Selasa, Mei 6, 2025

Judges Sequestration, Independensi Hakim dan Imparsialitas

Fauzan Muzzaki
Fauzan Muzzaki
Mahasiswa Program Studi Doktor Hukum Universitas Jayabaya
- Advertisement -

Judicial independence merupakan pilar fundamental dalam menegakkan keadilan dan supremasi hukum di sebuah negara. Bayangkan, jika hakim tidak bebas dari intervensi politik, opini publik, atau kepentingan pribadi, maka setiap putusan yang diambil akan terpengaruh oleh faktor eksternal yang bisa merusak integritas proses peradilan. Dalam konteks ini, peran hakim sebagai penjaga keadilan menjadi sangat krusial—mereka harus dapat membuat keputusan murni berdasarkan fakta dan ketentuan hukum yang berlaku, tanpa adanya tekanan atau pengaruh luar.

Dalam sistem demokrasi modern, keberadaan peradilan yang independen juga berfungsi sebagai mekanisme penyeimbang antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Prinsip checks and balances yang diterapkan menjamin bahwa tidak ada satu lembaga pun yang dapat menyalahgunakan kekuasaan. Namun, seberapa sering kita merenungkan bahwa tanpa adanya jaminan independensi tersebut, risiko intervensi dari kekuasaan lain akan semakin meningkat?. Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum bisa tergerus, yang pada akhirnya mengancam keberlangsungan supremasi hukum.

Attila Bado (2014) dalam bukunya “Fair Trial and Judicial Independence” menekankan bahwa independensi hakim adalah fondasi utama peradilan. Namun, seiring kekuasaan yudikatif semakin besar, transparansi dan akuntabilitas juga harus dijaga. Pengawasan yang efektif sangat penting agar kekuasaan tidak disalahgunakan (Bado, h. 4).

Apakah kita bisa membayangkan sistem hukum tanpa mekanisme pengawasan yang handal?. Bagaimana kepercayaan publik dapat tetap utuh jika hakim dan institusi peradilan mudah terpengaruh oleh faktor eksternal?. Di negara-negara dengan korupsi tinggi dan pengawasan yang lemah, masalah ini nyata adanya. Transparency International mencatat bahwa korupsi dalam sistem peradilan merupakan hambatan utama akses publik terhadap keadilan. Hal ini menjadi perhatian bersama, terutama ketika setiap orang mengharapkan perlindungan hukum yang adil dan tidak memihak.

Contoh kasus di Indonesia, seperti beberapa Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang melibatkan hakim—misalnya dalam kasus suap bebasnya terdakwa Gregorius Ronald Tannur—menunjukkan lemahnya pengawasan yang ada. Kasus-kasus tersebut tidak hanya mencoreng kredibilitas peradilan, tetapi juga memunculkan pertanyaan kritis: sejauh mana sistem hukum kita mampu melindungi hakim dari pengaruh eksternal yang merugikan?. Jika kondisi ini berlanjut, independensi peradilan akan tergerus, dan cita-cita keadilan yang ideal akan semakin jauh dari kenyataan.Untuk menghadapi tantangan ini, kita bisa mempertimbangkan konsep judges sequestration. Konsep ini menganjurkan agar hakim diisolasi dari pengaruh eksternal selama persidangan, sehingga mereka dapat fokus pada fakta dan menerapkan hukum secara murni tanpa gangguan.

Di sistem common law, terdapat mekanisme serupa, yaitu jury sequestration, yang berfungsi melindungi juri dari tekanan media atau opini publik agar putusan tetap objektif. Seperti yang diungkapkan oleh Bado, “Like judges, juries are required to remain impartial and independent when deciding a case. Impartiality involves two key dimensions: first, the tribunal must be free from any personal bias or prejudice on a subjective level. Second, from an objective perspective, it must provide adequate assurances to eliminate any reasonable doubts regarding its impartiality (Bado, h. 113)”. Bado mengajak kita untuk menyadari bahwa menjaga ketidakberpihakan, baik secara subjektif maupun objektif, adalah kunci untuk mencapai keadilan yang sejati.

Mike McConville (2020) dalam “The Myth of Judicial Independence” menyatakan, “We must remain vigilant against the slightest encroachment on judicial independence, not because judicial independence represents some traditional flummery, but because without an independent judiciary the rule of law would collapse (h. 19)”. McConville mengajak kita selalu waspada terhadap segala bentuk pengaruh yang bisa merusak integritas peradilan. Bukankah adil jika hakim bekerja tanpa tekanan eksternal yang mengganggu objektivitas?. Menjaga independensi peradilan jelas sangat penting untuk mempertahankan kepercayaan publik dan stabilitas sistem hukum.

Untuk menghadapi erosi kepercayaan publik, konsep judges sequestration muncul sebagai solusi strategis dengan mengisolasi hakim dari tekanan politik dan publik. Dengan cara ini, setiap keputusan dapat diambil semata-mata berdasarkan fakta dan prinsip hukum, tanpa terganggu oleh opini eksternal. Mekanisme ini mirip dengan jury sequestration yang diterapkan di sistem common law, di mana juri dijaga agar tidak mengetahui opini komunitas. Jeffrey Abramson (1990) dalam “We, the Jury” mengingatkan, “we often sequester juries to prevent members from even learning the community’s opinions about a case (h. 192)”.

Oleh sebab itu, Implementasi sequestration bagi hakim dalam konteks sistem hukum civil law sangat urgent dan relevan. Mengingat hakim, sebagai penjaga keadilan, berperan vital dalam penegakan hukum secara objektif. Di tengah arus informasi dan tekanan dari berbagai pihak, keputusan mereka rentan terhadap pengaruh eksternal yang dapat mengaburkan penilaian objektif. Dengan judges sequestration, hakim akan mendapatkan ruang kerja yang terisolasi dari tekanan politik dan publik, sehingga mereka bisa fokus pada analisis fakta dan penerapan hukum yang murni.

Tak hanya itu, peran deliberasi kolektif dalam proses peradilan juga memiliki nilai yang sangat tinggi. Jeffrey Abramson menekankan bahwa “the essence of a juror’s duty is deliberation, a process that requires face-to-face conversation aimed at persuading others or being persuaded (Abramson, We, the Jury, h. 205)”. Dengan dialog yang intens dan terbuka, para pengambil keputusan dapat menantang prasangka yang ada dan mengevaluasi bukti secara kritis. Proses ini, yang mengedepankan diskusi rasional, mampu menghasilkan putusan yang benar-benar mencerminkan keadilan. Bayangkan, jika setiap keputusan di ruang sidang didasari oleh dialog terbuka dan objektif, betapa besar pula kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan!.

- Advertisement -

Reid Hastie, Steven Penrod, dan Nancy Pennington (1983) dalam “Inside the Jury” menegaskan bahwa deliberasi harus menyeimbangkan berbagai bias. Mereka menuliskan, “Jury deliberation should foster the correct application of common sense to these facts. This includes the counterbalancing of various biases… (h. 4)”. Hastie dan kawan-kawan mengajak kita untuk menyadari betapa pentingnya keberagaman pandangan juri atau hakim dan keseimbangan dalam setiap pengambilan keputusan mereka.

Sekarang, bayangkan jika prinsip yang sama diterapkan dalam sistem civil law. Panel hakim dapat lebih objektif untuk mencapai putusan yang adil dan memberikan perspektif otentiknya guna mengimbangi bias individu dan kelompok. Sehingga keputusan yang diambil benar-benar didasarkan pada fakta dan logika—mirip dengan bagaimana juri mengaplikasikan common sense dalam deliberasinya. Apalagi, dengan menerapkan mekanisme judges sequestration untuk mengisolasi hakim dari pengaruh eksternal, kita tidak hanya melindungi independensi hakim, tetapi juga memperkuat imparsialitas keadilan.

Fauzan Muzzaki
Fauzan Muzzaki
Mahasiswa Program Studi Doktor Hukum Universitas Jayabaya
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.