Jumat, Maret 29, 2024

Jihad Digital Melawan “Tentara Tuhan”

Zulkifli Fajri Ramadan
Zulkifli Fajri Ramadan
Editor buku, Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)

Tak mudah dilupakan, bom bunuh diri yang terjadi Mei lalu (13/5), oleh satu keluarga di tiga gereja di Surabaya, seolah menjadi introduksi tragis menyambut bulan puasa dan pilkada. Kepedihan tragedi itu tak mudah dihilangkan. Penafsiran serampangan atas teks kitab suci yang diperas menjadi sebuah landasan yang melegitimasi tindakan terorisme masih subur dilakukan.

Islam pada dasarnya merupakan agama yang menjunjung tinggi perdamaian. Dalam Islam, bermacam permasalahan mesti diselesaikan dengan musyawarah, bukan dengan tindakan teror yang menghantui bermacam kalangan bahkan hingga menumpahkan darah. Narasi perang dalam Islam sesungguhnya bukan dalam artian menyerang, namun lebih bersifat pertahanan diri serta mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan (Nashir: 2011).

Kita mesti kembali menyuarakan bermacam narasi dalam kitab suci yang disesuaikan dengan konteks hari ini. Kontekstualisasi ayat Al-Qur’an merupakan salah satu tugas para intelektual muslim kontemporer. Namun jangan sampai upaya kontekstualisasi yang telah dilakukan masih tertutupi kabut radikalisme oleh mereka—meminjam istilah Khaled Abou el-Fadl—para tentara Tuhan.

Otoritarianisme “Tentara Tuhan”

Dunia digital menyajikan bermacam pandangan keagamaan dari orang-orang yang merasa dirinya merupakan “wakil Tuhan di muka Bumi”, yang darinya memunculkan fenomena otoritarianisme atas kitab suci. Otoritarianisme atas kitab suci di dunia digital mewujud dalam bentuk teks hingga video yang bersifat rigid dan kaku. Ruang diskursus ilmiah untuk membicarakan kewarasan penafsiran teks keagamaan secara tidak langsung dipasung sedemikian rupa, hingga akhirnya melahirkan tentara Tuhan yang menyimpan bubuk mesiu di balik pakaiannya.

Menurut Khaled Abou el-Fadl dalam bukunya yang berjudul Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, an Women (2003: 16) otoritarianisme atas teks kitab suci ialah paham yang membenarkan aksi menggunakan kekuasaan Tuhan. Hal itu dilakukan oleh kelompok atau perorangan yang berpendapat bahwa pandangan atau penafsirannya adalah yang paling benar sesuai keinginan Tuhan. Perilaku otoritarianisme atas teks kitab suci seperti itu melibatkan penyamaan bahkan pengabaian terhadap realitas ontologis Tuhan, dan pengambilalihan kehendak Tuhan oleh agen atau tentara Tuhan.

Khaled juga mengatakan bahwa agen tersebut secara efektif kemudian mengacu pada dirinya sendiri, dengan memandang maksud tekstual dan otonomi teks sebagai hal yang bersifat sekunder. Lebih jauh lagi, dengan menganggap maksud tekstual menjadi tidak penting dan menghapus otonomi teks. Pembaca yang subjektif pasti akan melakukan kesalahan penafsiran atau kecurangan dan melanggar syarat-syarat yang lain.

Hari ini kita banyak menyaksikan beberapa kelompok yang mendeklarasikan diri sebagai tentara Tuhan. Namun kita menjadi marah ketika melihat para tentara Tuhan itu—dalam istilah lain Syafii Maarif menyebutnya dengan preman berjubah—memunculkan fenomena fundamentalisme hingga radikalisme dalam beragama yang merusak wajah damai Islam. Melihat fenomena tersebut, melalui karya-karyanya Khaled juga secara tidak langsung berani mendeklarasikan diri sebagai lawan mereka (tentara Tuhan) yang secara teologis mengacu pada surat Al-Muddatsir ayat 31: “Dan tidak seorang pun dapat mengetahui tentara-tentara Tuhan, kecuali Tuhan….” (Khaled, 2003: 39)

Jihad Digital

Dunia digital memunculkan dua muka kontradiktif: di satu sisi kita bisa menikmati bermacam informasi tak terbatas, namun di sisi lain dari ketakterbatasan itu terselip bermacam konten buruk, terlebih yang menyangkut pemahaman serampangan dalam beragama. Bom bunuh diri menjadi cara yang masih diminati oleh para tentara Tuhan demi membela agamanya. Aksi ledakan yang menewaskan pelaku dan orang-orang di sekitar ledakan amat mencoreng salah satu prinsip Islam: membunuh satu nyawa sama halnya dengan membunuh seluruh nyawa manusia.

Dalam Majalah Tempo yang berjudul “Paham Radikal di Kampus Kita” edisi 28 Mei-3 Juni 2018, memuat wawancara menarik terhadap dua wanita yang ditangkap oleh Densus 88. Penyebab penangkapan itu dikarenakan keduanya dicurigai berkaitan dengan kasus kerusuahan yang dilakuka oleh narapidana terorisme Mei lalu (8/5) di Mako Brimob, Depok. Dalam wawancara itu, keduanya mengaku telah lama berkomunikasi dengan berbagai pihak yang berafiliasi dengan ISIS. Lebih parahanya, satu di antara mereka bercita-cita bahwa ISIS mesti tumbuh subur tak hanya di Indonesia; namun di seluruh dunia.

Perkenalan mereka dengan narasi radikal dimulai dari dunia digital yang lebih berkembang di berbagai grup media sosial yang mereka ikuti. Berbagai konten negatif seperti video kekerasan serdadu ISIS yang membunuh sesama manusia, hingga teks keagamaan yang dijadikan landasan melakukan teror begitu intens disebarkan, dan perlahan menginspirasi mereka. Dunia digital terbukti menjadi lahan basah menyemai benih radikalisme yang mengakibatkan rusaknya wajah Islam dan mencederai kerukunan beragama.

Para tentara Tuhan telah berhasil menggunakan dunia digital sebagai tempat merekrut “kader” baru untuk masuk ke dalam misi utopisnya. Dalam merespon gerakan mereka, kita mesti lebih cerdas menggunakan dunia digital dalam upaya melahirkan wacana tanding agar nilai perdamaian naik ke permukaan. Salah satu cara yang bisa dilakukan yaitu dengan membuat dan menyebarlauaskan konten-konten perdamaian yang diminati masyarakat digital.

Ada beberapa gerakan kongkret yang bisa ditawarkan dalam rangka memunculkan wacana tanding tersebut. Pertma, membuat video atau audio visual yang menampilkan Islam yang ramah tanpa sedikit pun memumculkan suasana kemarahan. Oraganisasi Islam yang memiliki modal sosio-historis seperti Muhammadiyah dan NU mesti membuat video menarik yang diminati oleh warga digital, khususnya anak muda (milenial). Para intelektual muda, yang memahami betul ajaran Islam yang penuh kasih sayang, mesti tampil ke permukaan menebarkan pesan-pesan perdamaian.

Keduamembuat narasi teks entah cerita keteladanan, atau informasi tandingan dalam rangka mengcounter informasi hoax yang memunculkan konten kebencian.  Ketigapara developer aplikasi (yang tercerahkan), mesti lebih kreatif membuat aplikasi edukatif yang menampilkan keceriaan, bukan berjuta kutukan menakutkan. Terakhir, lembaga pendidikan, mulai dari TK hingga perguruan tinggi, mesti memasukan kurikulum perdamaian dan lebih menekankan kembali narasi kebangsaan, yang diharapkan melahirkan manusia-manusia yang menghargai kehidupan.

Jihad bukanlah perang dengan cara menghunuskan pedang, juga bukan sikap menegasikan keyakinan lain lalu memaksakan keyakinan kita agar dianut oleh mereka yang berbeda. Jihad merupakan upaya saling mengayomi dan mencintai sesama manusia dalam satu prinsip agung: perdamaian abadi. Jihad juga merupakan upaya memajukan peradaban dunia dengan mengedepankan rasionalitas dalam berpikir dan bertindak, bukan mengedepankan emosi yang membabi-buta penuh darah dan jenazah.

Zulkifli Fajri Ramadan
Zulkifli Fajri Ramadan
Editor buku, Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.