Sekujur tubuh perempuan itu tertutup rapat dibalut kain hitam. Hanya tatapan matanya yang sayu terlihat jelas akibat diterpa nasib tak menentu. Meski nada bicaranya lancar tapi bercak putih di kain penutup wajahnya menyiratkan bagaimana kondisi kehidupannya kini di Kamp pengungsian kelompok ISIS di Al-Hol, Provinsi Al-Hasakah, Suriah. Kota yang berjarak sekitar 20 km dari pusat kota Al-Hasakah.
Bersama dengan keempat anaknya, perempuan yang mengaku bernama Mariam ini memohon ke Pemerintah agar dapat kembali ke Bandung, Jawa Barat seperti dalam video yang dirilis Tirto.ID, pada akhir Maret lalu. Mariam mengaku suaminya bernama Saifuddin raib bersama dengan kekalahan ISIS di berbagai wilayah di Suriah. Kini nasib dirinya bersama anak-anaknya berada ditangan Pasukan Demokratik Kurdi (SDF), yang dimotori milisi Kurdi.
Sementara itu, ribuan kilometer dari tempat Mariam dan perempuan anggota ISIS lain yang memohon pulang, di Sibolga, Sumatera Utara, seorang perempuan simpatisan ISIS meledakan diri beserta anak balitanya. Perempuan 30 tahunan bernama Marnita Sari Boru Hutauruk alias Solimah ini ogah menyerahkan diri meski rumahnya telah dikepung aparat.
Meski suaminya, Asmar Husain alias Abu Hamzah yang dicokok Densus 88 duluan memintanya untuk menyerah, tapi tak ia gubris. Alih-alih melemah, Solimah melempar beberapa bom dari atap rumahnya hingga mengakibatkan seorang polisi terluka. Berikutnya, “boom!”, rumahnya ia ledakan beserta dirinya dan dua anaknya.
Ledakan itu, mampu meruntuhkan rumahnya dan tiga rumah di sekitarnya. Kejadian itu tepat 15 hari sebelum Mariam muncul dengan permohonannya untuk diboyong pulang ke Indonesia.
Peristiwa Sibolga membayang di benak masyarakat Indonesia betapa mematikannya para simpatisan ISIS ini meskipun mereka adalah kaum hawa. Belum lagi peristiwa berdarah di Surabaya periode Mei tahun lalu, yang pelakunya juga kaum hawa.
Akibatnya, sebagian masyarakat Indonesia menolak keras permohonan Mariam dan sekitar 50 lainnya untuk pulang. Masyarakat khawatir, akan muncul Solimah-Solimah lain dari perempuan pro-ISIS yang di Suriah saat ini, jika pulang ke Indonesia. Artinya, Indonesia akan rawan terjadi bom bunuh diri.
Pada posisi ini Pemerintah bak memakan buah simalakama. Yaitu memboyong mereka pulang, salah. Jika membiarkan mereka menanggung derita di negara orang. Toh berangkat ke Suriah itu pilihan mereka sendiri sejak awal bukan?
Tapi jika membiarkan mereka menderita di negara lain, akan muncul pertanyaan di mana rasa kemanusiaan bangsa Ini? Mengapa tak memperdulikan warganya? Toh para pekerja migran ilegal tetap dipulangkan jika bermasalah?
Namun, masalah lain lebih serius juga mengancam keamanan negeri ini, jika memboyong mereka pulang. Gambar dan frakmen-frakmen mengerikan tentang bom di Surabaya dan Sibolga membuat shock masyarakat Indonesia. Betapa gila dan mengerikannya perempuan-perempuan yang membawa anak-anak mereka meledakan diri. Apalagi bagi mereka yang sudah bertekad ke Suriah.
Maka, menghadapi persoalan Mariam dan yang lain itu pemerintah harus melakukan hitung-hitungan serius.
Bila Pemerintah ingin memboyong Mariam dan yang lain pulang, maka lebih dulu wajib memastikan jika mereka benar-benar adalah warga Indonesia. Ini tentu saja tak mudah dilakukan. Sebab kemungkinan besar mereka sudah tak memengang passport kewarganegaraannya. Pemerintah pun akhirnya harus melacak kerabatnya di Indonesia guna memastikan.
Lebih penting lagi, Pemerintah wajib menjamin jika mereka pulang tak akan melancarkan aksi teror seperti kasus di Surabaya dan Sibolga. Mengingat peran perempuan di ISIS saat ini sudah mulai mengalami pergeseran. Dari yang awalnya hanya sebagai pendidik, kurir, propaganda dan penyandang dana, kini mereka juga ikut menjadi pengebom.
Pergeseran peran perempuan pendukung ISIS ini disebut dalam laporan terbaru Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), sebuah lembaga tangki pemikiran di Jakarta. Pada laporan berjudul “The Ongoing Problem of Pro ISIS Cell” itu, selain mencontohkan peran perempuan dalam kasus Surabaya dan Sibolga, IPAC juga mencatat kasus di Sri Langka baru-baru ini. Di mana para pelakunya juga melibatkan kaum hawa dan anak-anak.
Tapi bukan berarti tak ada keuntungan sama sekali jika Pemerintah memulangkan perempuan Indonesia dari kamp Al-Hol. Sebab ada contoh bagus terkait pemulangan warga Indonesia dari Suriah. Kasus pemulangan keluarga Dwi Djoko dari Batam yang bergabung dengan ISIS di Suraih kemudian diboyong pulang, menjadi kemenangan besar Pemerintah dan warga Indonesia.
Sebab setelah pemulangan keluarga Dwi Djoko, Pemerintah memiliki bukti kongkrit untuk mematahkan propaganda pendukung ISIS di Indonesia. Begitu pun dengan Mariam dan perempuan Indonesia lainnya yang tinggal di kamp Al-Hol. Jika mereka benar-benar pulang ke Indonesia, maka mereka harus bisa membantu Pemerintah untuk memerangi propaganda pendukung ISIS di Indonesia.
Mereka bisa menjadi obat mujarab untuk menghambat berlanjutnya peristiwa Surabaya dan Sibolga menjalar ke wilayah lain di Indonesia. Kebutuhan ini menjadi sangat penting terutama setelah kemunculan kembali Khalifa ISIS Abu Bakar Al-Baghdadi pada sebuah video berdurasi 18 menit yang dirilis oleh jaringan media Al Furqan.
Sebab dengan kemunculan pimpinan ISIS ini, timbul kekhawatiran akan membakar semangat para pendukungnya melancarkan aksi sendiri (lone wolf). Terutama aksi seperti yang diterjadi di Surabaya dan Sibolga. Apalagi kemunculan orang nomor satu di ISIS ini bertepatan memasuki bulan Ramadhan. Bulan Suci yang mereka yakini sebagai bulan ladang amal untuk ber”jihad” dengan melancarkan aksi teror.
Maka, jika dengan memboyong perempuan Indonesia di Kamp Al-Hol pulang mampu meredam penyebaran ISIS di Indonesia, tentu sangat layak untuk diperjuangkan.
Tak harus semua diboyong pulang. Cukup mereka yang dipastikan mau membantu Indonesia melawan propaganda ISIS. Meski lebih baik jika mereka semua dapat berpindah barisan bersama Pemerintah melawan kelompok ISIS.
Guna mewujudkan hal itu tentu bukan kerja mudah bagi Pemerintah. Sebab artinya Pemerintah harus lebih dulu benar-benar yakin jika mereka 100 persen berpihak ke Pemerintah. Apalagi kasus mereka berbeda dengan keluarga Dwi Djoko yang melarikan diri dari kelompok ISIS. Mereka ingin pulang karena ISIS kalah perang.
Tapi bagi mereka yang tak mau bersama Pemerintah dan kekeuh mengabdi ke Al-Baghdadi, maka selayaknya juga Pemerintah mengharamkan mereka untuk pulang ke Indonesia. Sebab itu sama saja mereka memilih keluar dari Indonesia. Jika tetap memboyong mereka pulang, bukankah itu artinya membawa bom waktu ke rumah?
Bagi kasus terakhir ini, pemerintah tak perlu bersusah-susah mengeluarkan keringat dan dana untuk mengurusnya.