Selasa, April 23, 2024

Kampanye Bermartabat, Agar Rakyat Berdaulat

Ahmad Sholikin
Ahmad Sholikin
Alumni Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif III (SKK - ASM III) dan Penulis di ahmadsholikin.web.ugm.ac.id

Kontestasi Pilpres dan Pileg 2019 seharusnya mampu mendewasakan semua peserta pemilu untuk tidak lagi menggunakan cara-cara tidak bermartabat agar mendapat dukungan pemilih.

Misalnya saja sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) atau mencitrakan salah satu pihak sebagai komunis sudah tak lagi relevan dengan demokrasi saat ini. Masih banyak pilihan cara kampanye untuk mendapatkan simpati publik ketimbang memilih isu-isu sampah.

Pemilu harus menjadi media edukasi, media bagi seluruh lapisan untuk belajar bagaimana menegakkan demokrasi yang sehat, bermartabat, dan contoh yang baik harus ditunjukkan oleh pemimpin atau calon pemimpin yang akan berkontestasi pada 2019. Walaupun dalam kenyataannya para pemimpin kita bahkan belum siap dengan model kampanye negatif, apalagi kampanye hitam.

Contoh

Sebagai contoh, permasalahan mendasar saat ini yang belum terselesaikan sejak era kolonial hingga era Presiden saat ini, yang mau berkontestasi lagi di 2019 adalah pengelolaan Sumber Daya Alam yang sangat melimpah. Untuk membingkai Isu ini agar bisa dijadikan bahan kampanye yang bermartabat adalah sebagai berikut ;

1. Buat landasan teori yang kuat

Kita memulai dengan Teori yang kuat dalam mendesain isu kampanye, biar ndak gampang dijatuhkan hipotesis kita oleh lawan politik macam Bang Ferdinand Hutapean dan Bung Adian Napitupulu. Misal dalam kajian Tata kelola SDA teori yang paling shohih adalah Teori Kutukan Sumber Daya Alam (Resource Curse Theory).

Teori ini bercerita bahwa negara-negara yang kaya (berlimpah) akan SDA cenderung mengalami hal-hal buruk. Intinya kepemilikan sumber daya alam yang melimpah cenderung tidak menjadi berkah namun justru akar segala masalah yang membelit negara berkembang. Nah, teori itu kan sangat sesuai dengan keadaan Indonesia, “Kaya Sumber Daya Alam tapi miskin Sumber Daya Manusia”. Logika yang perlu dipertanyakan atas thesis tersebut, apa salah dan dosaku sayang negaraku yang memiliki sumber daya alam berlimpah?

2. Cari data yang akurat

Untuk membuktikan teori tersebut maka kita harus bandingkan antara negara dengan kepemilikan Sumber Daya Alam yang tinggi dengan Indeks Pembangunan Manusianya. Dengan membandingkan dua kriteria tersebut akan dapat kita lihat apakah negara yang memiliki Sumber Daya Alam melimpah sejalan dengan pembangunan manusia di negara tersebut.

Dua tabel di atas menjadi perbandingan yang sangat kasat mata untuk melihat ada atau tidaknya keterkaitan yang erat antara kepemilikan kekayaan sumberdaya dengan keberhasilan pembangunan di sebuah negara. Human Development Index (HDI) merupakan indeks yang menjelaskan tiga dimensi penting dalam pembangunan manusia; pendidikan, kesehatan, dan pendapatan.

Sumberdaya yang tercatat dalam tabel diatas baru sumberdaya berupa hasil tambang. Jika ditambahkan dengan sumberdaya-sumberdaya lain seperti potensi wisata, luas hutan, luas lautan beserta potensinya, tingkat kesuburan tanah, tingkat vegetasi, dan lain-lain barangkali Indonesia masuk dalam urutan 10 besar tersebut.

3. Kontekstualisasikan dengan Keadaan Indonesia

Dari Data diatas sudah sepatutnya kita jangan berkecil hati, karena Kutukan SDA ini tidak kita temukan di Indonesia saja, tetapi di negara-negara Afrika yang kaya sumberdaya-pun banyak yang kondisinya sangat memprihatinkan.

Sebut saja Kongo, Nigeria, Bostwana dll, rakyatnya berkonflik karena berbagai alasan sementara SDA nya diangkut oleh pihak-pihak lain. Indonesia selama berpuluh tahun telah dimanjakan dengan bahan bakar fosil yang jumlahnya begitu melimpah dan menjadi satu-satunya negara non-timur tengah dan negara non-pendiri yang pertama kali bergabung dengan OPEC di tahun 1962.

Pada tahun 1965 setiap hari rata-rata Indonesia dapat menghasilkan sekitar 486.000 barel per hari sementara tingkat konsumsi per hari hanya 122.000 barel. Indonesia memiliki surplus 364.000 barel per hari.

Sayangnya, cadangan minyak selalu berkurang sementara kebutuhan akan bahan bakar selalu naik. Kejayaan ini akhirnya sampai pula pada klimaksnya di tahun 1977. Di tahun ini ekspor minyak Indonesia menurun sampai akhirnya deficit di tahun 2003 hingga saat ini. Saat deficit ini lah pemerintah harus terus-terusan mengucurkan subsidi Bahan Bakar Minyak supaya harganya dapat terjangkau oleh rakyat. Tercatat setiap hari kita membutuhkan devisa sekitar US$ 150 juta atau sekitar Rp 2 triliun untuk menutupi kebutuhan bahan bakar dalam negeri.

Solusi

Nah ini yang paling penting, biar ndak dikata-katain oleh Tim Sukses macam Bang Raja Juli Antoni dan Bung Dahnil Ahzar Simanjutak sebagai tukang kritik tanpa memberikan solusi maka, berikan solusinya sekalian (walaupun sebenarnya sah-sah saja ngritik tanpa ngasih solusi).

Contoh untuk solusi dari permasalahan Indonesia ini adalah, dengan mengutip dari Bang Rhenald Kasali pada tahun 2015 melalui bukunya yang berjudul Change, Leadership Non-Finito menyebutkan bahwa di negara berkembang yang alamnya kaya, korupsinya tumbuh menjamur, pemerintahnya tidak efektif, saling menyalahkan dan kekerasan akibat politik begitu mudah tersulut.

Ternyata, negara-negara yang kaya sumberdaya alamnya cenderung tidak mengembangkan teknologi untuk mengolah sumberdaya alamnya. Mereka sudah merasa cukup puas menjualnya dalam bentuk mentah. Akibatnya industrialisasi dan inovasi produk tidak berkembang dan negara tersebut menjadi sangat bergantung kepada Sumber Daya Alamnya.

Selanjutnya Rhenald Kasali (2016) dalam ‘Reinventing’ mengidentifikasi setidaknya ada dua kesalahan dalam pengelolaan Sumber Daya Alam di Indonesia. Pertama, penemuan cadangan energy membuat bangsa Indonesia seakan-akan kebanjiran energy sehingga memanjakan rakyat dengan harga energy yang murah dan kita-pun terlena hingga perlahan-lahan supply-nya merosot sementara demand terus meningkat. Kedua, para pendahulu kita tidak mengelola pendapatan ekspor migas dengan benar.

Harapan

Menjelang Pilkada Serentak dan Pilpres 2019 menjadi harapan yang besar bagi para Caleg dan Capres kita bisa lebih rajin untuk mengkampanyekan secara massive model-model kampanye yang terkait dengan bagaimana Sustainable Development Goal’s itu bisa menjadi kenyataan di Indonesia.

Kampanye inovatif terkait dengan bagaimana Indonesia bisa melakukan eksplorasi gas alam dengan tenaga kerja dan peralatan sendiri, tentang bagaimana mengembangkan tenaga nuklir di Indonesia sebagai salah satu sumber energi alternative, serta bagaimana caranya membuka ladang-ladang luas untuk menanam panel surya, dan bagaimana caranya agar Indonesia memiliki investasi yang lebih besar untuk mengeksplor energy baru terbarukan (EBT) demi menyiasati cadangan bahan bakar fosil yang kian menipis.

Yang jelas semua alternative itulah yang dibutuhkan oleh Bangsa Indonesia, bukan pertunjukan kebodohan dari para elite politik kita, dan isu-isu receh macam Isu SARA, HOAKS dll.  Kita semuanya sebagai bangsa Indonesia sudah bosan dan muak dengan isu-isu tersebut, kita harus mendapatkan isu-isu yang membawa negara ini bangkit dari kutukan sumber daya alam yang diakibatkan oleh salah urus Sumber Daya Alam di masa lalu.

Ahmad Sholikin
Ahmad Sholikin
Alumni Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif III (SKK - ASM III) dan Penulis di ahmadsholikin.web.ugm.ac.id
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.