Sabtu, Oktober 5, 2024

Kacang Rebus dan Cinta Seorang Anak

Sanna Sanata
Sanna Sanata
Dukung saya agar bisa terus menulis dengan membeli produk-produk di linktr.ee/tokosaya

Saya tidak ingin mengganggu anak-anak saat mereka sedang asik dengan imajinasinya. Sebagian besar dari kita menyapa atau mencubit pipinya, bahkan tanpa saling mengenal saat menjumpainya di jalan.

Atau terkadang orang tua dari si anak menyuruh berkenalan, bersalaman dengan kita saat mereka sedang asik bermain. Sebuah usaha yang baik, akan tetapi itu membuat anak terganggu. Itu adalah sebuah dilema bagi orang tua. Mana yang harus didahulukan, beretika dengan menyapa orang lain atau mengembangkan imajinasinya.

Jika saya menjadi orangtua yang memiliki anak, saya cukup memperkenalkan anak saya tanpa menyuruhnya datang berkenalan. Menurut saya imajinasi lebih penting bagi anak sebagai bekal kehidupannya di masa depan.

Sampai suatu ketika seorang anak perempuan tiba-tiba datang di sampingku, ia menghentikan langkahnya setelah melewati kerumunan dan melihat di depannya penuh orang.

Saat itu saya sedang menonton Pesta Boneka, sebuah festival internasional yang diselenggarakan oleh Papermoon Puppet Theatre di dusun Kepek, Bantul. Ia tanpa sengaja menyenggol kacang rebus yang dibawa oleh teman saya. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi tak satu kata pun keluar dari mulutnya.

Teman saya mengajaknya berbicara dengan bahasa inggris, ia memang berwajah bule, alhasil ia malah kebingungan. Anak yang tiba-tiba datang ini sedang tidak berimajinasi jadi saya punya alasan “mengganggu” untuk berinteraksi dengannya.

Dugaan saya, ia tidak enak hati kepada kami karena sudah membuat kacang rebus kami sedikit berantakan tersenggolnya. Jika itu sebuah kesalahan, walaupun tidak disengaja seharusnya ia meminta maaf.

Tetapi ia hanya seorang anak kecil, berumur kira-kira lima atau enam tahun, tidak pantas jika kita menuntutnya meminta maaf. Bagaimana jika ia belum diajarkan meminta maaf? Inilah saatnya saya berkontribusi membuat dunia baru untuknya. Sebuah dunia yang bisa membangkitkan imajinasinya kelak. Kalaupun ia sudah diajarkan meminta maaf, ini akan menjadi hal baru baginya.

Saya tidak mungkin memberi ceramah kepadanya di tengah-tengah festival. Yang saya lakukan adalah memberikan sudut pandang lain, bahwa kesalahan adalah milik kami karena menaruh kacang rebus di tempat yang seharusnya bisa menjadi tempat duduk penonton festival.

“Maaf, ya,” sambil melempar senyum kepadanya saya meminta maaf. Bersamaan dengan adiknya datang yang juga anak perempuan, ia membalas senyum berbalut tatapan heran. Lalu saya menawarinya kacang rebus, “Ini kacang rasa cokelat, lho. Mau, enggak?” saya mencoba menarik perhatiannya. “Ah, masa kacang rasa cokelat sih?” sambil malu-malu ia bertanya karena penasaran. Saya mengupas kacang rebus lalu menyodorkan kepadanya, “ini, coba saja kalau tidak percaya,” saya juga menawarkan kacang kepada adiknya. “Kok enggak rasa cokelat?” begitulah protesnya, tetapi ia tetap lahap memakan kacang rebus.

Sambil menikmati kacang yang saya kupas, ia sering melihat layar ponsel milik teman saya, ia meminta berswafoto yang ada gambar anjing di mukanya. Ia juga melihat ke belakang mencari ibunya, saya minta ia membawakan kacang untuk ibunya. Ia tampak kebingungan.

Saya mencontohkan membawa kacang dengan menggenggamnya. Ia mengikuti caraku menggenggam kacang dengan kedua tangannya lalu beranjak menuju ibunya. Sewaktu kembali ke tempat duduknya, ia bertanya “Emang kacang ini darimana?” Saya jelaskan bahwa kacang ini berasal dari “pohon kacang.” “Apa? Pohon kacang? Emangnya dari pohon, ya?” ia seperti tidak percaya.

Teman saya ingin segera berpamitan, karena ia ada urusan di rumahnya. Sebelum pulang ia mememenuhi permintaan anak itu untuk foto. Tetapi sayang sekali, waktu mau menekan tombol jepret gambar, lampu seketika mati dan kita tidak diijinkan menyalakan ponsel karena pertunjukan akan segera dimulai.

Temanku lalu berpamitan kepadaku, kepada anak itu dan adiknya yang lebih pendiam. Lantas kami bertiga menikmati pertunjukan, kedua anak itu sambil makan kacang rebus dari tangan saya yang sudah saya kupas. Sesekali ia bertanya kepada ibunya yang telah beranjak tempat duduk, tentang pertunjukan yang sedang berlangsung.

Di tengah pertunjukan, kacang rebusnya habis. Ia hendak mengambil kacang di tangan saya tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa. Saya kira ia terus mencari kacang rebus di tangan saya, ternyata tangan mungilnya lalu menggenggam tangan saya, kepalanya ia sandarkan di lengan saya.

Saat itu saya merasakan sebuah energi datang, rasanya sulit dijelaskan dengan kata-kata, yang jelas itu adalah sebuah energi positif karena memberikan saya kehangatan. Saya menyukai keadaan saat itu. Namun saya tidak membiarkan tangannya lama menggengam tangan saya, karena saya takut membebaninya. Saya membalikkan tangan saya sehingga ada diatas lalu perlahan melepaskan tangannya.

Saya bilang “Kacangnya sudah habis. Yuk, kita kumpulin sampah kulit kacangnya” Gelas plastik wadah kopi saya yang telah habis menjadi tempat sampah sementara. Saya pun mengubah posisi duduk saya dengan memeluk kaki saya sendiri yang saya lipat, karena ia masih mau bersandar.

Dari sekian banyak anak yang sudah saya kenal akrab, sebuah hal yang biasa ketika mereka memeluk, gelendotan atau minta digendong. Anak ini baru saya kenal, saya takut ia tidak mendapatkan kehangatan seperti yang saya berikan melalui kacang rebus. Saat ia pulang, saya takut ia tidak mendapatkannya. Kepada anak-anak lain yang saya kenal, saya mengajarkan mengupas kacangnya sendiri. Di festival ini hal itu tidak memungkinkan.

Saya ingin mencintai semua anak-anak apapun kondisinya. Karena saya menyadari mengubah perilaku orang dewasa dalam kondisi bangsa yang kacau ini sangat sulit. Anak-anak lah yang kelak akan mengubah dunia ini menjadi lebih baik.

Saya bukan guru, bukan juga orang tua yang memiliki anak. Saya tidak berharap mereka menjadi orang yang “terpandang” di mata masyarakat. Saya juga tidak menuntut dan membebani mereka sesuatu, karena saya bukan siapa-siapa. Yang bisa saya lakukan hanya memberikan imajinasi kepada mereka.

Setiap hari mereka bisa menggali memorinya, di sana tersimpan banyak imajinasi sehingga mereka bisa berterima kasih, meminta maaf, menjaga lingkungan, dan memberikan kehangatan kepada orang lain. Saya yakin dengan kemampuan anak yang berbeda-beda, yang dibutuhkan hanyalah kasih sayang bukan banyak tuntutan.

Cinta yang paling tulus itu cinta kita kepada anak-anak. Tentu ketulusan itu bersyarat, yakni tidak mengharap apapun dari mereka. Cinta memang tidak bersyarat, tetapi ketulusan harus dibuktikan dengan syarat tersebut. Ketulusan tidak bisa dengan sengaja diperlihatkan kepada orang-orang, hanya pemberi ketulusan dan penerimanya lah yang bisa merasakannya.

Saat pertunjukan berakhir, tanpa berkata apapun ia menatapku karena diajak pulang ibunya. Saya hanya melempar senyum. Ia lalu pergi tanpa lambaian tangan.

Sanna Sanata
Sanna Sanata
Dukung saya agar bisa terus menulis dengan membeli produk-produk di linktr.ee/tokosaya
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.