Kamis, April 25, 2024

Jihad Sosial Kaum Millenial

Rofiki Asral
Rofiki Asral
Penikmat kopi hitam sekaligus mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Dari berbagai komponen masyarakat di negeri ini, pemuda memiliki peran penting dalam dinamika sosial. Pemuda―atau kaum milenial dalam sebutan kekiniannya―dikenal memiliki raga dan akal pikiran yang masih fresh sehingga mampu untuk terus mengasah spirit perjuangan dalam hidup.

Mereka diharapkan tidak hanya sekadar jadi penonton dinamika perubahan sosial. Apa yang menjadi persoalan sosial dalam masyarakat seyogianya mereka peka untuk turut serta memecahkannya. Sebagaimana sudah pernah dilakukan kaum muda di zaman dulu dalam mengawal dinamika kehidupan bangsa ini, dari pra hingga pasca-kemerdekaan.

Gerak aktif mereka dibutuhkan untuk mengawal segala dinamika yang terjadi demi mewujudkan kepentingan bersama. Bergerak tidak harus dilakukan secara kaku dengan berpatokan pada tipologi gerakan-gerakan tertentu. Itu malah akan mempersempit ruang gerak dan kreativitas mereka sebagai manusia yang kaya akan inovasi.

Maka dari itu, bergerak sesuai bidang masing-masing adalah wujud nyata perjuangan kaum muda milenial. Menanggapi isu-isu sosial yang sedang berkembang di masyarakat dapat disalurkan melalui media apa saja. Pemuda yang bergerak dalam bidang kebudayaan atau kesenian, misal, dapat menyuarakannya lewat karya seni, seperti lukisan, pementasan drama dan lain sebagainya. Pemuda yang bergerak di bidang kewirausahaan dapat berkreasi dan berinovasi mewujudkan ekonomi kreatif yang dampaknya bisa dirasakan oleh masyarakat.

Kaum muda terpelajar seperti mahasiswa yang selalu bergelut dalam wacana keilmuan, dapat membawa isu-isu sosial kemasyarakatan ke dalam ruang-ruang dialektika seperti seminar atau diskusi-diskusi kecil di kampus. Dari hasil dialektika itu kemudian diangkat menjadi tulisan yang bisa dibaca oleh khalayak ramai.

Masyarakat kalangan atas hinga menengah ke bawah jadi turut andil dalam memperbincangkan isu-isu tersebut, minimal sekadar obrolan-obrolan di warung kopi atau angkringan pinggir jalan.

Munculnya berbagai media massa sekarang ini menjadi ruang yang terbuka lebar untuk menyuarakan berbagai aspirasi. Kalau dulu, kita hanya bisa mengakses berita tentang segala sesuatu yang terjadi di negeri ini, utamanya kondisi sosial-politik, lewat koran dan majalah.

Sekarang semuanya bisa semakin mudah diakses. Munculnya berbagai media massa online yang menyajikan berita dan tulisan-tulisan sebagaimana di koran dan majalah, membuat segala hal terekspos begitu cepat. Berita-berita baik dari dalam maupun luar negeri tersaji bahkan tidak sampai dalam hitungan beberapa jam saja.

Hal tersebut menjadikan isu-isu yang terangkat ke permukaan, bergulir begitu cepat menjadi wacana publik. Muncul kemudian berbagai reaksi di kalangan masyarakat. Pro-kontra tidak dapat dibendung, padahal seringkali berita-berita itu hanyalah berita yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Inilah dampak buruknya. Efek dari terlalu instannya berita di media sosial menjadikan masyarakat kita berangsur menjadi masyarakat yang ‘kagetan’.

Di situlah juga peran pemuda terpelajar dibutuhkan dalam menetralisir segala kemungkinan penyelewengan berita yang berujung pada kesesatan opini masyarakat. Dengan ilmu dan keluasan wawasannya, mereka diharapkan bisa memunculkan opini baru melalui tulisan sebagai pencerahan berdasarkan perspektif keilmuan yang mereka miliki.

Dengan demikian, secara langsung mereka sudah terlibat dalam ranah persoalan sosial kemasyarakatan. Kegelisahan, kekhawatiran, dan simpati yang tertuang dalam bentuk tulisan sudah merepresentasikan tingginya jiwa sosial dalam diri mereka. Implementasi dari intelektualitas yang ditempa di kampus, di ruang-ruang diskusi, dan dari hasil bacaan berwujud nyata lewat gagasan-gagasan yang dituangkan dalam tulisan.

Melalui tulisan, seseorang bisa bebas mengekspresikan segala sesuatu, termasuk pengalaman hidup yang sifatnya privasi. Sebuah tulisan terkadang mampu memberikan ruh dan spirit baru dalam kehidupan. Tulisan tersebut tidak hanya sebatas oretan yang tertuang dalam kertas. Lebih dari itu, ia menjadi kekuatan yang mampu menggerakkan dan mengubah sisi-sisi kehidupan di dunia ini.

Langkah pergerakan melalui menulis telah diterapkan oleh para pendahulu kita, termasuk Bung Karno, Bung Hatta, Tan Malaka, Gus Dur, dan masih banyak lagi. Bahkan, gerakan mereka melalui tulisan sudah dimulai sejak usia remaja. Ini menunjukkan betapa menulis bukan hanya sebatas kerja intelektual, melainkan gerakan ‘jihad’ dalam bersosial yang ditempa dari hasil  kepekaan dan kepedulian yang tinggi.

Kita mungkin juga mengenal nama Mahbub Djunaidi. Seorang wartawan Kompas di masa mudanya dan mantan ketua umum pertama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Mahbub sampai dijuluki sebagai ‘pendekar pena’ karena kelihaiannya dalam menulis. Dia berhasil mengangkat persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat melalui tulisannya.

Dia mampu menyajikan setiap persoalan dalam tulisannya melaui bahasa satir-humornya yang khas. Mahbub adalah salah satu contoh orang yang berpolitik melalui tulisan. Politiknya bukan dalam lingkup politik praktis yang untuk tujuan sesaat. Lebih tinggi dari itu, dia melakukan politik sosial-kebangsaan yang dampaknya benar-benar dirasakan masyarakat saat itu.

Selain itu, kita juga mengenal nama Widji Thukul dan W.S. Rendra. Selain merupakan penyair dan budayawan, mereka juga dikenal sebagai aktivis Orde Baru yang juga melakukan pergerakan lewat tulisan. Melalui puisi-puisinya, mereka mampu mengobarkan spirit perlawanan atas kesewenang-wenangan rezim Orba yang saat itu berkuasa.

Kepedulian sosialnya dituangkan dalam wujud puisi-puisi yang sering kita baca di pementasan-pementasan atau pada saat-saat demonstrasi. Tulisan-tulisan mereka sampai sekarang masih abadi dan sering kita baca, meski jasad mereka sudah tiada.

Maka dari itu, menulis menjadi hal penting di era saat ini. Utamanya bagi kalangan muda dan mahasiswa. Tidak cukup hanya sebatas teori yang didapat dari bangku perkuliahan atau diskusi-diskusi rutinan.

Persoalan sosial yang diangkat ke ruang-ruang dialektika memang perlu dilakukan, dan itu menjadi awal sebuah gerakan sosial. Namun, tanpa langkah lanjutan, ia hanya sebatas wacana yang berputar tanpa menemukan kejelasan dan solusi. Dibutuhkan tindak lanjut untuk membuktikan pernyataan partisipasi dan kontribusi dalam kehidupan sosial yang sedang kita perbincangkan.

Menulis adalah langkah paling mudah dan nyata sebagai eksplorasi dari problem sosial yang sedang kita perbincangkan. Jika pemuda dan mahasiswa tidak sanggup atau belum siap untuk terjun langsung menanggapi isu-isu yang sedang berkembang di masyarakat, minimal dengan menulis gerakan itu menjadi nyata. Gerakan menulis harus bisa ditumbuhkembangkan dalam kehidupan kaum muda.

Pramoedya Ananta Toer pernah berkata: “Karena kau menulis, suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh di kemudian hari”. Perkataan Pram tersebut mengingatkan kita pula pada sajak Khairil Anwar, yang katanya: “Aku ingin hidup seribu tahun lagi”.

Maka benarlah, suara-suara mereka masih terdengar dalam tulisan-tulisannya hingga saat ini. Pram dan Khairil memang sudah tiada, tapi dalam tulisan-tulisannya, masih ada jiwa dan semangat yang menyala-nyala.

Rofiki Asral
Rofiki Asral
Penikmat kopi hitam sekaligus mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.