Kamis, April 25, 2024

Jokowi dan Ilusi Penanganan Kerusakan Iklim

Rizaldi Ageng Wicaksono
Rizaldi Ageng Wicaksono
Mahasiswa S-1 Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia

Jokowi dalam Konferensi Tingkat Tinggi Climate Adaptation Summit 2021 pada 25 Januari lalu berpidato mengenai kerusakan iklim yang begitu terasa hari ini. Dalam pidatonya, Ia menyatakan empat poin penting guna menangani perubahan iklim: pertama, negara-negara harus memenuhi kontribusi nasional bagi penanganan perubahan iklim (National Determined Contribution); kedua, menggerakkan seluruh potensi masyarakat guna menumbuhkan kesadaran dalam menangani perubahan iklim; ketiga, menguatkan kemitraan global; keempat, melanjutkan pembangunan hijau. Pidato tersebut memunculkan pertanyaan dalam diri saya, dapatkah Jokowi merealisasikan Indonesia sebagai salah satu pelopor penanganan kerusakan bumi hari ini?

Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terpadat keempat di dunia. Populasi penduduknya tersentral di Pulau Jawa. Dengan luas 138.793 km2 pulau ini menopang 55,94% dari seluruh populasi di Indonesia. Menjadi pulau yang sibuk dalam menghasilkan limbah industri besar.

Pasca kemerdekaan, karena sumber daya ekstraktifnya yang begitu melimpah, Indonesia menjadi wilayah perebutan ekspansi negara-negara kapitalis maju. Dengan dibarengi perang sipil yang diakhiri oleh pembantaian massal 65 di bawah komando Soeharto, Indonesia akhirnya lagi-lagi jatuh ke tangan para imperialis global. Negara-negara yang bertanggung jawab begitu besar dalam kasus keruskan iklim, bergandengan tangan dengan perusahaan-perusahaan multinasional yang alasannya ekspansi ke negara seperti Indonesia adalah sumber daya alam dan juga tenaga kerja murah.

Di masa Orde Baru, proyek-proyek nasional tak berkelanjutan massif dilakukan. Infrastruktur (seperti jalan raya hingga tol) dikembangkan guna memenuhi kemauan kelas menengah di Indonesia yang menjamur semasa rezim militer tersebut berkuasa. Ini memberikan masalah pelik di perkotaan-perkotaan besar seperti Jakarta. Daerah resapan air semakin sempit. Wilayahnya menjadi tandon aliran air dari daerah-daerah tinggi seperti Jawa Barat. Alhasil hanyalah bom waktu bagi Jakarta untuk menunggu tenggelam karena dibarengi dengan semakin meningkatnya permukaan air laut.

Di wilayah-wilayah dengan sumber daya alam besar, industri ekstraktif massif berkembang, sehingga kerusakan lingkungan semakin lengkap. Sudah menjadi fakta umum bahwa bahwa para politikus negeri turut berperan dalam percepatan kerusakan lingkungan. Prabowo (Menteri Pertahanan) adalah pemilik Nusantara Energy Resources yang menaungi 17 perusahaan. Termasuk batubara dan kelapa sawit.

Ada pula Luhut Binsar Panjaitan yang merupakan pemegang saham dari PT Toba Bara Sejahtera Grup. Sebuah perusahaan yang bergerak di sektor tambang dan energi, migas, listrik, dan kelapa sawit. Selain itu, terdapat sederet nama seperti Harie Tanoe, Bakrie, Surya Paloh, bahkan Sandiaga Uno yang bermain di sektor energi fossil. Pembukaan tambang dan perkebunan tersebut membutuhkan pembabatan lahan hijau termasuk hutan secara massif.

Di sisi lain, baru-baru ini Komisi Global Geopolitik Energi Badan Energi Terbarukan (IRENA) melalui Mari Elka, mengatakan bahwa penggunaan bahan bakar fossil masih akan digunakan sebagai sumber daya utama hingga 2030. Ada pula Menteri BUMN Erick Thohir yang menyatakan bahwa Indonesia harus menjadi bagian dari era kendaraan berbasis listrik.

Narasi tersebut hanyalah sebuah mimpi di siang bolong. Ini didasarkan pada tren penguasa negeri yang berkembang. Bukan hanya menteri, namun juga orang nomor satu di negara ini menunjukkan praktek abai pada kerusakan lingkungan. Jokowi beserta sejumlah menteri dan kepala daerah, telah mengajukan banding keputusan MA yang menyatakan dirinya bersalah dalam kasus kebakaran hutan di Kalimantan pada tahun 2015 lalu.

Ditambah baru-baru ini, pidatonya mengenai banjir di Kalimantan Selatan juga tidak menunjukkan iktikad yang mengarah pada keseriusan dirinya dalam membawa Indonesia menjadi bagian penghambat kerusakan planet ini. Ini ditambah oleh pernyataan Siti Nurbaya (Menteri LHK) yang mengatakan bahwa banjir di Kalimantan Selatan bukan akibat dari penggundulan hutan.

Pemerintah semakin terlihat tidak bersungguh-sungguh dalam mengatasi problem lingkungan setelah mengeluarkan kebijakan baru lewat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 255 tahun 2020 yang mengamanatkan bagi pengusaha tambang batu bara mengalokasikan lebih banyak hasilnya bagi kebutuhan dalam negeri. Ini hanyalah upaya tambal sulam merespon penurunan permintaan negara-negara kaya terhadap kebutuhan sumber daya fossil.

Berharap Jokowi untuk menunjukkan iktikad baik dalam menangani kerusakan bumi artinya menunggu alam Indonesia untuk benar-benar hancur. Ini bukan tanpa dasar. Dari awal, Jokowi adalah sosok yang eklektik dalam memenuhi ambisi politiknya. Di satu sisi, sisa-sisa Orde Baru yang mayoritas terdiri dari pengusaha dan mantan militer masih menjadi kubu terkuat.

Orang-orang dengan sumber dana kuat yang mereka dapat dari menghancurkan alam Indonesia. Maka tidak ada cara lain selain merangkul mereka untuk menjaga kekuasaannya tetap stabil. Hal ini diperparah dengan iktikad buruk negara-negara kaya yang pada setiap kesempatan KTT iklim global, menolak memberikan kompensasi atas kerusakan yang terjadi di negara-negara miskin dan berkembang seperti Indonesia.

Ketika kita berbicara tentang kemenangan, artinya memenangkan kelestarian lingkungan secara keseluruhan. Ini hanya dapat terjadi di bawah penghancuran moda produksi yang eksis hari ini secara total. Problemnya adalah, belum ada basis kekuatan yang mengarah pada perjuangan tersebut. Namun, orientasi hari ini mengenai perjuangan lingkungan yang telah mendapatkan suara populer adalah mendesak reformasi-reformasi substansial di bidang sumber daya. Hal ini meliputi, 100% listrik terbarukan pada 2030; penghentian proyek bahan bakar fosil baru; penghapusan pertambangan batu bara dan ekspor; memulai elektrifikasi transportasi dan menyelesaikan elektrifikasi industri.

Tuntutan ini setidaknya telah mendapatkan dukungan populer di negara-negara maju. Namun masih sunyi di Indonesia. Padahal jalan satu-satunya untuk menghambat kerusakan lingkungan di Indonesia adalah kembali pada metode mobilisasi massa populer (proletariat, petani, kaum miskin perkotaan). Ini secara langsung akan menantang para borjuasi nasional dan lokal yang sumber kekayaannya bertumpu pada industri tambang dan hasil ekstraktif lainnya yang berperan besar merusak lingkungan kita sendiri.

Menanggapi tuntutan Jokowi dalam pidatonya yaitu menggerakkan seluruh potensi masyarakat guna menumbuhkan kesadaran dalam menangani perubahan iklim, saya berkesimpulan upaya tersebut harus dimanifestasikan dalam upaya penghimpunan kekuatan untuk melawan konglomerat tambang. Artinya pula, melawan orang-orang rakus di sekeliling Jokowi.

Mampukah kelas populer mengemban tugas tersebut? Jawabannya tidak dapat diberikan dalam opini ini. Namun kita harus melihat praktek secara langsung di lapangan. Sayangnya, gerakan massa populer hari ini masih terpecah-pecah. Ini sudah dapat dipastikan memperlemah daya gebuk mereka terhadap elit oportunis yang bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan di Indonesia maupun keseluruhan bumi kita.

Rizaldi Ageng Wicaksono
Rizaldi Ageng Wicaksono
Mahasiswa S-1 Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.