Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan berbagai objek wisata tidak pernah dapat dilepaskan keterkaitannya. Di DIY, berbagai jenis objek wisata mulai dari wisata sejarah, wisata kuliner, wisata budaya, wisata belanja dan masih yang lainnya tersedia. Berbagai jenis objek wisata tersebut tentu saja mampu mendatangkan banyak wisatawan, baik lokal, regional, maupun internasional.
Tercatat pada tahun 2015 wisatawan nusantara yang datang ke DIY sebanyak 3.896.572 orang, melampaui target yang ditetapkan Dinas Pariwisata DIY yakni sebanyak 3.581.860 orang. Kunjungan wisatawan mancanegara pun melebihi target. Pada tahun 2015 Dinas Pariwisata DIY mentargetkan 258.636 orang kemudian terealisasi 292.096 wisatawan yang berkunjung ke tempat-tempat wisata yang tersebar di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY.
Tingginya kunjungan wisatawan yang datang ke DIY tentu saja membuat kebutuhan akan tempat tinggal sementara, baik itu hotel maupun homestay menjadi sangat tinggi. Korelasi pertumbuhan hotel dengan jumlah kunjungan wisawatan pada umumnya berorientasi positif/searah.
Artinya bahwa, suatu daerah yang memiliki beragam destinasi wisata pada umumnya membutuhkan banyak tempat hunian sementara guna menampung kunjungan wisatawan. Sebagaimana pernyataan Intan Nadia dan Suharno (2015) bahwa dunia perhotelan berkembang sejajar dengan kebutuhan manusia pada umumnya, penginapan yang tadinya hanya menyediakan tempat untuk menginap sekarang sudah berkembang dengan fasilitas penyedia makanan, karaoke, ruang pertemuan, kolam renang, dan lain-lain.
Hal tersebut juga terjadi di DIY, pertumbuhan hotel di DIY meningkat pesat seiring dengan meningkatnya jumlah wisawatan yang berkunjung. Namun saking “getolnya” membangun, justru pertumbuhan hotel di DIY saat ini bahkan sudah masuk dalam kategori melebihi dari kebutuhan/oversupply.
Sampai pada tahun 2015 saja, hotel yang ada di wilayah DIY berjumlah 1.097 hotel, dengan rincian 87 hotel berbintang dan 1.010 hotel non-bintang dengan sebagian besar berdiri di wilayah Kota Yogyakarta. Jumlah sebanyak itu sudah dianggap overload atau oversupply. Angka tersebut juga terus meningkat dari tahun ketahun.
Meskipun jumlah wisatawan yang berkunjung ke Daerah Istimewa Yogyakarta setiap tahun semakin meningkat, jumlah pertumbuhan hotel yang oversupply tersebut tentu saja akan menyebabkan masalah baru, terutama bagi masyarakat lokal di wilayah DIY, tidak terkecuali di Kota Yogyakarta sebagai “jantung’ destinasi wisata DIY.
Dampak yang ditimbulkan dari pembangunan hotel di Kota Yogyakarta tentu saja menjadi lebih besar dibandingkan dengan di daerah lain yang ada di wilayah DIY. Mengapa demikian? Karena jika dilihat dari luas wilayah, Kota Yogyakarta sebagai destinasi utama wisata merupakan daerah dengan luas wilayah terkecil diantara Kabupaten lain di DIY.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015 menyebutkan luas wilayah Kota Yogyakarta hanya 32.50 km2, kemudian disusul Kabupaten Bantul (506.85 km2), Kabupaten Sleman (574.82 km2), Kabupaten Kulonprogo (586.27 km2), dan Kabupaten Gunung Kidul (1485.36 km2).
Dengan wilayah yang sangat kecil diantara Kabupaten lainnya, Kota Yogyakarta harus siap menampung jumlah penduduk dan mobilitas wisatawan setiap harinya. Jumlah penduduk ditambah dengan mobilitas wisatawan yang ada di Kota Yogyakarta juga termasuk yang terbesar dibandingkan dengan wilayah lain di DIY.
Pada umumnya dampak langsung yang ditimbulkan dari banyaknya bangunan hotel di Kota Yogyakarta adalah sulitnya mengakses air bersih. Hal ini terjadi dikarenakan sumber air tanah yang sebelumnya sebagian besar peruntukannya adalah masyarakat dengan karakter pemukiman yang padat, beralih menjadi kuasa pihak hotel.
Akses air dengan menggunakan teknologi sumur bor lebih dari satu titik pada tiap hotelnya, tentu saja membuat debit air yang dihasilkan akan lebih banyak didapatkan pihak hotel. Hal tersebut tentu saja sering menjadi pemicu konflik antara masyarakat dengan pengelola hotel.
Pembangunan hotel di Kota Yogyakarta juga terkadang harus mengorbankan/menggusur bangunan-bangunan yang memiliki nilai sejarah panjang, sehingga semakin memudarkan kesan Kota Yogyakarta sebagai Kota bersejarah.
Dampak lain yang sering dialami oleh wilayah berdirinya bangunan hotel tersebut adalah suasana bising yang ditimbulkan oleh aktivitas hotel dan kemacetan lalu lintas terutama pada hari-hari libur nasional.
Konsep pembangunan hotel yang “kebablasan” seperti ini sudah saatnya ditinjau kembali. Seluruh elemen masyarakat di Yogyakarta memiliki hak dan kewajiban untuk saling mengingatkan pengambil kebijakan dan pihak terkait lainnya agar lebih arif dan bijaksana dalam melaksanakan pembangunan. Meskipun saat ini muncul rencana perpanjangan moratorium pembangunan hotel, tidak serta merta masyarakat dan elemen lainnya lengah mengontrol jalannya moratorium tersebut.
“Jogja ora didol” atau Jogja tidak dijual, yang selama ini muncul akibat rasa keprihatinan masyarakat Yogyakarta dalam mensikapi masifnya pembangunan yang dilaksanakan harusnya bisa dijadikan spirit bersama untuk merawat Yogyakarta sebagai wilayah yang istimewa karena sejarah dan budaya, bukan istimewa karena hotel dan segala bentuk produk kapitalismenya.
Jangan sampai Yogyakarta yang kita cintai menjadi “Jogja sold out”!