Sabtu, Oktober 5, 2024

Jerusalem Membutuhkan Umar dan Shalahudin

Syaidina Sapta
Syaidina Sapta
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jerusalem,  kota ini ternyata masih begitu seksi untuk diperebutkan, sejak dari zaman bangsa-bangsa kuno, Nabi Musa, Nabi Muhammad, Shalahudin, hingga ke zaman modern ini. Kota suci tiga agama samawi ini seolah menjadi daya tarik dan pusat perhatian dunia terus menerus melintasi zaman.

Daya tariknya tak lekang oleh waktu meskipun kerap kali menjadi tempat berbagai pertempuran. Musim panas yang menderanya tak bisa mencairkan suasana, begitupun musim dinginnya tak bisa membekukan ketegangan, dan hujannya pun tak bisa memadamkan konflik yang ada.

Nama Jerusalem kembali menjadi perbincangan hangat ketika Presiden Amerika Serikat, Donald Trump membuat pernyataan yang kontroversi bahwa Jerusalem adalah Ibu Kota Israel. Pidato tersebut dibacakan secara resmi di Gedung Putih, Washington DC, Amerika Serikat, pada Rabu (6/12) yang lalu.

Dan rencananya setelah pernyataan ini pihak AS akan memindahkan kedutaan besar mereka dari Tel Aviv ke Yarussalem. Tak butuh waktu lama untuk berbagai pihak merespon pernyataan ini, berbagai negara, terutama negara islam, termasuk Indonesia langsung bereaksi mengecam pernyataan sepihak Donald Trump.

Kondisi perpolitikan Timur Tengah terutama di Palestina dan Israel memang selalu panas belakangan ini, bahkan semenjak dideklarasikannya negara Israel pada tahun 1947 yang lalu. Israel kerap kali membuat kebijakan yang kontroversi, seperti pelarangan sholat di masjid Al Aqsha, bahkan sebelumnya untuk masuk ke dalamnya orang-orang Palestina diperiksa secara ketat seolah bagaikan tawanan di negeri sendiri, pemasangan metal detector, hingga pembatasan usia yang boleh memasuki masjid Al Aqsha.

Apa lagi hingga kini belum ada penyelesaian yang baik antara dua negara yakni Israel dan Palestina yang memperebutkan wilayah mereka. Jerusalem masih diklaim berbagai pihak, baik Israel maupun Palestina. Maka tidak heran jika Amerika Serikat secara sepihak membuat keputusan bahwa itu adalah Ibu Kota Israel akan mengundang amarah terutama dari negara pendukung kemerdekaan Palestina.

Namun jika kita menelisik sejarah, bukan hanya di abad modern ini suhu Jerusalem memanas, tapi memang sejak dahulu panas, terutama ketika masa-masa perang salib di abad pertengahan dimana Yarussalem menjadi tujuan utama antara pihak tentara salib dengan pasukan Islam.

Perlu diingat kembali, ditengah memanasnya pergolakan Yarussalem, ternyata kota ini pernah hidup dengan damai dan penuh toleransi, terutama ketika masa Khalifah Umar bin Khatab dan Sultan Shalahudin Al Ayyubi.

Di masa Khalifah Umar bin Khatab, itu adalah pertama kalinya umat Islam menaklukan Jerusalem. Namun penaklukan itu tidak dipenuhi dengan peperangan yang brutal dan sadis. Tapi penaklukan itu dengan perjanjian damai dan Umar bin Khatab sendiri yang hadir langsung ke Jerusalem dari Madinah untuk menjamin perjanjian damai tersebut.

Thomas W. Arnold menjelaskan dalam bukunya, The Preaching of Islam, bahwa tidak ada pemaksaan kepada orang-orang non-muslim di Jerusalem untuk masuk Islam, tidak ada penindasan terhadap mereka. Bahkan mereka dijamin hidup dengan aman dan diperlakukan sama dengan orang-orang muslim.

“The Caliph ‘Umar forbade any pressure to be put upon them, when they showed themselves unwilling to abandon their old faith, and ordered that they should be left undisturbed in the practice of it, but that they were not to oppose the conversion of any member of their tribe to Islam nor baptise the children of such as became Muslims. They were called upon to pay the jizyah or tax imposed on the Christian subjects, but they felt it to be humiliating to their pride to pay a tax that was levied in return for protection of life and property, and petitioned the Caliph to be allowed to make the same kind of contribution as the Muslims did.” (Thomas W. Arnold: 1896)

Berbeda dengan tentara salib yang pada 15 Juli 1099 pasukan yang dipimpin oleh Godfrey berhasil menerobos masuk ke Kota ini dari salah satu menara, dan diikuti oleh seluruh pasukan salib dan selama tiga hari pasukan salib membantai sekitar 30.000 penduduk Yerussalem, baik muslim ataupun kristen. Hal ini pun dituliskan oleh Karen Amastrong dalam bukunya, Jerusalem; Satu Kota Tiga Iman.

Lebih lanjut, Karen Amstrong menjelaskan bagaimana Shalahudin Al Ayyubi memasuki Kota Suci tersebut dengan penuh kedamaian. Shalahudin merebut kembali Yeruslem pada 2 Oktober 1187. Shalahudin dan pasukannya memasuki Yerusalem menaklukan kota itu dengan damai, tak satupun orang Kristen dibunuh para Baron dapat dengan mudah menebus diri mereka tetapi orang miskin yang tidak mampu menjadi tawanan perang, namun sejumlah besar mereka dibebaskan karena Sultan Shalahudin menangis ketika melihat kesedihan keluarga yang terpisah-pisah ketika mereka dijadikan budak.

Begitulah bagaimana sikap dua orang penguasa besar pada zamannya yang menguasai Jerusalem. Di zaman ini, rasanya kita membutuhkan kedua sosok tersebut yang bisa menjamin keselamatan dan menjaga toleransi di Jerusalem.

Namun, akankah ada sosok Umar atau Shalahudin itu di zaman modern ini? Biarlah terjawab oleh waktu yang teriringi do’a kita.

Syaidina Sapta
Syaidina Sapta
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.