Dua tahun lalu, saya memiliki kesempatan mewah bisa mewawancarai Joshua Oppenheimer, sutradara kawakan berkebangsaan Amerika yang tenar karena filmnya menuai kontroversi hebat di Indonesia: “Jagal” dan “Senyap”. Dua film yang sama-sama mengangkat isu ‘65 dan dianggap sebagai antidote terhadap film lawas dan wajib tonton berjudul “Pengkhianatan G30S/PKI” yang konon pemroduksiannya dipesan dan disponsori penguasa Orde Baru.
Salah satu pertanyaan yang saya ajukan pada Joshua dalam wawancara itu—dan ini pertanyaan yang paling saya ingat sampai saat ini—adalah: apakah baginya, film (Jagal dan Senyap) sebagai medium, bisa sepenuhnya menggambarkan dan menghadirkan secara utuh kenyataan yang jauh di masa lalu.
Joshua menjawab tegas, tidak bisa. Dia menyadari bahwa film hanyalah film. Film hanyalah sebuah representasi. Ya, sekadar representasi!
Dan, kita semua tahu, tak pernah ada representasi yang sempurna dan lengkap di dunia ini. Dalam setiap representasi, selalu terdapat proses interpretasi, pemaknaan, tafsir, fiksasi, dan bahkan seleksi, sehingga mengakibatkan realitas atau kenyataan yang ditampilkan—baik itu dalam koran, televisi, film, dan lain sebagainya— sedikit banyak, mengalami ’distorsi’, tercemar, dan tidak perawan lagi. Itupun kalau kita masih percaya akan adanya suatu realitas yang murni, realitas pertama yang belum tersentuh sama sekali oleh konsepsi pemahaman manusia.
Saya terus terang tertarik dengan jawaban Joshua. Bagi saya, jawaban itu merupakan bentuk “kerendah-hatian intelektual” Joshua dalam memahami bulat-lonjong sejarah yang seringkali tak pernah benar-benar jelas konfigurasi dan bentuknya. Kesadaran Joshua yang menganggap film adalah sekadar representasi, merupakan sikap yang perlu diapresiasi. Saat film dianggap sekadar representasi, itu berarti film menjadi bagian dari “site of strunggle”, situs pertarungan atas pelbagai wacana, termasuk dalam hal ini wacana sejarah yang selalu diperebutkan kebenarannya. Sehingga kita tak perlu lagi khawatir, narasi dan kebenaran sejarah hanya akan menjadi monopoli penguasa.
Kesadaran Joshua, yang saya tahu dari wawancara dua tahun lalu itu, entah kenapa tiba-tiba mengingatkan saya pada instruksi Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang ramai dibincangkan publik belakangan ini.
Akhir-akhir ini, seperti luas diberitakan media, Gatot menginstruksikan pemutaran kembali film “Pengkhianatan G 30 S/PKI” dengan alasan agar kita tidak melupakan sejarah. Bahkan, Gatot dengan serampangan, mengutip-ngutip slogan populer Soekarno, “Jas Merah” (Jangan Sesekali Melupakan Sejarah).
Bila dinilai sepintas, instruksi Gatot barangkali ada benarnya. Belajar memahami sejarah memang penting dan perlu, agar kita bisa mengambil pelajaran dan hikmah, serta terhindar dari potensi jatuh ke lubang persoalan yang sama—baik di masa sekarang ataupun di masa yang akan datang. Sejarah bisa menjadi suluh, yang bisa kita pegang untuk memandu dan membantu menerangi perjalanan kita sebagai manusia yang berbangsa dan bernegara.
Akan tetapi, kalau kita mau sedikit berpikir kritis, mengapa untuk mengenal sejarah, terutama sejarah ‘65, Gatot hanya menginstruksikan untuk kembali menonton satu film yakni film “Pengkhianatan G 30 S/PKI”? Bukankah film yang mengangkat isu ‘65 sudah mulai banyak bermunculan? Mengapa Gatot tak menginstruksikan untuk menonton semua film yang ada?
Di sini, instruksi Gatot sebenarnya tidak dilandasi argumentasi yang kokoh dan solid: mudah dibantah dan dipersoalkan. Di balik instruksinya yang seolah-olah luhur dan netral, mudah ditangkap adanya kepentingan-kepentingan yang diselipkan.
Terkait film, Gatot juga seolah-olah memandang film sebagai medium yang bisa sepenuhnya menggambarkan dan menghadirkan kenyataan di masa lalu. Dan, satu-satunya film yang mampu menggambarkan secara objektif sejarah ‘65, baginya, hanyalah film yang direkomendasikannya itu. Sementara, film-film yang lainnya, tak objektif, tak perlu ditonton, bahkan dianggap berbahaya karena bagian dari propaganda kebangkitan kembali komunisme, sebuah paham yang masih dilarang di Indonesia.
Bagi yang belajar kajian teks, akan lekas dan mudah memahami logika Gatot Nurmantyo dalam memandang dan memperlakukan film. Dalam kajian teks, setidaknya terdapat tiga paradigma melihat teks/bahasa (Hikam dalam Eriyanto, 2001). Film, bagaimanapun juga bagian dari “teks”, karena melibatkan penggunaan bahasa di dalamnya. Pertama, paradigma positivisme. Paradigma positivisme memandang bahasa seperti layaknya “cermin”, yang sepenuhnya bisa memantulkan atau merefleksikan kenyataan—sejauh bahasa digunakan dengan tepat (dalam arti benar secara gramatikal) dan logis. Kenyataan yang dipantulkan melalui bahasa dianggap sama persis dengan kenyataan aslinya.
Kedua, paradigma konstruktivisme/interpretive. Bahasa dianggap bukan hanya sekedar alat yang bisa memantulkan kenyataan. Paradigma ini lebih menekankan pada faktor subjek. Sederhananya, kenyataan yang sama bisa dipersepsi secara berbeda-beda oleh subjek. Sebab, kenyataan, ketika ditangkap dan dihayati oleh subjek, akan selalu mengalami proses interpretasi, pemaknaan, yang tentu saja bersifat subjektif. Sehingga implikasinya, kebenaran dari kenyataan dalam paradigma konstruktivisme, dipandang selalu bersifat relatif.
Ketiga, paradigma kritis. Paradigma kritis selangkah lebih maju dari paradigma konstruktivisme karena sampai mempertanyakan aspek relasi-kuasa (power relation) di balik proses pemaknaan yang dilakukan subjek atas kenyataan. Paradigma kritis menegaskan bahwa subjek meskipun bisa menafsirkan kenyataan, tetapi tidak bisa semau-maunya sendiri, karena dipengaruhi oleh struktur dan kekuatan-kekuatan sosial di lingkungannya. Sebab itu, paradigma kritis menyelidiki relasi-kuasa di balik proses tersebut.
Dari pemetaan paradigma di atas, kita tahu Joshua tak seperti Gatot dalam memandang dan memperlakukan film. Joshua tampak berpijak dan mengambil semangat dari paradigma konstruktivisme (atau bahkan kritis). Dia menyadari sepenuhnya film hanya sekadar representasi. Satu representasi, bisa diadu dan dikontestasikan dengan representasi-representasi yang lainnya. Sehingga kebenaran dari suatu kenyataan yang ditampilkan dalam dan melalui film, pada akhirnya, selalu bersifat relatif.
Sementara, logika Gatot dalam memandang dan memperlakukan film, kental bernuansa semangat positivistik. Dia tampak begitu haqqul-yakin bahwa film bisa sepenuhnya menggambarkan dan menghadirkan kenyataan di masa lalu. Bagi Gatot, seolah-olah, film “Pengkhianatan G 30 S/PKI” adalah kebenaran absolut dari kenyataan sejarah ‘65. Yang terjadi di tahun ’65, ya seperti ditampilkan di film “Pengkhianatan G 30 S/PKI” itu. Sudah. Titik. Tidak boleh ada yang membantah apalagi merubah kebenaran sejarah seperti ditampilkan dalam film besutan Arifin C. Noer tersebut.
Tapi dari sikap Gatot yang demikian, kita menjadi semakin tahu dan sadar, Gatot menunjukkan secara vulgar dan mewarisi tabiat sebagian besar para pendahulunya di militer: mereproduksi, dan terus mereproduksi, narasi sejarah dominan versi penguasa (Angkatan Darat), yang belakangan terbukti keropos dan banyak mengandung kesesatan-kesesatan []