Rabu, April 24, 2024

Jokowi dan Rekonsiliasi Plus

Raylis Sumitra
Raylis Sumitra
Presedium PENA 98 (Perhimpunan Nasional Aktivitis 98) Jawa Timur Mantan Jurnalis pengemar kopi

Hajatan demokrasi telah rampung. Mahkamah Kontitusi menolak keseluruhan tuntutan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 02. Tentu saja, banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan Presiden terpilih Joko Widodo di periode 2019-2024.

Ya, pesta telah berahkir. Hiruk pikuk dukung mendukung, pro-kontra, hujat dan puji, mulai meredah dijagat media sosial. Digantikan dengan pesan-pesan yang bertemakan persatuan. Menatap ke depan untuk melanjutkan kembali perjalanan kehidupan berbangsa.

Ingatan sebagai bangsa Indonesia menjadi trend issue media sosial. Tentunya dengan kapasitas pengolahaan idiom yang bervariatif. Tergantung motifasi individu dalam memahami Pilpres 2019 ini.

Namun secara konseptual semangat para nitizen saat ini, pada upaya persatuan. Yaitu harapan kehidupan berbangsa Indonesia. Yang dibangun atas dasar semangat konsensus founding fouther dengan latar belakang yang homogen. Perbedaaan suku, adat, bahasa, budaya hingga keyakinan yang bersepakat menjadi satu bangsa.

Politik identitas dengan mengunakan teknik proganda firehose of false hood cukup kuat menciptakan polarisasi. Keretakan konsensus kehidupan berbangsa menjadi nampak. Dengan munculnya basis-basis dukungan kedua kandidat peserta kontestan berdasarkan pada latar belakang emosional yang cenderung pada suku, budaya dan keyakinan.

Merangkai kembali bingkai persatuan sebagai Indonesia, tugas besar yang harus dilakukan Joko Widodo sebgai Presiden terpilih. Melepaskan jerat klaim kedaerahan dengan labelisasi kandidat. Tidak ada lagi, Jawa Barat adalah 02 atau Jawa Tengah 01. Tidak ada lagi Sumatera 02 dan Jawa 01.

Lalu, bagaimana caranya?

Meski Jokowi sebagai pemenang dalam kontestasi. Tugas ini bagian dari elite-elite nasional. Para elit harus mengkedepankan kepentingan bangsa dari pada pribadi maupun golongan. Memang tampak klise kalimat itu. Namun tidak akan menjadi klise apabila dimulai saat ini. Setelah semua proses tahapan pemilihan yang berdasarkan konstitusi dilalui.

Rekonsiliasi tidak hanya sebetas shearing power belaka. Rekonsiliasi yang hanya berdasarkan pembagian jabatan menteri atau posisi strategis lainnya. Karena tidak bakal menyelesaikan subtansi permasalahan efek dari Pilpres ini.

Apabila rekonsiliasi hanya sebatas pada pembagian jabatan. Maka dipastikan sebuah kemunduran bangsa Indonesia dalam bernegara. Sementara tantangan keterbukaan dunia ada didepan mata. Bangsa Indonesia hanya jadi konsumen persaingan global negara-negara lain.

Sayangnya, gejala-gejala bagi-bagi kue ini lebih menonjol terjadi di lingkaran elit. Manuver-manuver politik yang dilakukan sebatas menunjukan reputasi dan power. Reputasi sebagai pendukung pasangan Jokowi selama Pilpres dan kekuasaan sebagai daya tawar penciptaan situasi sosial-politik pasca Pilpres.

Rekonsiliasi hanya dijadikan ajang show of power. Menekankan kekuataan yang harus diakomodir dalam pemerintahan kedepan.

Rekonsiliasi Plus

Kamus Besar Bahasa Indonesia, mendefinisikan Rekonsiliasi,  sebuah tindakan untuk mengembalikan perbedaan kepada posisi semula. Atau, menyatukan kembali pihak-pihak yang bertikai disatukan kembali.

Apabila melihat definisi ini dengan fenomena yang terjadi. Rasanya kata rekonsiliasi belum akan mewakili bangunan persatuan berbangsa Indonesia. Perlu rumusan yang subtansial tentang rekonsiliasi saat ini.

Perjalanan Pilpres 2019, bukan sekedar ajang kontestasi belaka. Karena diiringi dengan perubahaan pranata sosial masyarakat.  Masyarakat yang hidup dalam era industri 4.0. Dimana ketergantungan individu pada teknologi digital. Sehingga paramater perilaku sosial ditentukan sejauh mana kemenasaan teknologi digital.

Pola interaksi sosial pun berbeda. Individu pun berhak mendifinisikan pesan yang diterimah. Sehingga bebas mempresentasikan simbol sosialnya.

Fenomena inilah yang membuat pentingnya merumuskan kembali rekonsiliasi paska putusan Mahkamah Konstitusi. Apabila terjebak dalam pemahamaan sempit saja, maka rekonsiliasi hanya akan menjadikan perdebataan baru. Tentunya dengan aktor dan pola baru juga.

Rekonsiliasi harus dibangun berdasarkan paradigma berbangsa Indonesia. Bangsa yang dibangun dari konsensus bersama atas perbedaan-perbedaan. Sehingga, rekonsiliasi harus memperhatikan aspek perubahaan interaksi sosial masyarakat Indonesia efek dari persaingan globalisasi.  Dua variabel tersebut harus menjadi landasaan formulasinya.

Atau dengan kata lain. Rekonsiliasi harus kembali pada nilai-nilai semangat kemerdekaan. Semangat lepas dari penjajahan untuk menjadi bangsa yang mandiri dan menentukan masa depannya.

Apabila rekonsiliasi diartikan sempit hanya saat pilpres 2019 ini. Dipastikan hanya sekedar bagi-bagi kekuasaan belaka. Partai koalisi meminta jatah menteri atau posisi strategis.  Sementara partai oposisi bertransaksi,  posisi dan dukungan terhadap jalanannya pemerintahan ke depan.

Apa Yang Ditawarkan Jokowi?

Bila, melihat pemilihan tempat pidato menyikapi putusan MK di Bandara Halim Perdanakusuma, 27 Juni lalu. Ada pesan khusus yang ingin disampaikan Jokowi sebagai Presiden terpilih.

Mantan Walikota Solo tersebut, ingin menyampaikan bahwa tahapan Pilpres telah rampung. Dia adalah Presiden Republik Indonesia. Dia adalah pemimpin semua golongan. Bukan Presidennya pendung nomor urut 01. Ataupun Presidennya partai pendukung.  Jokowi adalah Presiden Indonesia.

Kesan tersebut sangat penting disampaiakan. Agar membuka ruang dialog yang lebih besar. Yaitu,  narasi besar sebagai bangsa Indonesia. Dan menghilangkan semangat partial dalam bernegara.

Begitulah, platform rekonsiliasi yang akan ditawarkan Jokowi dalam menjalankan pemerintahan lima tahun kedepan. Relasinya sangat kuat dengan progam kerja yang disampaikan dalam kampanyenya. Yang akan menitik beratkan pada pembangunan sumber daya manusia Indonesia.

Tentunya, pembangunan sumber daya manusia ini dibutuhkan pemahamaan interpretasi khalayak. Tingkat kesepahamaan akan jadi modal besar bagi keberhasilan. Sangat mustahil apabila masih terjadi perselisihan soal hasil Pilpres untuk menciptakan kesepahamaan.

Sebagai langkah awal, tentunya pidato kemenangan tersebut. Memunculkan optimisme khalayak akan narasi persatuan paska Pilpres. Tentunya saja, tidak semudah membalikan telapak tangan untuk menjalankannya.

Kepentingan-kepentingan yang sifatnya partial akan dominan dalam perjalanan rekonsiliasi. Jatah kekuasaan masih jadi primadona. Ketimbang membangun kesepahamaan bersama tentang berbangsa. Kesepahamaan tentang ancaman perubahaan interaksi sosial efek dari kemajuan industri global. Kesepahamaan posisi Indonesia dengan pergerakaan globalisasi perdagangan.

Mampukah,  Jokowi memformulasikan rekonsiliasi paska Pilpres ini? Ataukah hanya sekedar mimpi saja?

Harapannya, Jokowi mampu melakukan rekonsiliasi yang tidak hanya sekedar bagi-bagi kue.  Atau pesta elite politik ditengah perubahaan masyarakat yang semakin tidak terkontrol.

Raylis Sumitra
Raylis Sumitra
Presedium PENA 98 (Perhimpunan Nasional Aktivitis 98) Jawa Timur Mantan Jurnalis pengemar kopi
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.