Saya menduga kuat bahwa pembelotan berjamaah kader DPD Demokrat (Papua, Sumatera Utara, Jawa Barat, Banten dan Sulawesi Utara) ke kubu Jokowi, memang sudah direncanakan secara matang oleh SBY. Bahkan, sayup-sayup terdengar, kader DPD Demokrat di sejumlah propinsi lainnya siap menyusul. Mereka tinggal menunggu momen yang tepat dan sinyal dari SBY.
Dalam analisis saya, pembelotan kader Demokrat yang dilakukan secara terang-terangan ini merupakan ‘kado’ balas dendam SBY terhadap Prabowo yang telah mengkhianati ‘kesepatan politiknya’. Bukan hal yang mustahil dalam hitungan waktu yang sangat cepat, seluruh kader Demokrat akan segera pindah ke Jokowi.
Balas dendam yang dilakoni SBY dan kader Demokrat merupakan tindakan cerdas. Apa sih untungnya bagi Demokrat membelot ke Kubu Jokowi? Kalau Demokrat tetap memaksakan diri mendukung Prabowo, Demokrat tidak akan mendapat keuntunan politik apapun karena AHY lenyap dalam kubu oposisi. Para caleg Demokrat juga akan tenggelam, bila tetap bertahan di kubu opisisi. Sebaliknya, bila SBY dan kader Demokrat mendukung Jokowi, elektabilitas caleg dan parpol Demokrat bisa meningkat di mata rakyat.
Dalam mewujudkan balas dendam ini, SBY dan seluruh kader Demokrat menerapkan teori psikologi Klasifikasi Emosi yang digagasi Krech dalam Minderop (2010). Intisari dari teori ini ialah individu maupun kelompok akan sangat membenci bila dikhianati, baik secara terbuka maupun terselubung. Akibatnya, individu maupun kelompok yang dikhianati akan melakukan tindakan balas dendam secara frontal.
Despacito Politik
Untuk menghindari tekanan dari kubu oposisi, Demokrat sengaja memainkan skenario pembelotan ini secara despacito alias berpolitik secara perlahan atau pelan-pelan. Pembelotan total mungkin akan mencapai klimaksnya, setelah penetapan capres dan cawapres oleh KPU. Jadi, adanya komentar sejumlah pengamat politik yang menyebutkan bahwa Demokrat bermain politik di dua kaki, salah besar. Menghadapi situasi ‘darurat’ dukungan politik dari Demokrat ini , Prabowo pasti panik. Sebaliknya, SBY dan kader Demokrat justru tertawa renyah melihat kubu oposisi dan Prabowo kalang-kabut.
Munculnya pernyataan sejumlah elit politik Demokrat yang mengatakan bahwa para kader Demokrat yang membelot tidak akan mendapatkan sanksi apapun dan hanya diberikan dispensasi, itu cuma akal-akalan politik Demokrat untuk menutupi balas dendam. Pertama dalam sejarah kehidupan berpolitik di Indonesia, istilah dispensasi politik muncul. Jujur saja, tidak ada istilah dispensasi dalam sistem politik. Ini sangat memalukan dan aneh bin ajaib.
Lantas, pertanyaannya ialah pengkhianatan apa sih yang dilakukan Prabowo sehingga membuat SBY begitu ‘sakit hati’dan nekad melakukan balas dendam. Dalam pandangan saya, ada tiga penghianatan yang dilakukan Prabowo terhadap SBY yaitu:
Pertama, Prabowo mengingkari komitmen politik rahasia (Prabowo dan SBY) dari hasil pertemuan pertama mereka berdua. Kemungkinan besar, Prabowo saat pertemuan itu sudah sepakat di hadapan SBY untuk menjadikan AHY sebagai cawapresnya. Tapi faktanya, Prabowo justru memilih Sandiaga Uno. Pilihan Prabowo terhadap Sandiaga Uno ini, bukan hanya mengkhianati SBY, tetapi juga PKS dan PAN yaitu Prabowo menolak rekomendasi cawapres yang dihasilkan oleh ijtima ulama.
Kedua, munculnya nama Joko Santoso untuk menjadi Ketua timses/tim pemenangan/kampanye di kubu oposisi, membuat SBY semakin kecewa berat. Padahal, SBY mengharapkan AHY menempati posisi itu. Lagi-lagi Prabowo berkhianat. AHY bukan hanya gagal menjadi cawapres, tetapi juga ditolak menjadi Ketua timses Prabowo-Sandi. Sakit hati SBY pun semakin lengkap.
Ketiga, ‘nyanyian’ Waksekjen Demokrat Andi Arif di twitter soal uang mahar Sandiaga Uno sebesar Rp 1 triliun untuk PKS dan PAN, menambah kesempurnaan sakit hati SBY. Ayah AHY ini merasa dirinya ‘ditusuk’ dari belakang oleh Prabowo. Bahkan, kabarnya, uang Rp 1 triliun itu sengaja digelontorkan Sandiaga Uno untuk PKS dan PAN agar mereka membegal pencalonan AHY sebagai cawapres Prabowo.
Rakyat Cerdas
Pengkhianatan Prabowo jelas menjadi salah satu alasan penting bagi rakyat untuk tidak memilih Prabowo dalam pilpres 2019 mendatang, karena Prabowo dinilai sebagai sosok yang tidak amanah. Sungguh sangat berbahaya bila seorang pemimpin mempunyai sifat pengkhianat.
Di sisi berbeda, elektabilitas Prabowo-Sandi mungkin akan anjlog. Rakyat semakin cerdas dan tidak bisa lagi dibohongi dengan berbagai ‘gaya dan pernyataan’ politik mereka. Prabowo-Sandi acapkali mengatasnamakan rakyat ketika mengeritik pemerintah. Contohnya ialah melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar (politisasi rupiah). Padahal, melemahnya kurs rupiah terjadi secara global dan bukan hanya menimpa Indonesia. Selain itu, celoteh berkepanjangan soal harga telor, cabe dan tempe yang disebut-sebut dikeluhkan oleh emak-emak merupakan bentuk generalisasi isu. Faktanya, sampai hari ini, rakyat termasuk emak-emak adem-ayem saja dan masih enjoy berbelanja di pasar.