Sabtu, April 27, 2024

Kala Hatta Bicara Agama

rian wahyudin
rian wahyudin
Pengagum Bung Hatta

Dalam kesempatan ini, saya tidak akan membahas sosok Bung Hatta dari aspek kenegaraan, ekonomi atau politik, sebagaimana yang sering diulas oleh para sarjana dalam maupun luar negeri. Sebaliknya, di sini saya akan mengulas sedikit tentang  sisi lain pemikiran Bung Hatta yaitu aspek agama.

What? Bagaimana bisa, sosok yang dikenal oleh mayoritas rakyat Indonesia sebagai tokoh nasionalis sekuler ini bisa-bisanya menyoal agama?

Memori rakyat Indonesia tentu masih segar untuk mengingat bagaimana Hatta kala itu berusaha mendekati tokoh-tokoh Islam untuk mengubah dan menghapus 7 kata Piagam Jakarta pada frase “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “yang maha esa” yang sekarang tercantum pada poin pertama Pancasila.

Langkah itu telah memunculkan ketegangan yang tak biasa diantara tokoh nasionalis dan tokoh agama.

Meski begitu, apa yang dilakukan Bung Hatta sesungguhnya merupakan upaya dialogis dan jalan tengah agar rakyat Indonesia yang baru saja menghirup udara merdeka tetap bersatu menjadi satu bangsa yang utuh.

Toh pada dasarnya frase “yang maha esa” itu tidak mendegradasi bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam, karena walau bagaimanapun frase itu tetap mengandung nilai-nilai religius.

Sosok yang religius

Tulisan ini bukan usaha penulis untuk islamisasi pemikiran Bung Hatta. Justru saya yang fakir ilmu ini mencoba menggali sisi lain pemikiran Bung Hatta yang jarang dikemukakan. Toh kita sama-sama mengetahui bahwa Bung Hatta beragama Islam dan pernah mondok di surau sewaktu masih berada di Fort de kock atau Bukittinggi dan di Padang.

Sebelum merantau ke tanah Jawa, di samping mengenyam pendidikan formal, Bung Hatta  merupakan santri yang cerdas. Saat di Bukittinggi, Bung Hatta mengaji di bawah asuhan Syaikh Haji Muhammad Djamil Djambek. Di sini Bung Hatta belajar Nahwu, Sharaf, Fiqih dan Tafsir.

Saat berada di Padang untuk melanjutkan pendidikan menengah pertama (MULO), Bung Hatta masih nyantri. Kali ini beliau nyantri kepada Haji Abdullah Ahmad dengan konsentrasi pelajaran agama Islam. Mengenai hal ini, Bung Hatta secara khusus menceritakan pengalaman hidupnya itu di salah satu buku populernya yang berjudul Memoir.

Dalam bukunya itu Hatta menceritakan sepenggal kisah semasa nyantrinya dulu. “Pagi-pagi aku bersekolah, malam hari sesudah magrib aku belajar mengaji di surau Inyik Djambek. Dasar didikan agama ialah belajar mengaji dengan berlagu untuk menanam perasaan agama dalam jiwa anak-anak”.

Cak Nur (sapaan akrab Nurcholish Madjid) pernah mengatakan kalau keislaman Bung Hatta sangatlah substantif. Sedangkan menurut Buya Syafii, Bung Hatta merupakan muslim yang taat, baik dalam tutur kata maupun tingkah lakunya, integritasnya sulit dicarikan perbandingan.

Jadi, kecil kemungkinan kalau Bung Hatta tidak memiliki pemikiran atau pandangan tentang keislaman.

Berangkat dari itu, saya mencoba mengulas kembali bagaimana seorang tokoh nasionalis, pemikir kebangsaan dan pendiri negara ini berbicara soal agama. Apalagi sekarang kebetulan berbarengan dengan hari kemenangan, hari penuh kemuliaan, Idul Fitri. Sangat cocok untuk membahas pemikiran keislaman founding father yang memiliki nama asal Muhammad Athar ini.

Ilmu dan agama

Pemikiran keagamaan Hatta salah satunya ialah pemikiran tentang hakikat ilmu dan agama. Pemikirannya itu tertuang apik dalam sebuah teks pidato ilmiah yang disampaikan Hatta di Universitas Muslim Aligarh pada 29 Oktober 1955.

Teks pidato ini dan beberapa teks pidato Hatta lainnya kemudian bertransformasi menjadi sebuah buku yang diberi nama Islam Masyarakat Demokrasi dan Perdamaian, diterbitkan oleh Tintamas, 1957. Bukunya cukup tua dan langka.

Versi cetakan pertama, Cover Bukunya berwarna cokelat dan kertasnya berwarna kuning, mungkin karena sudah terlalu tua. Bukunya tipis karena isinya cuma tiga bab. Jika anda termasuk pengagum Bung Hatta, buku ini mungkin jadi pelengkap koleksi buku-buku anda tentang Hatta sebelumnya.

Baiklah, kita kembali lagi kepada Bung Hatta sewaktu memberikan pidato ilmiah dihadapan mahasiswa Islam India tadi. Saat itu, Hatta menjelaskan pentingnya ilmu dan agama. Menurutnya, antara ilmu dan agama tak ada distorsi dan jangan dikontradiksi, malah antar keduanya memiliki korelasi yang logis.

Dalam mengawali orasi ilmiahnya itu, Hatta sebelumnya mengajukan satu pertanyaan kepada hadirin. Pertanyaannya kurang lebih seperti ini, “apa udjud tuan belajar kemari?”.

Menurutnya, semua mahasiswa yang datang ke sini (universitas Islam) sudah tentu ada keinginan dalam hati masing-masing untuk mempelajari ilmu pengetahuan di atas dasar pandangan agama.

Hal ini menurutnya wajar. Mungkin Hatta mewanti-wanti bahwa pada zaman itu banyak sarjana yang memisahkan antara ilmu dan agama. Ada semacam trauma sejarah yang pernah dilakukan oleh umat beragama terhadap ilmu pengetahuan sehingga terjadi pemisahan atau belakangan dikenal dengan istilah sekularisme.

Kalau masih ingat cerita Galileo Galilei dan Copernicus yang menolak  doktrin gereja bahwa matahari mengelilingi bumi (geosentris) dan mereka malah mengatakan yang sebaiknya bahwa bumilah yang mengelilingi matahari (heliosentris), akhirnya mereka dieksekusi mati. Inilah awal mula terjadinya sekularisme, ilmu pengetahuan harus dipisahkan dari aspek agama.

Di kalangan sarjana muslim hal ini merupakan suatu ancaman, karena dalam Islam, antara ilmu pengetahuan dan agama tak ada sekat, keduanya saling melengkapi. Salah satu cendikiawan muslim yang getol mengkampanyekan integrasi antara ilmu dan agama ialah Ismail R. Al-Faruqy. Rupanya, pandangan ini juga diindahkan oleh Bung Hatta.

Menurut Hatta, ilmu dan agama memang orientasi dan tujuannya berlainan. Ilmu mengenai pengetahuan, sedangkan agama menyoal kepercayaan. Ilmu berawal dari sikap tidak percaya, sedangkan agama berawal dari sikap percaya.

Pelita ilmu terletak di otak, pelita agama terletak di hati. Ilmu memberi penjelasan tentang suatu masalah yang berhubungan dengan sebab-akibat. Sah tidak sahnya Kebenaran ilmu tergantung dari syarat dari ilmu itu sendiri sehingga kebenaran ilmu bersifat relatif.

Sedangkan percaya adalah pangkal dan tujuan penghabisan dari agama sehingga kebenaran agama bersifat absolut.

Meski ilmu dan agama memiliki orientasi dan tujuan yang berbeda, namun menurutnya agama merupakan datum bagi ilmu. Sebagaimana ilmu yang bisa mempertegas keyakinan beragama.

Singkatnya, Hatta ingin menekankan bahwa ilmu bisa mempertebal keyakinan beragama. Pun dengan agama yang banyak mempengaruhi kemajuan ilmu pengetahuan.

Malah untuk memperkuat pandangannya itu Hatta mengutip kata-kata Albert Einstein yang tertuang dalam bukunya yang berjudul Out of My Life Years. Tak tanggung-tanggung, Hatta mengutip satu paragraf tulisan Einstein itu. Salah satu kutipan yang menarik dan selalu teringat ialah “ilmu tanpa agama lumpuh, dan agama tanpa ilmu buta”.

Di akhir, Hatta menyimpulkan kalau ilmu dituntut bukan untuk sekedar tahu, atau untuk memuaskan keinginan, melainkan alat keselamatan dan perbaikan hidup manusia di dunia ini.

Wallahu’lam.

rian wahyudin
rian wahyudin
Pengagum Bung Hatta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.