Presiden Joko Widodo (Jokowi) semakin sensasional setelah menyatakan rencananya untuk membatasi jumlah mahasiswa yang masuk perguruan tinggi negeri. Wacana tersebut beliau sampaikan saat berpidato sekaligus menutup Rembuk Nasional Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) di Universitas Indonusa Esa Unggul.
Presiden Jokowi mengganggap perguruan tinggi negeri (PTN) tidak baik menampung mahasiswa dalam jumlah yang banyak. Akibatnya, dalam proses perkuliahan baik mahasiswa atapun dosen tidak mencapai tingkat fokus yang diinginkan, sehingga ilmu yang didapatkan tidak sesuai harapan. Selain itu, beliau juga beranggapan jumlah mahasiswa yang ada di perguruan tinggi negeri tidak sesuai dengan jumlah tenaga pengajar.
Alasan yang dikemukakan oleh Presiden Jokowi terlalu dangkal untuk menerapkan pembatasan jumlah mahasiswa semacam itu. Selama ini, anak-anak Indonesia yang baru saja tamat SMA lebih memilih perguruan tinggi negeri daripada perguruan tinggi swasta. Bagaimana mungkin dengan beraninya beliau menghantui mimpi ribuan anak Indonesia untuk kuliah di PTN idaman mereka?
Alasan yang dangkal
Menarik untuk membahas lebih lanjut tentang alasan wacana pembatasan jumlah mahasiswa yang masuk PTN. Mengingat PTN diminati oleh banyak calon mahasiswa.
Ini bisa kita terawang dari hasil pergeleran jalur SBMPTN yang dilansir di web resmi Kemenristekdikti. Tahun 2017, jumlah pendaftar sebanyak 797,023 orang. Dibandingkan tahun 2016 yang hanya terdapat 721,326 pendaftar, tahun 2017 mengalami peningkatan sebesar 10%. Sebelumnya pada tahun 2016, sebanyak 78 PTN yang berpartisipasi hanya mampu menampung 126.804 peserta yang lolos.
Sedangkan Tahun 2017 memang terjadi peningkatan partisipan yaitu sebanyak 85 PTN. Namun, yang berhasil ditampung tidak jauh jumlahnya dari tahun 2016, yaitu sebanyak hanya 128,085 orang. Dari fakta jumlah yang ada tersebut dapat dihitung, tahun 2016 persentase peluang diterima di perguruan tinggi negeri sebesar 17,58%, sedangkan tahun 2017 hanya 16,07 %. Artinya, dari tahun 2016 ke 2017 mengalami penurunan peluang masuk perguruan tinggi negeri.
Apakah masih perlu adanya pembatasan jumlah mahasiswa perguruan tinggi negeri? Sangat tidak perlu, karena alasan yang dikemukakan oleh Presiden Jokowi sangat tidak relevan dengan fakta yang ada. Adanya seleksi baik SNMPTN, SBMPTN, ataupun jalur Mandiri merupakan salah satu wujud dari pembatasan jumlah mahasiswa perguruan tinggi negeri yang telah ada. Mana mungkin jumlahnya semakin dikurangi mengingat hak dan antusias anak-anak Indonesia semakin tinggi untuk mendapatkan pendidikan?
Selanjutnya alasan mengenai korelasi antara jumlah mahasiswa di ruang perkuliahan dapat mengganggu fokus dan konsentrasi baik mahasiswa itu sendiri maupun dosen pengajar. Pada intinya, demi tersampaikannya intisari dari bahan kuliah dosen kepada mahasiswa, dosen dituntut untuk lebih inovatif menerapkan metode perkuliahan. Setelah itu, diserahkan kepada mahasiswa untuk menangkap ilmu dari dosen selama proses perkuliahan berlangsung. Justru mahasiswa lebih dituntut untuk banyak membaca dan mempelajari mata kuliah yang ada di luar ruangan perkuliahan.
Berikut alasan yang membuatnya semakin sensasional. Setiap mahasiswa yang dididik di perguruan tinggi manapun tidak dituntut untuk menjadi guru atau dosen. Lulusan dari sebuah perguruan tinggi akan melanjutkan masa depannya di tingkat profesi dan pekerjaan sesuai dengan keahliannya. Ada yang berprofesi sebagai dokter, praktisi hukum, banker, ada pula yang jadi guru atau dosen. Sedangkan mahasiswa adalah tingkat yang diambil oleh setiap siswa yang baru saja menamatkan SMA. Jumlahnya pun akan sangat banyak.
Adanya alasan jumlah mahasiswa yang lebih banyak daripada tenaga pengajar sangat tidak masuk akal untuk mendukung realisasi wacana pembatasan jumlah mahasiswa PTN. Karena memang seperti itulah yang terjadi, mahasiswa akan lebih banyak dari pada tenaga pengajar.
Sarat akan kepentingan
Wacana ini muncul ketika Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) mengusulkan adanya pembatasan jumlah mahasiswa perguruan tinggi negeri kepada Presiden Jokowi. Kemudian disampaikan kepada Menristekdikti untuk direalisasikan. Usul semacam ini langsung diterima oleh presiden dan bahkan langsung diperintahkan kepada menterinya tanpa melalui proses yang panjang.
Sistem penyeleksian mahasiswa seperti SNMPTN, SBMPTN, Jalur Mandiri dapat dikatakan sebagai pembatasan jumlah mahasiswa PTN yang telah ada. Bayangkan dari 1 juta calon mahasiswa, perguruan tinggi negeri hanya menerima 200 ribu pendaftar dan selebihnya terpaksa memilih perguruan tinggi swasta (PTS). Bila terjadi lagi pembatasan jumlah mahasiswa PTN tambahan, otomatis semakin banyak jumlah mahasiswa yang masuk PTS.
Dengan hasil rekayasa yang seperti itu, dapat membantu perguruan tinggi swasta mencapai tujuannya, diluar tujuan pendidikan untuk memajukan bangsa. Tentunya, pemerintah juga mendapat keuntungannya.
Bila anak-anak Indonesia banyak yang tidak diterima di PTN, maka mereka harus memilih pilihan lain, yaitu PTS. Berbicara akibat yang timbul, di sisi lain kita perlu melihat jumlah masyarakat Indonesia yang secara finansial berada di bawah rata-rata sangat banyak. Dari dua kondisi yang secara bersamaan melanda banyak anak-anak Indonesia yang ingin kuliah di PTN namun tidak sanggup masuk PTS karena kendala ekonomi, maka dapat dipastikan akan banyak terjadi pengangguran dini.
Hak mendapatkan pendidikan
Sejarah pendidikan Indonesia berawal dari zaman penjajahan Belanda ketika melaksanakan program “Politik Etis”. Salah satu isi di dalamnya adalah memberikan pendidikan kepada rakyat Hindia-Belanda. Setelah direalisasikan, banyak kaum cendikiawan bermunculan. Dan pada puncaknya, generasi emas zaman Soekarna, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, dan lainnya berhasil merebut kemerdekaan. Kemerdekaan tersebut dapat dicapai karena ide-ide dan kecerdasan yang mereka dapatkan ketika mengecap pendidikan.
Sekarang, pendidikan itu sendiri telah diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 . Dari ayat (1) sampai dengan (5) sangat jelas dan tegas bahwa setiap orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak demi kemajuan bangsa tanpa dibatasi. Artinya secara konstitusi, setiap warga negara Indonesia telah diatur haknya untuk mendapatkan pendidikan. Tidak ada di dalam pasal tersebut yang membatasi upaya setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan.
Bila Presiden Jokowi tetap merealisasikan wacana pembatasan jumlah mahasiswa PTN, maka beliau telah melupakan tujuan negara untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD NRI 1945. Selain itu beliau juga telah melanggar hak konstitusi warga negara untuk mendapatkan pendidikan. Mengingat perguruan tinggi negeri adalah salah satu “kaki tangan” negara dalam menyediakan lahan pendidikan bagiwarga negaranya. Presiden atas nama pemerintah seakan lepas tangan daritanggung jawabnya untuk menyelenggarakan pendidikan yang terjangkau.
Padahal, pendidikan memegang peranan penting dalam mensejahterakan dan memajukan bangsa. Terbukti sejak zaman kolonial hingga saat ini, tanpa adanya pendidikan maka dipastikan negara ini tidak akan ada sejak dulu.