Rabu, Oktober 9, 2024

Kala Kekerasan Menjadi Agama

Aksin Wijaya
Aksin Wijaya
Direktur Pascasarjana IAIN Ponorogo

Sebagai orang beragama, ada kegelisahan di benak saya melihat fenomena kehidupan keberagamaan akhir-akhir ini. Tuhan mempunyai sifat salam, ada surga namanya dar al-salam, dan Islam itu adalah agama yang mengajarkan salam (kedamaian), tetapi justru banyak orang Islam melakukan kekerasan dengan menggunakan bahasa agama. Mereka menggunakan berbagai argumen untuk menjustifikasi tindakannya itu. Bagaimana kekerasan agama itu terjadi?

Dalam bahasa agama, manusia dicipta dari dua unsur: tanah-jasadiyah yang merupakan simbol kehinaan, dan ruh ilahi yang merupakan simbol kemulyaan. Dengan dimensi tanah-jasadiyahnya, manusia bisa lebih rendah dari hewan, tetapi dengan dimansi ruhaniyahnya, manusia bisa lebih mulia dari malaikat. Dengan kedua unsur itu, manusia mempunyai dua perasaan dalam hubungannya dengan yang lain: perasaan memusuhi yang lahir dari dimesi tanah-jasadiyahnya dan perasaan mencintai yang lahir dari dimensi ruhiyahnya.

Perasaan memusuhi mendorong orang untuk melakukan agresi sehingga melahirkan kekerasan, sedang perasaan mencintai mendorong orang untuk saling mencintai sehingga melahirkan kedamaian. Kedua perasaan manusia itu mengalami pergumulan terus menerus, dan manusia senantiasa ditarik untuk lebih condong pada salah satu dari kedua perasaan itu.

Dilihat dari sisi kekerasannya, manusia mempunyai dua watak agresi –dorongan melakukan kekerasan–: pertama, agresi lunak, yakni dorongan yang adaptif secara biologis dan berkembang secara revolusioner, yang bertujuan mempertahankan individu dan spesies dari serangan pihak lain; kedua, agresi jahat, yakni agresi destruktif yang bertujuan untuk menyakiti dan membunuh pihak lain.

Perspektif neurologi dalam melihat akar kekerasan yang dilakukan manusia penting karena watak seseorang mempengaruhinya dalam berfikir. Jika seseorang mempunyai watak agresi lunak, dia akan berfikir manusiawi dan tidak akan melakukan kekerasan terhadap pihak lain kecuali dalam keadaan terpaksa, yakni membela diri dari serang agresi pihak lain.

Sebaliknya, dia akan berfikir kaku, keras dan tidak manusiawi jika dia mempunyai watak agresi jahat. Apapun dilakukan untuk menyerang pihak lain, baik mengatasnamakan rasionalitas, agama maupun Tuhan. Selain karena watak manusia itu sendiri, kekerasan juga bisa dipengaruhi oleh faktor eksternal, bisa budaya, ekonomi, politik dan juga bisa agama. Hal itu berhubungan erat dengan bentuk-bentuk kekerasan itu sendiri.

Pada dasarnya ada dua bentuk kekerasan: kekerasan wacana dan kekerasan fisik. Kedua bentuk kekerasan itu saling berhubungan. Yang pertama biasanya sebagai unsur yang mempengaruhi munculnya kekerasan fisik.

Kekerasan fisik bisa lahir dari penguasa dalam bentuk tindakan represif demi mengamankan kekuasaan atau kebijakannya (bisa juga disebut kekerasan struktural), juga bisa lahir dari masyarakat umum yang menuntut keadilan dari penguasa yang menindas dengan melakukan berbagai upaya yang diperkirakan mampu melawan kebijakan yang tidak adil itu, termasuk dengan kekerasan.

Itu berarti, kekerasan bersifat melingkar dan akumulatif (Sunardi). Suatu tindakan kekerasan merupakan rangkaian dari kekerasan lain yang mendahuluinya. Tidak ada kekerasan yang berdiri sendiri.

Selain bersifat melingkar dan akumulatif, fenomena kekerasan ternyata juga mengalami pergeseran. Ketika kekerasan itu menjadi biasa, dan semua orang menjadikannya sebagai pilihan utama dalam menghadapi setiap persoalan yang muncul, maka kekerasan mengalami pergeseran, yakni dari “lingkaran kekerasan ke budaya kekerasan”.

Pada yang pertama, kekerasan pada awalnya sebagai reaksi terhadap aksi sehingga terjadi kekerasan yang melingkar, maka pada yang kedua (budaya kekerasan), kekerasan itu sendiri menjadi aksi dan kreasi yang dipilih dan dilakukan dengan kesadaran oleh masyarakat.

Sejak awal, kekerasan dijadikan sebagai metode, sarana solusi dan kreasi, bukan sebagai reaksi atau pilihan terakhir dalam menyikapi persoalan. Kekerasan dipelajari sebagai cara yang paling efektif untuk mengatur pola hubungan antar manusia dan antar kelompok. Kekerasanpun pada akhirnya mejadi nalar. Bisa dikatakan nalar kekerasan (Abdul A’la).

Jika melihat berbagai peristiwa kekerasan seperti bom bunuh diri yang dilakukan teroris dan ISIS, kekerasan mulai bergeser lagi. Dari nalar kekerasan pada agamaisasi kekerasan, karena mereka melakukan itu atasnama agama. Agama dan masyarakat sebenarnya saling berhubungan. Agama tidak akan ada artinya tanpa masyarakat, karena agama hadir untuk kepentingan masyarakat.

Sementara itu, masyarakat bisa ada tanpa adanya agama, kendati secara faktual, tidak ditemukan adanya masyarakat tanpa agama. Masyarakat tidak hanya menerima agama sebagai pijakan teologis dan sosiologisnya. Masyarakat juga mengatur dan mengendalikan agama sehingga esensi dan eksistensi agama bergantung pada nalar masyarakat. Jika masyarakat terbiasa menggunakan nalar kekerasan, begitu juga agama.

Hubungan simbiosis-mutualistis itu membuat agama tidak hanya hidup dan terjebak dalam “lingkaran kekerasan” dan “budaya kekerasan”, tetapi juga terjebaka ke dalam nalar kekerasan. Sejak awal, agama dijadikan sarana aksi dan kreasi kekerasan. Itu berarti, kekerasan mengalami pergeseran lagi, dari “budaya kekerasan” ke “agamaisasi kekerasan”, yakni kekerasan yang dijustifikasi dengan menggunakan agama dan Tuhan, baik kekerasan wacana maupun kekerasan fisik.

Pada gilirannya, kekerasan agama akan menjadi cara berfikir (nalar), karena nalar merupakan bagian dari budaya yang dibentuk oleh masyarakat (Muhammad Abid al-Jabiri. Jadi, agamapun terjebak ke dalam nalar kekerasan. Agama bukan lagi sebagai penebar kedamaian dan pencegah kekerasan (amar ma’ruf dan nahi mungkar secara bersama-sama). Agama justru menjadikan kekerasan sebagai bagian dari agama.

Kalau sudah begitu, lalu apa yang akan terjadi selanjutnya? Agama menjadi alat kekerasan. Amar ma’ruf dan nahi mungkar tidak lagi berjalan beriringan. Amar ma’ruf melalui cara-cara yang damai digantikan oleh nahi mungkar melalui cara-cara kekerasan.

Aksin Wijaya
Aksin Wijaya
Direktur Pascasarjana IAIN Ponorogo
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.