terjadinya pemerataan antar kelas sosial di masyarakat pedesaan. Pertanyaannya, mengapa kemajuan kampus tidak mampu mendongkrak persoalan-persoalan yang telah diuraikan sebelumnya?
Setidaknya ada lima penyebab, pertama, pemerintah belum sepenuh hati mendorong agro-maritim sebagai soko guru ekonomi bangsa. Padahal inilah kekuatan ekonomi yang berpijak dari nafkah rumah tangga di pedesaan. Kurang lebih 80 persen desa-desa di Indonesia, kehidupan warganya dari sektor ini; kedua, belum totalnya kampus dikanalisasi menghasilkan invensi dan inovasi yang dibutuhkan desa dan warganya.
Jika pun ada invensi dan inovasi, orientasinya untuk korporasi. Terlihat pemerintah seolah tidak melakukan upaya dan tindakan menjaga dan mereproduksi karya yang dihasilkan kampus untuk menjawab kebutuhan desa dan warganya; ketiga, rumusan tujuan yang hendak dicapai antara pemerintah dan kampus belum sinergis menjawab kebutuhan desa; keempat, tidak adanya ruang publik yang sehat mempertemukan karya yang dihasilkan kampus dengan potensi yang dimiliki desa dan warganya; dan kelima, belum adanya gerakan sosial yang mengonsolidasikan kelas menengah (lulusan kampus) untuk kerja bersama warga desa.
Butuh Kampus Merdesa
Ke depan, isu pangan adalah isu strategis dunia. Seperti yang pernah diungkapkan Bung Karno, “pangan adalah persoalan mati-hidupnya suatu bangsa”. Indonesia dengan kekayaan sumber daya alamnya, bisa merebut isu strategis tersebut. Dengan catatan, tatakelolanya harus berbasis desa.
Dalam konteks ini, pendekatan pembangunan harus berpijak dari struktur nafkah warga di pedesaan. Hal ini mengingat desa adalah administrasi terkecil dan strategis yang mengelola ragam sumber daya (alam dan manusia) untuk menyelesaikan masalah sekaligus melakukan konsolidasi ekonomi bangsa.
Minimnya sumber daya manusia dan kesalahan pendekatan memperlakukan desa selama ini membutuhkan kerja-kerja kolaborasi yang mengembalikan ke-merdesa-an Indonesia mulai dari desa. Pemerintah harus berpijak pada hasil penelitian maupun analisis kampus dalam menyusun kebijakan. Kampus harus diberikan kemerdekaan untuk membaca arah dan gerak perubahan ke depan berpijak dari kekuatan yang dimiliki desa. Lalu bagaimana peran dan fungsi kampus terhadap desa?
Semenjak Mendikbud, Nadiem Makarim merilis kebijakan pemerintah terkait “kampus merdeka”, banyak yang pro dan tidak sedikit yang kontra. Kebijakan yang berisi empat poin utama tersebut, menarik dicermati terkait Kampus Merdesa.
Dua poin yang menarik, yakni: 1) kemerdekaan untuk mendirikan program studi baru bagi kampus yang terakreditasi A dan B; dan 2) kuliah tiga semester di luar program studi. Kedua kebijakan ini, memberikan ruang konstruktif kolaborasi antar universitas di dalam negeri maupun dengan universitas di luar negeri untuk melakukan riset bersama.
Tidak itu saja, ruang partisipasi sangat terbuka untuk menyusun kurikulum yang kontekstual sesuai dengan persoalan dan kebutuhan desa dan warganya. Disinilah tafsir pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa menemukan wujudnya. Namun perlu diingat bahwa hambatan terbesar dari kebijakan ini adalah ada atau tidaknya kepemimpinan kampus yang memiliki visi dan individu-individu dosen yang kreatif.
Kampus Merdesa adalah kampus yang memiliki kemampuan membaca perubahan dan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki untuk melakukan perubahan dan mengembalikan kesejatian bangsanya.
Kampus merdesa memiliki visi pendidikan yang berorientasi menjawab kebutuhan dan pengelolaan potensi desa dan warganya. Kampus merdesa memiliki kemampuan dan keberanian mengingatkan pemerintah agar kembali fokus dalam pengembangan ekonomi berbasis agro-maritim, menegaskan keberpihakan kampus melibatkan desa dalam penyusunan kurikulum dan aksi edukasi, mempersiapkan infrastruktur teknologi 4.0 yang inklusif dan adaptif bagi warga desa, melakukan konsolidasi ekonomi berbasis sumber daya desa, serta melakukan tatakelola pengembangan pendidikan vokasi bagi warga desa.
Untuk itu, potensi desa dan warganya pada agro-maritim harus dijawab kampus melalui strategi yang responsif terhadap perubahan agar terjadi optimalisasi sumber daya agro-maritim.
Bersama desa dan warganya, kampus menyusun kurikulum yang mampu menjembatani pengetahuan yang lahir dari kampus dan pengetahuan lokal. Tidak itu saja, kampus harus berkontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan bersama warga desa.
Kemajuan teknologi disiasati sebagai instrumen yang mempermudah kerja-kerja konsolidasi dan pengorganisasian desa dan warganya. Serta kampus harus mampu menghitung dengan presisi kontribusi desa-desa dampingannya terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Akhirnya, kebijakan kampus merdeka harus dimaknai sebagai kampus merdesa sebagai gerakan edukasi yang membuat desa menjadi lebih berdaya. Semoga!