Presiden Joko Widodo Rabu sore pukul 17.45, 6 Maret usia kerja naik KRL dari Tanjung Barat, Jakarta Selatan menuju Bogor. Bukan tanpa alasan naik KRL ke Bogor di jam sibuk. Dari hasil desak-desakan, Jokowi mendapat bekal dasar untuk kebijakan.
“Mau bergerak saja tidak bisa, terutama yang dari Jakarta ke Depok itu…” Dalam gerbong banyak yang menyampaikan kepada Jokowi “Pak, tambah keretanya, Pak, atau “Pak, tambah gerbongnya, Pak” (detiknews Rabu, 6/3/2019).
Presiden Joko Widodo tidak dikawal secara ketat sat naik KRL Jakarta-Bogor. Jokowi hanya dikawal Komandan Paspampres, Mayjen Maruli Simanjuntak. “Cuma berdua”, ujar Maruli kepada jurnalis yang menghubunginya. Permintaan langsung Jokowi naik KRL tanpa pengawalan ketat Paspampres, karena ingin berbaur dengan masyarakat.
Ini bukan pertama kali Jokowi naik KRL. Saat menjabat Gubernur DKI, juga pada hari Rabu, 28/8/2013, Jokowi naik commuter line tidak eksklusif dari stasiun Manggarai sampai stasiun Jatinegara (Tribunnews.com). Sudah sejak gubernur, Jokowi memang suka blusukan, dan merakyat. Siapa yang melihat dengan mata dan kepala, membenarkan. Siapa yang berpikir tentang Jokowi naik KRL mencari-cari alasan untuk memberi komentar “miring” lagi nyinyir.
Di atas KRL Jokowi bisa berbincang dengan rakyat seperti itu. Jokowi menerima informasi utuh, langsung, apa adanya. Inilah hasil dekat dengan rakyat. Inilah presiden yang merakyat. Bukan pertama kali Jokowi berbincang bersama rakyat dengan kondisi asli. Jokowi pernah bersama rakyat sambil berbincang Jokowi bersama rakyat yang berpakaian sederhana duduk di atas akar pohon, mendengar bagaimana kehidupan mereka yang tinggal di Kabupaten Belu. Kabupaten Belu merupakan kabupaten terdepan, berbatasan langsung dengan negara Timor Leste.
Jokowi turun langsung ke tengah sawah (berlumpur). Jokowi menggulung kaki celana, mencopot sepatu kets, berbicara dengan petani yang sedang bekerja. Ini pun merakyat, bukan pencitraan. Jokowi di Semarang, saat banyak orang sedang enak-enak tidur pada tengah malam, dengan ditemani sopirnya Jokowi langsung bertemu dengan para nelayan yang tinggal di Utara Semarang. Merakyat seperti ini, bisa memperoleh masukan asli, utuh, jujur dari rakyat.
KRL bertingkat, suatu saat
Teringat ketika pertama kalinya kereta api uap komersial dibuka di Inggris tahun 1825, di mana kereta api uap telah memicu sebuah revolusi transportasi melintasi dunia. Kuda besi baru ini tiba-tiba mengubah industri. Dalam waktu beberapa puluh tahun, kereta api mengubah baik wajah kota maupun perdesaan untuk selamanya. Ketika sistem kereta listrik diperkenalkan pada akshir abad ke-19, penduduk di kota-kota besar dapat bepergian jauh dan lebih cepat daripada sebelumnya.
Tetapi, begitu mobil pribadi tersedia secara luas, mobil mengalahkan kereta api. Di Amerika Serikat, perubahan itu berlangsung dalam satu generasi. Pemerintah-pemerintah negara lainnya mulai menggenjot anggaran membangun jalan raya. Menjelang tahun 1970an-1980an terjadi semacam “perlombaan” dunia untuk mempunyai mobil, termasuk di negara-negara berkembang, seperti Indonesia. Padahal kemampuan masyarakat dilihat dari daya beli membeli mobil, tidak merata, alias mobil hanya mampu dibeli kalangan elite.
Satu hal penting untuk diingat. Tanpa investasi yang memadai untuk membangun infrastruktur perkeretaapian, banyak pemerintah melewatkan peluang kondusif dan penting untuk menguatkan perekonomian negaranya, dan melindungi lingkungan (ekologi). Amerika Serikat mengubah 5 (lima) persen mengemudi di jalan raya menjadi perjalanan menggunakan kereta listrik antarkota, ternyata mampu menghemat 160 juta barel minyak setiap tahun.
Di Inggris, setiap ton barang yang dipindahkan dari jalan raya ke jalur kereta api, jumlah karbon yang dikeluarkan per kilometer akan turun sebanyak 88 persen. Ini berarti Inggris turut menyumbang untuk menurunkan pemanasan global.
Selain efek positif pada dimensi ekonomi dan ekologi, kereta api memiliki manfaat-manfaat sosial. Pelayanan kereta api menyenangkan. Tepat waktu berangkat dan tiba. Naik kereta api penumpang merasa tenang. Kereta api dapat meningkatkan mutu kehidupan di kota-kota besar dan memberikan kesempatan bepergian kepada orang-orang yang tidak mampu menyetir mobil (Lester R Brown, at all: 1999).
Pembangunan infrastruktur seperti jalan raya, jalan tol, fasilitas perkeretaapian, pelabuhan, lapangan terbang, bendungan/irigasi amat hebat pada era Jokowi-JK selama tahun 2014-2019. Pembangunan infrastruktur perkerataapian di Sulawesi, Kalimantan, merehabilitasi fasilitas di Sumatera, agar terus digenjot. Besar manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungannya dari ketersediaan fasilitas kereta api.
Kereta api penumpang bertingkat telah beroperasi di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa. Kereta api double decker, mirip bus malam double decker yang melayani penumpang antarkota dan antarpovinsi di pulau Jawa dan pulau Sumatera. Penumpang bus di Jawa dan Sumatera nampaknya makin tertarik dengan bus malam bertingkat.
KRL bertingkat, bisa segera hadir. KRL melayani penumpang antarkota dan antarprovinsi. KRL beroperasi dari Jakarta hingga ke Bogor, Bekasi, Serpong, Parung. Terutama pada jam sibuk pagi hari dan sore hari, khususnya hari kerja suasana yang dialami Jokowi, itulah kondisi KRL kita sejak beberapa saat ini. Penumpang berdesak-desakan, tapi tidak terasa kepanasan (sumuk) terbantu oleh pengatur udara (AC) sentral lumayan sejuk.
Sebagian penduduk di kota-kota yang disebut di atas dengan status karyawan/karyawati, siswa, mahasiswa, pedagang nampak semakin memilih kereta api sebagai alat transpor ke Jakarta dari kota asalnya. Mereka meninggalkan sepeda motor,mobil, memarkir di area sekitaran stasiun untuk naik KRL menuju Jakarta.